Share

Bab 8

Author: Jawaban
Seno menghindari tatapan Ayu. “Benar. Kalau bukan Ayu yang mengajakmu bertemu, kamu juga tidak akan diculik. Pada akhirnya, semuanya salah Ayu.”

“Karena salah Ayu, maka dialah yang harus menanggungnya. Lagipula kondisi tubuhnya baik. Dia tinggal semalam pun tidak akan bagaimana.” ucap Seno.

Ayu sudah menyiapkan hati, tetapi ucapan Seno tetap membuat dadanya mencengkeras kuat, hingga ia sulit bernapas.

Seharian tak minum obat pereda rasa sakit, bibirnya bergetar tanpa henti. Ia bahkan tak kuat mengeluarkan bantahan.

Jadi selama ini, di mata Seno… ia adalah orang yang tubuhnya baik?

Ayu ingin tertawa, namun lambungnya justru seperti digerakkan ombak, menimbulkan rasa perih menyengat.

Tiba-tiba, darah hangat memaksa keluar dari tenggorokannya. Ia memuntahkan darah dalam jumlah banyak.

Seno dan Joko serentak terkejut.

“Ayu.”

“Mama.”

Wajah Terasa seketika memucat. Lalu dalam satu detik ia menangis, seolah-olah hujan menetes dari kelopak matanya. “Kakak… aku tidak menyangka demi membuat Seno dan Joko iba, kamu sampai menggigit mulutmu sendiri sampai berdarah. Kalau ingin pergi, tinggal bilang. Kenapa harus menyakiti diri sendiri?”

Seketika ekspresi Seno mengeras, berubah jijik. “Ayu! Trik seperti ini mau kamu ulang berapa kali?”

Joko pun mencibir, “Mama, kamu benar-benar tidak tahu malu.”

Demi bisa diselamatkan duluan, ia menggunakan segala cara. Bukankah itu tidak tahu malu?

Rasa iba terakhir mereka terhadap Ayu pun menghilang.

“Lepaskan Terasa. Untuk Ayu… lakukan apa saja sesuka kalian.”

Seno memandang dingin. Sudah saatnya memberi Ayu pelajaran, agar ia tahu batas.

Hanya kalau Ayu berhenti bersikap seperti ini, mereka bisa menjadi keluarga yang baik.

Joko mengangguk setuju.

Ketika para penculik mendorong Terasa ke arah mereka, Seno dan Joko tak sabar membukakan ikatan.

Sementara Ayu, yang bahkan berdiri pun sulit karena nyeri lambung, tidak mendapat satu pun lirikan.

Setelah dicek, Terasa hanya mengalami bekas tali yang ringan. Bahkan memar pun tidak ada.

Seno dan Joko sama-sama lega.

Ayu pasti sama saja, pikir mereka.

Penculik hanya ingin uang. Tidak akan benar-benar melukai sandera.

“Ayu, besok adalah hari pernikahan kita. Besok pagi aku akan bawa 10 miliar untuk menebusmu.” Seno berkata begitu dan bersiap pergi.

Ayu menahan sisa napas terakhirnya. “Seno.”

Rasa sakitnya sudah tak terasa.

Ayu tahu tubuhnya memasuki fase perlindungan otomatis, ketika rasa sakit terlalu besar, tubuh berhenti merasakannya.

Ia berdiri perlahan. Pada detik terakhir hidupnya, ia hanya ingin mendengar satu jawaban.

“Kalau yang sakit kanker itu aku. Kalau yang mati itu aku. Apa kamu akan menyesal?” tanya Ayu.

Menatap wajah Ayu yang begitu pucat dan kurus, jantung Seno seperti ditusuk benda tajam.

Rasa takut yang tak pernah ia kenal tiba-tiba menghantam dadanya.

Untuk pertama kalinya, ia merasa panik.

Namun ia segera menepis pikiran itu.

Tidak mungkin. Itu tidak akan terjadi.

“Drama seperti ini… sampai kapan kamu akan teruskan?” Nada kesal terdengar.

Kenapa? Kenapa Ayu terus mengatakan hal-hal mustahil yang justru menyakiti dirinya sendiri?

Ayu akan panjang umur. Dan mereka bertiga akan bahagia bersama. Itu sudah pasti.

“Kalau kamu mau main seperti itu, maka kuharap keinginanmu terkabul.” Seno berkata dengan kemarahan, lalu membawa Terasa pergi tanpa sedikit pun menoleh.

Dalam sekejap, dua penculik melempar Ayu ke atas ranjang reyot, lalu merobek pakaiannya.

“Nona memang hebat… sampai-sampai ayah dan anak itu percaya.” ucap penculik itu.

“Benar-benar bodoh. Demi perempuan penuh tipu muslihat itu, mereka meninggalkan istri sendiri. Tidak terpikir apa yang akan terjadi kalau istri ini menghabiskan malam dengan dua pria seperti kita?” ucap penculik yang satunya lagi.

“Tidak usah banyak tanya. Lakukan saja perintahnya. Buat seluruh tubuhnya penuh bekas. Besok kita lempar dia ke pesta pernikahan!” ucap ketua penculik tersebut.

“Hei, ini menguntungkan kita. Kita bisa tidur dengan perempuan Seno!” ucap penculik yang lain.

Ayu tersentak keras. Darah kembali memancar dari tenggorokannya.

Perutnya seperti digergaji. Seluruh tubuhnya kejang.

Darah dari dalam tubuhnya melonjak, bahkan keluar dari hidung.

Kedua penculik ketakutan. Tangan mereka gemetar saat memeriksa napas Ayu.

Lalu salah satu dari mereka jatuh terduduk dengan wajah penuh ngeri.

Ayu menggulung tubuhnya, dunia di matanya hitam dan putih bersilang, hanya ada dengungan.

Di telinganya, kalimat Seno berulang tanpa henti.

‘Kalau kamu mau main seperti itu, maka kuharap keinginanmu terkabul.’

Ayu tersenyum, air mata jatuh.

Kabul ya?

Kalau begitu, semoga kalian semua… benar-benar mendapatkan apa yang kalian inginkan.

Seno, kau tak perlu lagi melihatku.

Besok, saat kau menikahi perempuan yang benar-benar kamu cintai… aku sudah tidak ada lagi di dunia ini.
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Pertemuan Adalah Alur Takdir   Bab 21

    Di tengah kesadarannya yang kabur, Seno merasa seolah berada di sebuah pulau.Saat ia masih kebingungan, seorang perempuan mengenakan gaun panjang berjalan keluar dari halaman. Tangannya membawa keranjang bunga, senyumnya cerah dan memesona. Bahkan pekerjaan mencabut rumput yang paling membosankan pun ia kerjakan sambil bersenandung kecil.Seno hanya bisa bersembunyi di sudut, menyaksikan Ayu yang begitu cerah… begitu bahagia.Untuk pertama kalinya, Seno merasa dirinya hanyalah seekor tikus yang tersesat di selokan gelap.Dihantam oleh kenyataan yang begitu kejam.Ternyata… setelah meninggalkan dirinya, Ayu bukan hanya tidak kesepian, bahkan hidupnya penuh, hangat, dan benar-benar bahagia.Hanya dirinya… dirinya saja… yang terperangkap dalam cinta ini, tersiksa tanpa henti, jatuh, tercekik, tanpa jalan keluar.Saat sedang linglung, seorang pria berjalan menghampiri Ayu, menyapa dengan ramah.Mata Seno memerah. Ia berlari menerjang ke arah mereka.“Itu istriku! Kekasihku! Aku tidak meng

  • Pertemuan Adalah Alur Takdir   Bab 20

    Seno langsung pergi ke rumah sakit.Operasi Joko berjalan sangat baik, hanya saja ia masih belum sadar.Perawat berkata, “Anaknya mungkin sementara tidak mau bangun.”Seno menggenggam erat tangan Joko, lalu meletakkan boneka beruang kecil di sisi bantalnya. “Joko… ini semua salah papa.”Dialah yang menjerumuskan Joko, menghancurkan hidup anak itu, dan juga menghancurkan Ayu.“Aku akan membawanya kemari… kalau dia bersedia menemuimu.” ucap perawat rumah sakit.Setelah itu, Seno bangkit dan menuju kantor polisi.Sesaat sebelum ia melangkah masuk, telapak tangannya sudah penuh keringat dingin.Ia tidak tahu… apakah Ayu masih mau kembali.Masih mau menemuinya atau tidak.Bagaimanapun, dirinya sekarang sudah tidak punya kelayakan apa pun. Tidak punya posisi, tidak punya hak.Jika Ayu memilih pergi, ia bahkan tidak akan mencoba menahannya.Karena melepaskan… adalah satu-satunya hal yang masih bisa ia berikan padanya.Setelah berkali-kali menata mentalnya, barulah Seno berani melangkah masuk

  • Pertemuan Adalah Alur Takdir   Bab 19

    Orang tua Wiratama tertegun mendengar pertanyaan itu, seolah kalimat tersebut membuat mereka benar-benar kebingungan.Ayu menghindari tatapan, lalu tiba-tiba menekan dada.“Aduh... sakit sekali... Ayah! Ibu! Cepat antar aku ke rumah sakit, sakit lambungku kambuh lagi!” ucap Teresa.“Ke rumah sakit untuk mengungkap bahwa kamu memalsukan kanker lambung?” ucap Seno.Ibu Wiratama langsung berdiri. “Seno, Yang masuk ke perut bisa dikeluarkan, yang masuk ke hati susah dikeluarkan! Teresa mengidap kanker lambung itu adalah hal yang kami semua tahu!”Ayu juga terus terisak. “Seno, apa kamu sedang stres sampai berhalusinasi? Mana mungkin aku memalsukan kanker lambung.”Seno memutar rekaman telepon Teresa di depan semua orang.Terutama bagian ketika Teresa mengakui sendiri bahwa ia berpura-pura mengidap kanker dan fakta bahwa ia menculik Ayu.Ayah dan Ibu Wiratama tampak sangat terkejut, Ibu Wiratama bahkan hampir pingsan seketika. “Dosa besar... ini dosa besar...!”Ia menepuk-nepuk pahanya, men

  • Pertemuan Adalah Alur Takdir   Bab 18

    Begitu menerima kabar, Seno terburu-buru bergegas ke rumah sakit, namun langsung dihalangi di depan ruang operasi.“Pak Seno, tolong tenang dulu!”Sudut matanya memerah.Maafkan aku, Ayu… aku lagi-lagi gagal melindungi anak kita.“Bagaimana keadaan Joko sekarang?” tanya Seno.Perawat menatap pria yang berdiri di depannya, kebingungan, putus asa, tubuhnya bergetar tanpa bisa dikendalikan.Dulu ia tampan dan gagah.Sekarang tubuhnya kurus, wajahnya pucat, mata cekung, lingkar mata menghitam.Kelelahan dan rasa mati membuat kilau hidupnya hampir hilang total.Perawat itu akhirnya menghela napas. “Keadaan Joko sangat buruk. Kepalanya mengalami benturan parah. Ada kemungkinan… ia bisa menjadi vegetatif.”Mata Seno memerah seperti direndam darah. “Waktu itu perawat jaga di mana? Mana suster-suster rumah sakit ini? Kenapa tidak ada yang mengawasi dia?!”“Pak Seno… saat itu Joko sedang ditemani oleh pihak keluarga.” jawab perawat rumah sakit.“…Siapa?” tanya Seno.“Teresa Wiratama, bibi Joko.”

  • Pertemuan Adalah Alur Takdir   Bab 17

    Seno juga tidak pernah berhenti mencari Ayu.Video dirinya berlutut di depan kamera, memohon Ayu memaafkannya, tersebar sampai ke seluruh dunia.Komentar dari warganet bermacam-macam, ada yang iri pada ketulusannya.Ada yang mengecamnya sebagai pria brengsek yang pura-pura setia.Ada yang menghujat sejadi-jadinya.Namun Seno sama sekali tidak peduli.Yang ia pikirkan hanya satu: bagaimana membuat Ayu melihatnya, bagaimana membuat Ayu memaafkannya.Setiap malam, saat ia teringat waktu Ayu yang terus berkurang…terbayang Ayu meringkuk kesakitan karena kanker lambung, ia selalu terbangun dengan napas tersengal, tak bisa tidur lagi.Lembaran kalender terkoyak satu per satu.Rasa takut yang tak berwujud itu menyebar perlahan dari dasar hatinya…menekan dada Seno sampai ia sering kali merasa sesak.Sesekali, Teresa datang.Meski ia terus menjelaskan bahwa ia benar-benar tidak tahu soal kanker Ayu, tapi bagi Seno, semua itu sudah tidak penting.Jika sejak awal ia tahu Ayu sakit… ia tidak akan

  • Pertemuan Adalah Alur Takdir   Bab 16

    Wajah Teresa seketika memucat. “Seno, aku… aku tidak mengerti apa yang kamu bicarakan.”Ibu Wiratama juga membelalakkan mata. “Kanker apa? Seno, kamu jangan sampai tertipu oleh anak itu! Ayu sehat-sehat saja! Mana mungkin kena kanker? Jangan karena dia hilang, kamu jadi percaya apa pun!”“Iya!” Ayah Wiratama menimpali dengan panik. “Anak kurang ajar itu cuma iri pada Teresa! Mana mungkin kakak beradik kena kanker bersamaan? Itu konyol!”Iya, memang konyol.Jika saja itu bohong, Seno lebih berharap daripada siapa pun bahwa hal itu tidak benar.Tapi sayangnya… itu kenyataan.“Ini hasil pemeriksaan rumah sakit milik Ayu.” ucap Seno sambil mengeluarkan lembar pemeriksaan yang baru dicetak ulang.Begitu Orang tua Wiratama melihat empat kata “kanker lambung stadium akhir”, wajah mereka langsung pucat seperti kapur.Ibu Wiratama limbung, jatuh terduduk di lantai.“Tidak mungkin… tidak mungkin!”Melihat bukti sudah tak bisa dibantah, mata Teresa memerah seketika.“Bagaimana bisa begini? Aku… a

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status