"Kasual yang ku maksud bukan dari caranya berpakaian"
Shahbaz yang mendengar pernyataan itu, tak tau harus tertawa atau menangis. Ini sungguh di luar perkiraannya. Awalnya ia mengira 'kasual' yang di maksudkan putranya adalah seorang gadis cantik yang berpenampilan kasual. Tapi siapa yang menduga ternyata bukan begitu?
"Lalu 'kasual' yang kau inginkan itu seperti apa?" Shahbaz jelas merasa frustasi. Ia hanya punya Pasha sebagai anak dan satu-satunya putra sebagai penerus. Tapi mengurus pernikahannya, serasa seperti mengurus pernikahan tiga orang anak.
"Kepribadiannya, mungkin?" Pasha terdengar ambigu.
"Baik, kalau begitu kita lanjut ke bunga yang kedua" Menolak untuk menyerah, Shahbaz langsung menggantikan foto itu dengan foto kandidat kedua. Ia masih berharap ada dari antara tiga kandidat itu, yang akan menarik minat putranya.
"Seperti yang terlihat, kandidat kedua ini cukup cantik dan feminim"
Di foto itu terlihat seorang gadis cantik dengan potongan rambut ikal sebahu. Mengenakan gaun merah muda selutut, ia tampak tersenyum menawan dengan sebuket lili putih di tangannya. Gadis itu berdiri manis, berlatarkan suasana taman di sore hari.
"Karakternya sangat berbeda dengan kandidat pertama. Ia hangat dan ceria. Masih bermain dalam seputaran bisnis, ia merintis toko kue besar di usia mudanya dan bisa terbilang hasilnya cukup maju dan sukses. Hanya saja ia agak boros, karena terlalu mengikuti mode. Jadi bagaimana menurutmu?"
Pasha menggelengkan kepalanya. Menolak.
"Sungguh—ti-dak?"
Pasha menganggukkan kepalanya.
"Kalau begitu, kita akan melihat bunga yang terakhir" Kali ini Shahbaz sungguh pasrah. Ia mendorong foto kandidat yang terakhir kearah Pasha, dengan tatapan tanpa harapan.
"Ini adalah kandidat terakhir. Sepertinya kau tidak akan menyukainya"
Pasha melirik sekilas ke foto itu. Melihat seorang gadis bertubuh mungil, duduk di atas ayunan dengan buku di tangannya. Ia mengenakan baju terusan panjang yang sangat sederhana, bewarna hijau alpukat. Wajah tirus nya terbungkus cukup rapi dalam balutan pasmina coklat susu polos yang sangat simpel. Karena wajahnya yang menunduk menatap kearah buku itu, membuat Ia gagal menelusurinya lebih jauh.
"Katakan sesuatu tentangnya!"
Shahbaz yang mendengar hal itu, membulatkan kedua matanya terkejut. Ia tidak akan pernah menduga putranya itu akan berminat dengan gadis kecil yang ada di foto itu. Jika putranya sudah bertanya begitu, bukankah berarti gadis kecil yang ada di foto itu berhasil meraih minatnya? Diam-diam Shahbaz tersenyum dalam hati. Ia masih memiliki harapan.
"Untuk kandidat terakhir ini, sangat lah kontras dari dua kandidat sebelumnya. Dia adalah si putri bungsu yang jarang mengungkapkan dirinya di hadapan publik. Gadis ini cukup misterius dan terlalu menutup diri. Akun media sosialnya saja ia tidak menggunakan fotonya sendiri, melainkan hanya tiga tangkai bunga chamomile. Tapi ia masih terlalu muda, usianya dua puluhan dan masih mengejar pendidikan S1 nya di sebuah universitas"
Setelah memaparkan semua itu, Shahbaz dengan ragu-ragu bertanya, "K-kau tidak tertarik padanya kan?" Walau sebenarnya ia sangat berharap dari tiga kandidat itu, ada satu yang terpilih.
Tapi Shahbaz tidak pernah berharap yang akan terpilih adalah kandidat terakhir. Karena menurutnya gadis itu masih terlalu muda untuk menikah dini. Ia pun masih dalam giatnya menuntut ilmu, mana mungkin tega Shahbaz menghancurkan semangat itu. Di samping itu umur gadis itu dengan putranya terpaut sepuluh tahun. Gadis kecil mana yang mau menikah dengan pria yang berjarak setua itu dengannya?
"Atur pertemuan ku dengannya" Kata Pasha begitu saja.
Sontak jawaban Pasha itu, membuat sepasang mata Shahbaz nyaris hampir melompat keluar, "Kau pikirkan lah baik-baik! Gadis ini masih terlalu muda untuk menikah, umur kalian pun terpaut sepuluh tahun jauhnya. Dengan dirimu yang setua itu untuknya, apa kau pikir ia mau menikah dengan mu?"
Shahbaz tidak tau harus menggambarkan perasaannya bagaimana saat ini. Di satu sisi, ia merasa sangat bahagia nyaris tidak tau bagaimana ingin mengungkapkannya. Setelah sekian lama bernegosiasi tentang pernikahan dengan putranya, ini adalah kali pertama ia memperoleh respon yang positif.
Tapi di sisi lain, ia tidak ingin menghancurkan gadis kecil yang ada di dalam foto itu. Sekilas dari potongan gambar kecil itu, ia langsung tau itu adalah tampilan gadis polos yang penurut dan begitu lembut. Dengan karakter dan watak putranya ini, apakah gadis kecil itu akan cukup mampu menanganinya?
"Dua kandidat teratas menurut ku adalah yang paling cocok untuk mu. Kandidat pertama tampilannya cukup kasual? Bukankah kau sangat menginginkan calon mempelai mu dengan ciri khusus seperti ini? Tapi kandidat ketiga ini, jelas dia sosok wanita anggun dan feminim"
Pasha hanya manggut-manggut dalam diam. Mata hitamnya yang gelap, itu tampak berkilat dingin tak ter-deskripsikan. Menarik kedua sudut bibirnya, ia tersenyum kaku, "Tapi hanya gadis kecil ini, yang memenuhi kriteria 'kasual' yang ku maksud"
Shahbaz ingin sekali memukul kepalanya ke dinding. Sampai saat ini ia sama sekali tidak mengerti kriteria 'kasual' yang seperti apa yang diinginkan putranya itu. Sesaat matanya melirik kearah foto kecil itu. Ia masih tidak rela jika gadis itu jatuh ke tangan putranya. Di samping itu logikanya menekannya cukup keras—
Bukankah ambisi mu sudah tercapai? Putramu akan segera menikah dan apa lagi yang perlu kau khawatirkan?
Tapi nuraninya kembali mengetuk hatinya dengan lirih—
Apa kau rela gadis kecil itu jatuh ke tangan putra mu yang tak berperasaan itu? Apa kau tega menghancurkan semangat mudanya yang tengah larut menuntut ilmu dengan menikahi putra mu hanya untuk variabel bisnis?
"Lupakan saja kandidat kali ini! Berikan aku gambaran secara jelas tentang kriteria 'kasual' yang kau maksud. Aku akan berusaha mencarikannya lagi untuk mu"
"Boleh saja" Pasha menganggukkan kepalanya dengan santai. Lagipula yang sangat tidak sabar menginginkannya menikah itu adalah papanya bukan dirinya, "Tapi..."
"Tapi apa?" Shahbaz punya perasaan buruk dalam hal ini.
"Kriteria 'kasual' yang ku maksud— sayangnya itu tidak ter-deskripsikan"
"Apaa?" Sontak Shahbaz memekik kaget, "Pasha, berhenti main-main. Menikah itu adalah perkara yang serius. Apa kau akan terus hidup melajang sampai tua seperti ini? Jika begitu siapa yang akan meneruskan keturunan?"
"Tentunya aku"
"Kau tau? Lalu kenapa sesulit ini membahas pernikahan denganmu. Jika permintaan mu terus aneh-aneh seperti ini, sampai kulitmu keriput pun kau tak akan pernah mendapatkannya.."
"Itu, aku baru saja mendapatkannya" Pasha menunjuk foto kandidat ketiga yang masih ada di atas meja, "Papa saja yang tidak setuju dan bertekad mencari yang lain"
"Baik" Shahbaz menghela nafas kasar. Ia tidak punya pilihan lain. Dengan sangat terpaksa ia harus mengambil kandidat ketiga atau jika tidak...
Mungkin ia akan menua tanpa seorang cucu di sisinya.
"Papa, akan mendatangi keluarganya dan membahas perihal kau menginginkan gadis kecil ini sebagai istrimu.."
—••—
"Ah, aku sungguh menyesal mengambil sastra Arab. Kalian tau apa? Ilmu tashrif* ku saja sejauh ini bisa dibilang masih di tingkat dasar" Hana tersenyum simpul mendengar keluhan salah satu dari temannya. Mereka baru saja keluar dari ruang yang kebetulan dosen pengajarnya sudah berumur. Di dalam sana berlangsung cukup tegang selama dua jam-an penuh. Mereka diberondong dengan berbagai macam pertanyaan dan jika tidak bisa menjawab, mereka harus berdiri. Dan nasib tidak baik itu menimpa salah satu temannya yang bernama Salsa, yang lebih sering di panggil Chaca. "Tadi itu sungguh memalukan" Salsa meremas kepalanya frustasi, membuat tatanan kerudungnya sedikit berantakan. "Tidak masalah, kita kan masih belajar. Jika mengenai tashrif, aku pun sejauh ini masih terbalik-balik ketika men-tashrifkannya. Apa lagi yang terdiri dari empat huruf dan di tambah huruf illat* nya lagi" Yang berbicara kali ini adalah Miftah. Pecinta balaghah*. Hal yang membuatnya memantapkan hati mengambil sastra Arab u
"Papa bercanda?" Suara sendok dan garpu yang di banting ke piring, memecah keheningan ruang makan. Keira rasanya seperti baru saja mendengarkan guntur di siang hari. Apa itu— ia akan menikah? Di usia semuda ini? Dan atas pilihan Mak comblang?Ini sudah abad ke berapa, tapi kenapa papanya masih berpikir se-kuno itu?"Malam" Ratna baru saja pulang lembur, dengan pakaian kerjanya ia mendatangi ruang makan dan mendapati suasana terlihat tegang, "Ada apa ini?"Hana menoleh sekilas pada kakak tertuanya yang tampak kebingungan. Tidak berkata apa-apa, ia hanya mendesah pelan."Harusnya kak Ratna dulu dong yang menikah. Umurnya yang sudah hampir kepala tiga itu masih saja lajang dan hanya tau bekerja. Tapi kenapa malah aku yang mau dinikahkan?" Bebel Keira, dengan tegas menyatakan ketidaksetujuannya."Lagian papa hidup di abad apa sih hari gini masih pake Mak comblang? Pokoknya Keira gak setuju" Tentang Keira tegas, "Keira itu masih muda pa, baru dua
"Hana ku mohon..bantu kakak mu ini, please.."Keesokan malam harinya, Keira yang tak berdaya menolak permintaan papanya itu, memohon pada Hana untuk membantunya dalam aksi menggagalkan 'kencan pertama'. Jika kesan yang didapat buruk pada pertemuan pertama, Keira seratus persen yakin si pangeran malam itu pasti akan menggagalkan pertunangan mereka yang tidak taunya ternyata akan di adakan bulan depan."Tapi kak, Hana benar-benar gak sanggup keluar. Perut Hana kram nih, nyeri datang bulan.." Tiap kali jatah bulanannya datang, Hana selalu saja menderita dismenore.Nyeri menstruasi yang ia rasakan itu rasanya seperti ratusan tangan mengoyak habis perutnya sampai ia tak tahan untuk tidak menangis. Tapi syukurlah malam ini kram perutnya masih dalam tahap toleransi."Kakak ambilkan obat pereda nyeri ya..kram perutnya gak seberapa parah kan?" Keira tentunya tau seperti apa jika adiknya itu sudah datang bulan. Hana bisa saja terbaring lemas seharian di kasur denga
"Maaf pak, saya tidak bisa minum itu" Tolak Hana sopan. Anggur yang sudah difermentasi itu tak lagi halal untuk di minum. Hana melambaikan tangannya ke atas, memanggil pelayan. Seorang pelayan wanita pun berjalan mendatangi meja, "Ada yang bisa saya bantu nona Hana?" Staf tersebut tentu mengenal Hana. Putri bungsu dari pemilik restoran tempat mereka bekerja. Putri konglomerat yang dikenal religius dan menarik diri dari publik. Seringkali gadis cantik itu datang ke restoran, mentraktir kedua sahabatnya makan di sana. Biar begitu Hana tetap tampil rendah hati dan tidak sombong. "Tolong, secangkir teh chamomile" Hana mengelus perut datarnya. Tidak tau kenapa nyeri menstruasinya menjadi lebih parah dari sebelumnya. Pelayan wanita itu sempat melihat keganjilan dari rona wajah cantik Hana yang tampak agak memucat. Ia awalnya ingin bertanya apa gadis itu baik-baik saja? Hanya merasakan aura dingin Pasha yang mendominasi sekitar, ia tak tahan untuk segera pergi meninggalkan meja. "Maaf p
"A-aku..""Ayo ke rumah sakit" Seperti kau memiliki barang yang berharga. Melihat ada kesalahan sedikit saja, kau tak tahan untuk segera membawa barang itu ke tempat perbaikan."Tidak perlu" Hana dengan cepat menggelengkan kepalanya menolak.Kesal karena melihat Hana yang tak menurut, tanpa basa-basi lebih jauh. Pasha langsung membopong gadis kecil itu ke atas pundaknya. Hana sontak meronta, apa-apaan pria ini?"Pak, apa yang anda lakukan? Anda bukan mahram saya" Jerit Hana histeris. Mengundang berbagai pasang mata tertuju kearah mereka."Cepat turunkan saya!" Hana dengan keras memberontak untuk turun. Tapi nyeri dalam perutnya, membuat Hana tak punya kekuatan yang besar untuk melakukannya.Pasha menolak menurunkan Hana, terus membopongnya keluar dan memasukkan gadis kecil itu kedalam mobilnya. Hana di dalam sana sudah menangis deras, tak dapat memikirkan apa-apa lagi. Nyeri dalam perutnya sungguh sangat tidak tertolong.Mendeng
Hana membuka matanya ketika samar-samar sinar matahari pagi mendominasi wajahnya. Terdengar suara tarikan tirai yang di geser. Hana menoleh dan mendapati seorang perawat baru saja menyingkap tirai jendela. Hana rasanya seperti baru terjaga dari mimpi. Ia tidak akan pernah mengira ada hari dimana ia dilarikan ke rumah sakit hanya karena kram menstruasi. Mengingat kejadian semalam, rasanya Hana ingin menangis karena malu. "Pagi, anda sudah bangun?" Sapa perawat cantik itu ramah. "Pagi, Sus" Hana mengangguk sopan, "Ya, baru saja" "Ah, kakak lelaki anda baru saja pergi membeli sarapan. Ia berpesan pada saya jika anda bangun untuk meminta anda menunggunya" "Kakak lelaki?" Hana mengerutkan keningnya bingung. Sejak kapan ia punya kakak laki-laki? Ia hanya punya dua orang kakak perempuan. "Em" Perawat itu mengangguk dan tersenyum, "Kalau begitu saya permisi" Setelah kepergian perawat itu, Hana tanpa sengaja menoleh kearah sofa yang ada
Pasha mendorong pintu kaca transparan itu dan masuk kedalam minimarket untuk membeli pembalut wanita seperti yang di sarankan dokter berkacamata tadi. Mendatangi salah satu karyawati yang duduk di meja kasir, tanpa sungkan Pasha berkata, "Saya butuh pembalut wanita"Beberapa saat karyawati itu terperangah, sempat terpesona dengan pria tampan di depannya, "Ah, sebentar!"Wanita itu pun keluar dari meja kasir dan menyuruh salah satu rekannya yang lain untuk berganti jaga. Sebelum wanita itu pergi mengambil barang yang diinginkan Pasha, wanita itu berbalik untuk bertanya, "Apa ada ukuran khusus? Sayap atau non-sayap?"Tampak sepasang mata elang Pasha berkedip tiga kali tak mengerti, "Siapkan saja semuanya"Karyawati itu mengulum rapat bibirnya, menahan senyum. Sepertinya itu adalah kali pertama pria tampan itu membeli benda seperti ini, "Baik"Di rumah sakit, Hana baru saja menelpon kakak keduanya untuk segera datang ke rumah sakit membawakan pakaian
"Kamu gak bawa mobil, Han?" Tepat setelah mata kuliah berakhir, siang itu Hana dan kedua temannya bergegas pergi meninggalkan gedung fakultas dan pergi ke kantin kampus."Engga, Cha" Jawab Hana lemas, karena pertanyaan Chaca itu berhasil membuatnya kembali terkenang betapa memalukannya awal pagi yang ia hadapi hari ini."Kok kamu lemes gitu sih Han?" Miftah menyenggol lengan Hana. Sejak tadi di dalam ruang Hana tampak tidak bersemangat."Sebenarnya aku males banget cerita"Miftah dan Chaca bertukar pandang. Mereka saling berkirim sinyal, pasti ada sesuatu yang baru saja terjadi pada Hana."Memangnya kenapa sih Han? Ayo dong cerita!" Chaca meletakkan tangannya di pundak Hana, matanya berkedip penuh keingintahuan. Hana yang melihatnya mendesah panjang. Di antara kedua temannya, Chaca lah yang paling besar jiwa keingintahuannya. Dalam tanda kutip 'bukan mengenai pembelajaran'."Engga ah, males!""Jangan gitu dong Han, kami kepo ni"