Liana's PoV
Hari ini aku sangat senang sekali. Setelah mencari kerja di berbagai tempat setelah kepulanganku ke kota kelahiranku ini, akhirnya aku diterima di perusahaan besar dengan gaji yang menjanjikan. Namun hari ini... Sungguh.. Sungguh sangat diluar dugaanku. Aku bertemu kembali dengan seorang Devan. Dia adalah kekasih yang aku tinggalkan dua tahun lalu dengan alasanku tersendiri. Ceritanya begitu panjang untuk diceritakan, mungkin panjangnya seperti struk belanja selama satu tahun lebih. Anehnya, hari ini aku baru mengetahui nama asli dan nama lengkap serta nama keluarganya. Itu, David Evans Hubert. Dan dia merupakan seorang CEO perusahaan besar raja bisnis di kota kami, Perusahaan Hubert tempatku diterima bekerja saat ini. Jadi rumor yang dulu aku dengar itu memang benar adanya. Dan lagi... Setelah menghilang selama dua tahun dan berusaha menghindar darinya. Aku tidak menyangka bahwa kami pada akhirnya akan dipertemukan lagi. Tapi... Mengapa harus dengan cara seperti ini? Mengapa aku benar-benar harus bekerja di bawah pengawasannya bahkan ruang kerjaku berada di depan ruangnya. Aku begitu gugup dari awal kehadirannya hingga saat ini. Padahal saat mengobrol dengan Pak Harry soal kontrak dan kesepakatan serta bdberapa hal aku benar - benar bersemangat dan ceria seolah awal baru akan dimulai. Namun dia tiba - tiba muncul disekitar kami, kehadirannya bak hantu membawa suasana yang agak mencekam. Terlebih lagi aku tidak tahu soal sikapnya yang sebenarnya sebagai seorang CEO. Hanya sedikit mendengar dari Pak Harry dan seolah sekarang sedang dibuktikan dan dibenarkan sendiri oleh pemiliknya di depan mataku. Terkadang aku berusaha mengalihkan perasaan ini dengan memfokuskan menjelajahi hal lain untuk dipikirkan. Dengan pandangan menelusuri sekitar, atau sesekali mrnatap sepatu sendiri tanpa alasan. Nyatanya.. Hal tersebut membuatku jadi selalu berbuat kesalahan di depannya seolah aku.. Saat sedang asik tenggelam dalam pikiranku dengan semua terkaan dan pemikiran yang ada. Tanpa sadar sosok yang sedang kupikirkan tersebut tengah berada dihadapanku. Aku ditutupi bayangannya yang bahkan sama sempurnanya dengan dirinya. Sosoknya yang mengesankan dan berwibawa menjulang tinggi bak gunung dihadapanku yang kecil ini. Aroma Musk khas ini, tidak berubah. Dengan sopannya masuk kedalam indra penciumanku dan itu masih terasa sama, nyaman dan memabukkan. Aku tak berani menatapnya, masih tak berani. Aku terus menunduk, jemariku menarik - narik ujung kemejaku ranpa alasan menandakan bahwa aku grogi. Dia membungkuk, nafasnya menggelitik menyentuh sekitar area leherku, memberi sensasi agak merinding. Mendekatkan mulutnya ke dauntelingaku seraya berbisik. "Apa kamu diterima bekerja disini dan digaji hanya untuk melamun seperti patung pajangan untuk ruanganku?". Nadanya terdengar tenang dan dingin namun seolah menggoda. Aku tertegun dengan apa yang dia katakan sekaligus membuatku tersentak dan sadar. Aku mundur beberapa langkah. Mataku menatap sosoknya yang menarik diri dan kembali tegap membuat jarak diantara kami. Dia terkekeh sinis padaku. "Bukankah Harry sudah menjelaskan posisi dan tugasmu sebagai sekretarisku? Jadi kamu tahu betul harus bersikap seperti apa, bukan?" Tanganya dilipat di dada. Matanya memicing menatap tajam kearahku sama seperti perkataannya seolah sebuah belati yang siap menusuk jantungku. "M-maaf. Saya..." Aku buru - buru membuang pandang kearah sembarang. Jantungku berdegup kencang. Dia mendengus kesal. "Apa cara kerjamu hanya sebatas minta maaf?" "Apa di dalam otakmu itu hanya ada kata maaf dan tak bisa fokus pada hal lain?" "Apa kamu tidak punya kata - kata lain selain 'maaf'?" "Apa minta maaf sudah lama menjadi hobimu?" "Apa kamu bayi baru lahir yang baru belajar sepatah demi sepatah dan baru diajari sebuah kata 'maaf'?" Dia menghujaniku dengan pertanyaan demi pertanyaan sindiran dengan nada dingin penuh penekanan pada kata 'maaf' yang tidak tahu harus ku jawab apa. Aku terus menundukkan kepala tak berani menatapnya dan membiarkannya mengoceh mengomeliku hingga dirinya mungkin merasa puas. Orang bilang kita tidak bisa menentang bos. Dan itu sangat tidak diperlukan. Karena itu sia - sia dan percuma saja. Jadi cukup dengarkan, biarkan, dan iyakan, selama itu tidak berdampak terlalu parah seperti fitnah yang mengharuskan berujung pada jalur hukum. Kalau masalah sepele tantrum seperti alien, bukankah hampir kebanyakan atasan suka seperti itu? Lalu.. Ya, minta maaf. "Atau.."Liana sampai di kostnya dan bergegas masuk. Dia merebahkan diri seolah pundaknya dipenuhi dengan beban.“Huft.. Menyebalkan sekali.” Keluhnya sambil menghela nafas.“Apa - apaan maksudnya ngomong kaya gitu? Dia pikir aku digaji buat dengarin curhatan dia? Dia lagi sindir aku yang pergi ninggalin dia? Apa dia gk mikir kenapa aku pergi hah?” Liana terus menggerutu kesal, sesekali memukul - mukul bantalnya. “Menyebalkan! Dasar BOS SI MANUSIA ES KIMO BODOH! Aku benci kamu! BAHKAN DARI DULU AKU BENCI! Mau ngundurin diri aja sebel deh! ARGGHHHH” Seolah malam itu dia sedang melampiaskan kekesalannya bersama kesunyian malam. Sesekali dirinya memukuli bantal seolah itu adalah David itu sendiri.Setelah dirasa cukup Liana pun pergi mandi, dengan jubah tidurnya dia keluar dan mengeringkan rambut setelah itu keluar.“Oh iya.. Kayanya aku mau cari Apart terdekat. Biar lebih nyaman..” Liana menatap langit - langit kamarnya.“Upgrade dikit, bangga dong aku kan udah kerja dan punya gaji sendiri heh
“Namun, dua tahun yang lalu dia tiba – tiba menghilang…” Lanjut David dengan ekspresi kalem, nadanya yang tenang menutupi kesedihan pada kata – kata yang baru saja ia ucapkan.Mendengar hal tersebut, seketika Liana menundukkan kepalanya tak berani menatap David.Wajahnya nampak sedih dan merasa bersalah namun ada sesuatu dalam diri dan hatinya yang seolah ingin keluar untuk menjelaskan sesuatu yang kontras dengan raut wajahnya.Mungkin saja perasaan kecewa?“Setelah kepergiannya yang tanpa kabar atau bahkan sepatah kata itupun, duniaku seakan – akan runtuh saat itu juga..” Kali ini nada bicara David terdengar sedikit suram dan kecewa.“Selama dua tahun belakangan ini aku berusaha mencari keberadaannya, bertanya – tanya kenapa dia pergi meninggalkanku begitu saja dan dimana dia? Bagaimana kondisinya? Apakah dia hidup dengan baik? Atau… Apakah dia baik – baik saja tanpaku?”.David membuka matanya mengintip untuk mengetahui reaksi Liana setelah ia berkata seperti itu.Dilihatnya Liana me
Setelah mendapatkan perintah dari dalam, Liana masuk dan mendapati sosok David tengah menyibukkan diri tenggelam dalam tumpukkan dokumen di hadapannya.Fitur wajahnya yang tampan nan tegas begitu dingin dan serius menatap benda - benda tersebut.Wibawanya terasa begitu lekat dan kuat.Seketika hati Liana dipenuhi sesuatu, Liana merasa sosok di depannya tersebut terasa begitu asing.Dirinya terdiam beberapa saat berdiri di ambang pintu, sebelum berbicara, "Tuan David.. ini... Kopi anda.".Mendengar suara tersebut David sontak mendongak sekilas untuk melihat kearah sumber suara tersebut.Dengan dingin dan acuh tak acuh ia menatap sosok gadis di depanya tersebut, kemudian ia kembali menunduk membaca dokumen yang ada di genggamannya.Liana yang hanya mendapati lirikan singkat nan dingin tersebut secara singkat membuat dahinya berkerut bingung."Letakan saja di meja." Katanya singkat setelah keheningan beberapa saat.Namun bagi Liana perintah tersebut terasa ambigu.'Meja yang mana?' Batin
David's PoVDan setelahnya dia membuatku agak dongkol. "Kalau begitu cuti lima hari boleh?" Wilson bertanya dengan ragu dan canggung. "Boleh.." Jawabku dengan santai, tenang dan halus. Mataku masih sibuk dengan berkas - berkas di hadapanku ini. "Bagaimana kalau satu minggu?" Tanyanya lagi aku dapat mendengar keraguan dqlam nada bicaranya. Namun tak masalah. Kalau dia mau begitu akan kuberikan. "Boleh.." jawabku masih sama. "Kalau satu bulan..... B-boleh?" Hatiku terasa dongkol, pandanganku masih menunduk dan sudut mataku sedokit berkedut kesal namun aku kembali tenang. "Boleh.. Segitu juga gk masalah.." Namu aku masih menjawabnya dengan sama, sangat tenang. "Hah? Serius? Tuan..." Aku dapat mengetahui bahwa dia terkejut tanpa melihat ekspresinya, hanya dengan nada bicaranya. "Tentu saja." Ku hentikan aktivitasku, kemudian aku mendongak menatap Wilson dengan senyuman yang menyiratkan kedongkolan.Sebelum mulut Wilson terbuka untuk mengatakan sesuatu yang masih tertahan di da
David's PoV Entah mengapa melihat ekspresinya tadi yang begitu senang dan puas saat melihat dekorasi ruang kerjanya membuatku memiliki suasana hati yang cukup cerah dan bagus hari ini. Tanpa sadar senyuman dibibirku terukir tipis. Aku menatap jauh langit biru yang cerah di luar jendela. Seketika terlintas dalam benakku apa yang barusan saja ku lihat. Reaksinya terlihat senang dan nyaman, terutama saat menggambarkan perasaannya pada bunga melati di dalam lukisan itu. Wilson sungguh terima kasih, pengaturannya tidak buruk juga. Bahkan sangat baik."Liana.. Aku masih ingat detail tentangmu, semua.. Termasuk apapun yang kamu sukai.. Sekarang akan kuberikan perlahan." Aku tersenyum puas dengan mata terpejam kemudian kembali membukanya untuk melihat pemandangan hamparan satu kota Lincoln dari jendela yang sedang ku tatap. "Heh, gadis kecil masih bersemangat dan penuh tekad seperti dulu ha. Kita lihat saja bagaimana kedepannya, bukan berarti aku gk akan memberikanmu pelajaran, gadis n
Tangannya mengepal melihat sosok dalam foto di layar laptopnya itu."Hm.. Ternyata dia.." Seketika ekspresi David menjadi sangat serius, ada kilatan amarah dan posesif dalam matanya."Liana.. Sama dia sekalipun, gk akan ku kasih. Jangan harap..."Tangannya mengepal, beberapa saat kemudian jari - jarinya dengan cekatan menggerakan mouse mengarahkan kursor dengan tepat pada suatu halaman.Matanya menatap serius dan menjelajahi dengan cermat isi halaman tersebut."Kita lihat saja nanti..."Kemudian dirinya menelpon seseorang......KlikBunyi pintu terbuka.Wilson mendongak dengan ekspresi agak senang.Liana tersenyum ramah melihat sosok Wilson yang sedang duduk di meja kerjanya yang menatap kerah Liana dengan riang."Kamu sudah kembali?" Wilson memiringkan kepalanya pandangannya teralih kearah dua cangkir dengan kepulan asap yang berada dalam genggaman Liana. Alis Wilson menyatu seolah 'Apa sebegitu beratnya tugas yang diberikan, sampai harus minum dua cangkir? Kenapa tidak pakai yang