“Kau kelihatan ekstra hari ini? Ada acara fashion week lagi?”
Rachel memutar bola matanya malas sebelum membenamkan wajahnya ke lipatan tangan.
"Jangan ajak aku bicara." Seperti yang perempuan itu harapkan, tidak ada balasan yang datang. Rachel mengangkat kepalanya dan menatap ke sekeliling rupanya wanita yang merupakan staff di perusahaan itu sudah tidak ada di hadapannya. Perempuan itu menghela napas sembari meluruskan punggungnya.
Rachel bangkit dari kursinya setelah beberapa saat, berjalan menuju meja rias yang terletak tepat di samping setumpuk pakaian di ruang kerjanya, waktu sudah berlalu entah berapa jam semenjak dia mengunyah tekanan mental untuk memilih pakaian yang tepat. teleponnya sudah mulai berdering sejak tadi. Perempuan itu menatap tubuhnya yang dibalut gaun biru bermanik yang tampak terlalu panjang dari yang ia suka, menghela napas lelah sebelum meraih telepon yang tidak mau diam sejak tadi.
"Halo?"
Rachel berjalan menuju ke arah jendela yang menunjukkan pemandangan kota yang sibuk, mengerang pelan ketika kakinya tidak sengaja menyenggol pinggiran kursi.
"Kau sudah bertemu dengan Gideon? Bagaimana kencannya?"
"Belum berangkat, aku masih bersiap-siap," balas Rachel lelah.
"Kau yakin kau tidak terlambat bukan?" balas Hera di seberang sana, manajernya itu sedang mengurus beberapa projek sehingga ia tak ada di kantor agensi.
"Tentu saja tidak, memangnya sejak kapan aku pernah terlambat?"
“Kenapa kau terdengar tidak senang? Ayolah Chel, aku yakin kencannya tidak akan seburuk itu. Bukankah ini seharusnya hari yang menyenangkan? Ini kencan. Sudah lama bukan kau tidak berkencan?"
“Tapi kali ini berbeda, Hera.”
Perempuan itu tertawa mendengar respon Rachel, seolah sudah memprediksinya, “Ini akan menyenangkan, percaya padaku. Aku juga pernah melakukan kencan palsu, dan itu cukup menyenangkan kalau kau tidak terlalu memikirkannya. Aku yakin kau dan Gideon akan berteman baik."
"Baiklah bu, terima kasih atas sarannya," goda Rachel sambil bersandar pada jendela menatap lurus ke arah lalu lalang kendaraan yang padat.
Tidak ada yang berbicara di antara keduanya sebelum Rachel mendesah keras sembari mengusak surai cokelatnya yang sudah ia tata sejak pagi. “Aku tidak ingin pergi berkencan dengan lelaki itu Hera. Bagaimana jika Gideon lelaki yang menyebalkan? Tak ada yang tahu bukan?“
"Percayalah, kau lebih menyebalkan darinya, Chel."
"Hera!" Manajernya itu hanya tertawa membalas rengekan Rachel. Perempuan itu menghela napas pelan, ya setidaknya sekarang ia tidak begitu gugup. Tunggu? Gugup? Untuk apa ia gugup hanya karena akan berkencan dengan lelaki yang tak ia kenal? Konyol.
“Pokoknya bersenang-senanglah saat kencan nanti,” ucap Hera pelan, Rachel hanya membalasnya dengan gumaman malas.
“Bersikap baiklah nanti dan jangan lupa untuk memberitahuku tentang semua yang terjadi. Aku rasa akan ada beberapa wartawan nanti, berhati-hatilah.”
Setelah sambungan telepon terputus, Rachel menghela napas dalam-dalam, menatap ke arah tumpukan baju sembari menaruh tangannya di pinggang.
"Baiklah, baju mana yang harus aku pilih? Hm ... pink sepertinya cocok untuk hari sabtu?"
***
Rachel mengetuk heels-nya tidak sabar sembari melirik jam tangannya dan menghela napasnya keras. Gideon terlambat. Demi apapun jika ada satu hal yang lebih dibencinya daripada dipaksa melakukan sesuatu, itu adalah keterlambatan. Perempuan itu mengetuk-ngetukkan jarinya yang dipoles dengan warna senada gaunnya di atas meja, dan ketika dia akan memanggil pelayan untuk memesan segelas minuman, seseorang di samping kirinya berdeham.
“Rachel kan? aku Gideon–“
"Kau terlambat," kata Rachel ketus, sebenarnya Rachel juga datang terlambat tadi, tapi ia tak separah lelaki itu. Lagipula bukankah seharusnya lelaki itu sampai duluan sebelum dirinya?
Perempuan itu menyadari sikapnya mungkin terlalu kasar untuk pertemuan pertama, dia cukup menyesalinya. Rachel memperhatikan saat bibir lelaki yang lebih muda empat tahun darinya itu melengkung menjadi senyuman terlepas dari komentar judesnya, Rachel memilih mengalihkan perhatiannya.
"Bisakah kau segera memesan? Aku lapar."
Gideon duduk di seberangnya sebelum meraih buku menu, beberapa detik setelah dia melihat-lihat menu, lelaki itu segera meletakkannya. "Apakah kau keberatan jika aku memesan cukup banyak?"
Rachel mengangkat alisnya heran sebelum berkedip pelan, "aku tidak peduli dengan apapun yang kau pesan."
Gideon terkekeh sembari menggelengkan kepalanya. Dia melihat kembali ke arah menu sebelum kembali berbicara, "Jika kita akan berkencan, bukankah seharusnya kau peduli?"
"Aku bukan tipe orang yang peduli dengan apa yang orang lain makan,” tukas Rachel pelan, memaksa dirinya untuk memperhalus nada jawaban-jawaban tajamnya yang biasanya sarkastis. “Maksudku, aku tahu mungkin kau melakukan diet untuk menjaga badanmu tapi apa yang kau makan sama sekali bukan urusanku.”
Lelaki yang lebih muda dari Rachel itu tertawa lagi, "Aku lega mendengarnya." Ia mencondongkan tubuh ke depan, dan ketika Rachel balik menatapnya, ia sedikit terperangah melihat Gideon tengah tersenyum padanya. "Sepertinya kita cocok?"
Rachel menarik napas dalam-dalam sebelum menghindar dan mengembalikan tatapan matanya pada buku menu. “Apa yang akan kita pesan dan apa yang akan kita lakukan seharian? Kau tahu jadwalku cukup padat, aku tidak bisa membuang-buang waktu dengan percuma."
Gideo mengangkat sebelah alisnya sembari menopang wajah dengan sebelah tangan, "kurasa langkah pertama yang harus dilakukan adalah kita harus terlihat seperti sedang bersenang-senang."
"Maksudmu?"
Gideon menunjuk ke arah belakang Rachel, ah wartawan sialan itu.
Rachel terdiam setelah itu, begitupun Gideon. Mereka hanya bicara ketika pramusaji datang untuk mencatat pesanan mereka.
Gideon berdeham canggung, itu cukup untuk membuat Rachel memusatkan perhatian padanya.
“Kau sudah menonton filmku?” Rachel tergagap mendengarnya, ia menatap lelaki itu dengan tatapan kosong sebelum menggelengkan kepalanya.
"Sebenarnya aku bahkan tidak tahu siapa kau, manajerku yang mengenalkanmu padaku—” perempuan itu menjeda ucapannya “maaf soal itu, lagipula ... itulah alasan kau membutuhkan bantuanku kan? Untuk membantumu menjadi lebih terkenal, dan agar lebih banyak orang mengenali wajahmu? Lalu kau bisa menjadi pemeran utama.”
Gideon terkekeh. "Terdengar seperti itu."
"Tapi meski ini hanya hubungan kontrak, aku ingin kita berdua sama-sama menikmatinya."
Rachel mengerutkan keningnya, "hubungan bisnis macam apa yang bisa dinikmati?"
Sebelum Gideon sempat membalas ponsel lelaki itu mulai berdering, dan dia tersenyum kecil sembari meminta maaf kepada Rachel sebelum mengangkat telepon.
Rachel menghela napas sembari bersandar pada kursinya, entah mengapa ia mendapat firasat buruk soal kencan kontrak ini. Mereka bahkan belum memulai apa-apa tapi Rachel sudah jengah setengah mati.
Apakah terlalu awal baginya untuk mundur dan membatalkan segalanya?
"Rachel, aku harus pergi."
Perempuan itu terhenyak dari lamunannya ia lantas menatap Gideon dengan kening berkerut heran, “ada apa? Kau baru sampai.”
“Ada urusan yang harus diselesaikan," ujar Gideon sembari bangkit dari kursinya.
"Bagaimana dengan makanannya?"
"Batalkan saja pesanannya.” Rachel melirik ke belakang dan melihat pelayan mereka membawa nampan berisi pesanan yang dia duga milik mereka. Perempuan itu kembali mengalihkan pandangannya pada Gideon dengan jutek, "terlambat."
"Aku akan membayarmu nanti."
"Ini bukan soal uang," ketus Rachel sinis tapi Gideon hanya membalasnya dengan kekehan kecil.
Lelaki itu berjalan ke arah Rachel, mencondongkan tubuh ke depan, dan meskipun Rachel berusaha menjauh, itu terlalu terlambat karena lelaki itu sudah memegang bahunya kuat-kuat.
“Kau menarik, semoga kerja sama kita berjalan dengan baik.”
Sebelum Rachel sempat mengeluarkan sumpah serapah dan protes, Gideon sudah meletakkan bibirnya di atas dahinya.
Menyebalkan.
Gideon, yang masih terkejut dan terpaku pada kenyataan bahwa sepupunya mengenal Rachel, menghindari pertanyaan itu. “Kau mengenal pacarku?”“Tentu saja tidak, duh. Tapi kami masuk universitas yang sama, dia satu tahun di atasku. Aku tidak mengenalnya secara pribadi tetapi aku melihatnya di kampus dan di pesta-pesta. Dia sangat populer. Banyak orang yang tertarik padanya, termasuk aku. Bahkan ketika dia belum menjadi seorang aktris. Tak kusangka kau akan berkencan dengannya.”Ekspresi tidak senang pasti terpancar di wajahnya, karena sepupunya itu cepat membela diri. Rafi mengangkat kedua tangannya seolah mencoba menenangkannya, dan tertawa terbahak-bahak."Jangan khawatir! Semua orang naksir dia, oke? dan itu dulu. Ia adalah orang terpintar di Fakultasnya. Ia juga merupakan kapten tim Cheerleaders. Bukankah itu sangat diminati? Tapi aku rasa Kau sudah mengetahui semua ini.”Gideon tentu saja tidak mengetahui semua ini. Perasaan resah menguasainya saat Gideon menyadari bahwa dia tidak t
Ketika dia yakin keponakan Gideon sedang sibuk dan anak Gideon—Luna masih fokus pada kartu mainannya, Rachel menggunakan kesempatan ini dan menoleh ke Gideon di sofa sambil berbisik dengan marah, “Hei! Kau menyuruhku untuk berpura-pura kalau aku sangat mencintaimu, tapi kau bahkan tidak berpura-pura kalau kau sangat mencintaiku!Gideon mengangkat alisnya, “Apa maksudmu?! Aku memegang tanganmu tadi!” Lelaki yang lebih muda mendesis membela diri.“Lalu perkenalan membosankan apa tadi? Sebenarnya kau ini ingin aku ada di sini atau tidak?”Gideon melirik ke sekeliling ruangan untuk memastikan tidak ada yang bisa mendengarnya dan berbaring ke bantal sofa, seolah menyembunyikan dirinya. “Aku tidak bisa memaksakan diri untuk bersikap mesra. Kupikir aku bisa melakukannya, tapi itu sangat memalukan di depan keluargaku sendiri!”Rachel benar-benar tidak bisa mempercayai lelaki itu. “Hei, berusahalah lebih keras, kau kan aktor!” gertak perempuan itu, “Aku tidak bisa terlihat seperti orang yang l
Gideon menuntun mereka menyusuri lorong yang menghubungkan pintu masuk ke area utama rumah tempat pesta diadakan. Ujung lorong terbuka ke dapur, yang terhubung dengan ruang makan dan ruang tamu.Saat mereka mendekati ujung lorong, Rachel mendengar banyak suara yang semakin keras hingga mereka akhirnya memasuki dapur untuk menunjukkan kedatangan mereka yang sangat dinantikan. "Kami tidak terlambat kan?" Gideon menyapa dengan santai. Dan saat mendengar suara Gideon, semua mata di ruangan itu langsung tertuju padanya, disertai senyuman cerah dan seringai jenaka.“Gideon! akhirnya, kau di sini!” Seorang wanita yang lebih tua bergegas menyambut mereka terlebih dahulu, yang Rachel asumsikan adalah ibu Gideon. Gideon melepaskan genggamannya di tangan Rachel untuk memeluk dan mencium pipi ibunya. Setelah dia menarik diri, dia mengalihkan kembali perhatiannya ke arah Rachel. "Dan ini adalah ..." lelaki itu memberinya senyuman penuh pengertian, matanya berbinar. Rachel memperhatikan mata ibu Gi
Gideon datang menjemput Rachel pada Sabtu pagi. Hari di mana pesta ulang tahun keponakan Gideon yang diadakan di rumah kakak perempuannya yang terletak di luar kota tapi tak terlalu jauh, sekitar setengah jam perjalanan dari tempat tinggal mereka. Ketika Rachel memasuki mobil Gideon, lelaki yang lebih muda melihat buket bunga yang ada di tangan Rachel dengan raut bingung penuh rasa ingin tahu.“Itu untuk ibumu. Jangan salah paham.”Rachel menatap kembali ke jalan raya, dan dia sadar bahwa dia tidak tahu persis siapa yang dia temui. Apakah hanya keluarga dekat Gideon saja? Atau sepupunya juga? Seberapa besar keluarganya? “Ngomong-ngomong, kau bilang keluargamu ingin bertemu denganku, tapi siapa yang bilang sebenarnya? Siapa saja yang akan hadir di pesta itu?” tanya Rachel pelan.Gideon melirik sebentar ke sampingnya dan seringai kecil mulai terbentuk di bibirnya, “Kenapa? Kau merasa gugup? Kau tidak bisa mundur sekarang.”“Bisakah kau diam dan jawab saja pertanyaannya.”“Oke maaf, tent
Rachel menapaki perjalanan kembali ke perusahaan setelah makan siang yang sama sekali tidak memenuhi asupan energi hariannya melainkan dipenuhi gangguan Gideon seperti sebelumnya. “Berapa umur keponakanmu? Bukankah seharusnya kita membelikannya hadiah?”“Ayi berusia enam tahun. Biar aku saja yang akan membeli sesuatu untuknya dan mencantumkan nama kita berdua di sana.” Gideon menekan tombol di penyeberangan, simbol tangan merah masih menyala."Apa? Tidak mungkin, Aku yakin kau akan memilih hadiah yang membosankan seperti buku tulis atau semacamnya. Biar aku saja membelinya, aku cukup pintar memilih hadiah untuk Luna kan?” sungut Rachel sembari mengerutkan kening.Gideon menyipitkan matanya ke arahnya. “Tidak, kau bahkan tidak mengenal Ayi. Aku yang akan membelinya."“Jika namaku akan tercantum di sana, lebih baik itu menjadi hadiah terbaik di pesta. Pokoknya aku yang harus membelinya.”“Hei! Aku pamannya! Kenapa jadi kau yang harus membelinya?!”“Hei tuan kalau kau lupa, aku pacar (pa
Pagi-pagi sekali Rachel Harus terbangun karena suara lengkingan dering ponsel yang mengganggu tidur pulasnya, ia bahkan baru saja tidur setelah overthinking semalaman. Perempuan itu menghela napas sembari meraba-raba nakas, menempelkan ponsel ke telinganya tanpa melihat dulu siapa penelepon yang berani mengganggu tidurnya, matanya bahkan masih tertutup."Aku akan membelikanmu makan siang, sebagai permintaan maaf, kau mau?"Jadi di sinilah dirinya—ralat ia dan Gideon. Mereka berjalan tanpa suara ke Cherryberry Bakery & Cafe, toko roti lokal kecil yang hanya berjarak tujuh menit dari gedung agensi tempat kerja mereka. Rachel melirik sekilas ke arah lelaki bertubuh jangkung itu, yang anehnya tampak tegang. Lonceng di pintu berbunyi ketika mereka membukanya untuk masuk ke dalam kafe roti di lingkungan kuno, aroma kopi dan makanan panggang menyambut mereka saat mereka masuk. Mereka berjalan melewati meja dan kursi kayu, dan mendekati konter yang terletak di belakang untuk memesan. Pajangan