Liana melihat sepatu hitam mengkilap terkesan mahal berada dibawah pandangnya membuatnya mendongak, pandangan mereka saling bertemu.
Kakinya ingin melangkah mundur namun terasa berat, dirinya membeku di tempat sambil menatap sorot tajam dan dingin itu. Jantung Liana seperti dipaksa berpacu, seolah dapat meledak kapan saja menghadapi tatapan dingin dari pria di depannya tersebut. Wangi musk khas David yang tak pernah berubah kembali tercium dan terpancar dari tubuh David yang begitu dekat. Terkesan hangat, maskulin, sedikit manis sekali lagi menerobos indra penciuman Liana menambahkan efek debaran dalam jantungnya yang seolah memaksa akalnya untuk mengenang hal yang sama. Pria di depannya ini sungguh adalah kekasih yang ia tinggalkan dua tahun lalu. Tidak disangka akan kembali bertemu dengan cara seperti ini. Meski sekeras apapun dia berusaha menghindar. Aroma khas parfurm ditubuhnya itu tentu saja tidak terlupakan juga tidak sedikitpun berubah. David mencondongkan tubunya kearah Liana. Wajahnya mendekat ketelinga gadis itu. "Masih sama.. Tidak berubah." Bisiknya di telinga Liana membuat wajahnya merah padam dengan mata terbuka lebar. Liana semakin membeku. Namun dipecahkan oleh suara pintu lift yang terbuka. Ting. David menarik diri dan berbalik berjalan masuk ke dalam lift. "Mau sampai kapan berdiri di situ?" David mengernyit kearah Liana dengan pandangan yang tetap dingin. Jarinya menekan penahan pintu lift agar tetap terbuka. Menunggu gadis tersebut masuk. "Masuk!" Suaranya sedikit ditinggikan. "A-ah.. Ma-maaf.." Liana yang linglung karena apa yang varu saja terjadi pun segera sadar dan bergegas masuk. Dia berdiri dipaling ujung menjaga jarak sangat jauh sedangkan David berdiri di dekat tombol lift menekan nomor 23. Suasana kembali hening. Menyadari jarak yang diciptakan Liana terlihat dari pantulan kaca di depannya menampilkan gadis di ujung sudut itu sedang menunduk memainkan jemarinya menjepit satu sama lain membuat David mendengus kesal. 'Sebegitunya tidak ingin dekat denganku kah?' Batin David dengan kesal. "Ekhm.." David berdeham memecah keheningan. Liana mendongak menatap pria itu yang berdeham tanpa menoleh kearahnya. "Sudah sampai." David dengan tenang, singkat, padat dan jelas tanpa menengok kebelakang lalu melangkahkan kaki keluar. Liana menatap layar berisikan pemberitahuan lantai 23 bahwa mereka telah sampai pada tujuan. Liana hanya mengangguk polos meski dalam hatinya masih ada perasaan resah gelisah. Dia bergegas mengikuti dari belakang kali ini pandangannya lurus kedepan menatap sosok pria mengagumkan di depannya yang begitu ia kenali sekaligus asing, takut kejadian barusan yang sama terulang kembali. Ruang CEO berada di ujung koridor menambqh kesan introvert, dingin serta misterius. Letaknya sangat cocok dengan kepribadian David yang tenang, pendiam dan penuhmisteri. Sepanjang langkah kaki mereka, mata Liana menatap menjelajahi dinding koridor tersebut dengan kagum dan takjub seraya sinar mulai menerangi koridor tersebut secara bertahap. Dinding berwarna setengah putih pada bagian atasnya dan emas di bagian bawahnya dengan rak kaca berisikan piagam dan beberapa penghargaan serta foto - foto David dan para karyawannya dalam berbagai acara yang mungkin adalah acara amal atau penerimaan penghargaan. Ada juga ulang tahun perusahaan dari waktu ke waktu terpajang diseling dengan lampu - lampu berukuran sedang bertema seperti lampion yang mahal dan dikuir dengan indah yang memancarkan sinar keemasan menempel di setiap beberapa jarak dari dinding - dinding tersebut menambahkan kesan elegan disekitarnya. Langkah demi langkah membuat lampu berbentuk bulat di langit- langit atas menyala seiring dengan suara langkah mereka membuat suasana lebih mewah dan mengagumkan seolah nenyambut kedatangan CEO mereka secara hormat. Liana kembali memfokuskan pandangan kedepan. Sosok David berhenti di depan pintu ganda. Pintu agak tinggi dan besar yang terkesan kokoh dan kuat dengan sandi kartu akses pribadi. Klik. Pintu yang didorong oleh tangan yang tegas jari yang ramoing nan indah memikat itu terbuka, design interior ruangan tersebut tak kalah memikat. Liana memandangi ruangan bernuansa hitam putih yang cocok dengan vibes David dengan tatanan benda - benda yang tertata rapih dan terlihat pas, salah satu sisi adalah kaca besar yang dapat menunjukkan satu kota Lincoln. Sungguh indah dan menakjubkan. "Lihat apa? Masuklah!" Suara nan tenang namun dingin tersebut memerintah dengan mrmbawa wibawa memecah penjelajahan Liana pada ruang di depannya. Liana pun masuk ke dalam dengan perasaan tegang. David duduk di belakang meja kerjanya. Sosoknya yang mengesankan bak dewa yang sedang duduk di singgasananya sebagai si pemengang tahta tertinggi sedang mengetuk - ngetukkan jarinya di mejanya. Salah satu tangannya memegang IPadnya, dan matanya menatap lurus dingin dan tajam kearah Liana. Membuat Liana seolah hanya seperti manusia biasa yang penuh dosa menunggu hukuman. Dia pun berhenti pada jarak yang lumayan jauh dengan kepala tertunduk. Jemarinya yang lentik dan cantik dimainkan tanda gerogi. David mengamati ekspresi gadis di depannya tersebut kemudian mendengus kesal. Lalu setelahnya pandangannya kembali dingin. "Nona Edsel..." Panggil David dengan dingin. Mata tajamnya seolah mengunci satu target tak pernah lepas dari objek tersebut. Deg Seolah sesuatu menghantam hati Liana. 'Nona Edsel?' Batinnya, hatinya seolah diremas dan dadanya ntah mengapa agak sesak. David mengernyit sebab tak mendapat respon dari gadis yang ia panggil. Kesabarannya seolah mulai terkikis. Dia berdiri dari duduknya menghasilkan suara roda tergesek lantai pada sisi bawah kursi mewah dan mahalnya, kemudian berjalan memutari meja menuju kearah gadis yang sedari tadi diam tak bergeming seolah tak punya kuping. Tanpa sadar pria itu menjulang tinggi di hadapannya, menutup gadis itu dengan bayangannya. "......."Liana sampai di kostnya dan bergegas masuk. Dia merebahkan diri seolah pundaknya dipenuhi dengan beban.“Huft.. Menyebalkan sekali.” Keluhnya sambil menghela nafas.“Apa - apaan maksudnya ngomong kaya gitu? Dia pikir aku digaji buat dengarin curhatan dia? Dia lagi sindir aku yang pergi ninggalin dia? Apa dia gk mikir kenapa aku pergi hah?” Liana terus menggerutu kesal, sesekali memukul - mukul bantalnya. “Menyebalkan! Dasar BOS SI MANUSIA ES KIMO BODOH! Aku benci kamu! BAHKAN DARI DULU AKU BENCI! Mau ngundurin diri aja sebel deh! ARGGHHHH” Seolah malam itu dia sedang melampiaskan kekesalannya bersama kesunyian malam. Sesekali dirinya memukuli bantal seolah itu adalah David itu sendiri.Setelah dirasa cukup Liana pun pergi mandi, dengan jubah tidurnya dia keluar dan mengeringkan rambut setelah itu keluar.“Oh iya.. Kayanya aku mau cari Apart terdekat. Biar lebih nyaman..” Liana menatap langit - langit kamarnya.“Upgrade dikit, bangga dong aku kan udah kerja dan punya gaji sendiri heh
“Namun, dua tahun yang lalu dia tiba – tiba menghilang…” Lanjut David dengan ekspresi kalem, nadanya yang tenang menutupi kesedihan pada kata – kata yang baru saja ia ucapkan.Mendengar hal tersebut, seketika Liana menundukkan kepalanya tak berani menatap David.Wajahnya nampak sedih dan merasa bersalah namun ada sesuatu dalam diri dan hatinya yang seolah ingin keluar untuk menjelaskan sesuatu yang kontras dengan raut wajahnya.Mungkin saja perasaan kecewa?“Setelah kepergiannya yang tanpa kabar atau bahkan sepatah kata itupun, duniaku seakan – akan runtuh saat itu juga..” Kali ini nada bicara David terdengar sedikit suram dan kecewa.“Selama dua tahun belakangan ini aku berusaha mencari keberadaannya, bertanya – tanya kenapa dia pergi meninggalkanku begitu saja dan dimana dia? Bagaimana kondisinya? Apakah dia hidup dengan baik? Atau… Apakah dia baik – baik saja tanpaku?”.David membuka matanya mengintip untuk mengetahui reaksi Liana setelah ia berkata seperti itu.Dilihatnya Liana me
Setelah mendapatkan perintah dari dalam, Liana masuk dan mendapati sosok David tengah menyibukkan diri tenggelam dalam tumpukkan dokumen di hadapannya.Fitur wajahnya yang tampan nan tegas begitu dingin dan serius menatap benda - benda tersebut.Wibawanya terasa begitu lekat dan kuat.Seketika hati Liana dipenuhi sesuatu, Liana merasa sosok di depannya tersebut terasa begitu asing.Dirinya terdiam beberapa saat berdiri di ambang pintu, sebelum berbicara, "Tuan David.. ini... Kopi anda.".Mendengar suara tersebut David sontak mendongak sekilas untuk melihat kearah sumber suara tersebut.Dengan dingin dan acuh tak acuh ia menatap sosok gadis di depanya tersebut, kemudian ia kembali menunduk membaca dokumen yang ada di genggamannya.Liana yang hanya mendapati lirikan singkat nan dingin tersebut secara singkat membuat dahinya berkerut bingung."Letakan saja di meja." Katanya singkat setelah keheningan beberapa saat.Namun bagi Liana perintah tersebut terasa ambigu.'Meja yang mana?' Batin
David's PoVDan setelahnya dia membuatku agak dongkol. "Kalau begitu cuti lima hari boleh?" Wilson bertanya dengan ragu dan canggung. "Boleh.." Jawabku dengan santai, tenang dan halus. Mataku masih sibuk dengan berkas - berkas di hadapanku ini. "Bagaimana kalau satu minggu?" Tanyanya lagi aku dapat mendengar keraguan dqlam nada bicaranya. Namun tak masalah. Kalau dia mau begitu akan kuberikan. "Boleh.." jawabku masih sama. "Kalau satu bulan..... B-boleh?" Hatiku terasa dongkol, pandanganku masih menunduk dan sudut mataku sedokit berkedut kesal namun aku kembali tenang. "Boleh.. Segitu juga gk masalah.." Namu aku masih menjawabnya dengan sama, sangat tenang. "Hah? Serius? Tuan..." Aku dapat mengetahui bahwa dia terkejut tanpa melihat ekspresinya, hanya dengan nada bicaranya. "Tentu saja." Ku hentikan aktivitasku, kemudian aku mendongak menatap Wilson dengan senyuman yang menyiratkan kedongkolan.Sebelum mulut Wilson terbuka untuk mengatakan sesuatu yang masih tertahan di da
David's PoV Entah mengapa melihat ekspresinya tadi yang begitu senang dan puas saat melihat dekorasi ruang kerjanya membuatku memiliki suasana hati yang cukup cerah dan bagus hari ini. Tanpa sadar senyuman dibibirku terukir tipis. Aku menatap jauh langit biru yang cerah di luar jendela. Seketika terlintas dalam benakku apa yang barusan saja ku lihat. Reaksinya terlihat senang dan nyaman, terutama saat menggambarkan perasaannya pada bunga melati di dalam lukisan itu. Wilson sungguh terima kasih, pengaturannya tidak buruk juga. Bahkan sangat baik."Liana.. Aku masih ingat detail tentangmu, semua.. Termasuk apapun yang kamu sukai.. Sekarang akan kuberikan perlahan." Aku tersenyum puas dengan mata terpejam kemudian kembali membukanya untuk melihat pemandangan hamparan satu kota Lincoln dari jendela yang sedang ku tatap. "Heh, gadis kecil masih bersemangat dan penuh tekad seperti dulu ha. Kita lihat saja bagaimana kedepannya, bukan berarti aku gk akan memberikanmu pelajaran, gadis n
Tangannya mengepal melihat sosok dalam foto di layar laptopnya itu."Hm.. Ternyata dia.." Seketika ekspresi David menjadi sangat serius, ada kilatan amarah dan posesif dalam matanya."Liana.. Sama dia sekalipun, gk akan ku kasih. Jangan harap..."Tangannya mengepal, beberapa saat kemudian jari - jarinya dengan cekatan menggerakan mouse mengarahkan kursor dengan tepat pada suatu halaman.Matanya menatap serius dan menjelajahi dengan cermat isi halaman tersebut."Kita lihat saja nanti..."Kemudian dirinya menelpon seseorang......KlikBunyi pintu terbuka.Wilson mendongak dengan ekspresi agak senang.Liana tersenyum ramah melihat sosok Wilson yang sedang duduk di meja kerjanya yang menatap kerah Liana dengan riang."Kamu sudah kembali?" Wilson memiringkan kepalanya pandangannya teralih kearah dua cangkir dengan kepulan asap yang berada dalam genggaman Liana. Alis Wilson menyatu seolah 'Apa sebegitu beratnya tugas yang diberikan, sampai harus minum dua cangkir? Kenapa tidak pakai yang