Embun pagi menyelimuti dedaunan, dengan malu-malu sinar mentari menampakkan diri. Menemani ayam-ayam jantan untuk bersuara, membangunkan semua insan yang masih terlelap dalam tidurnya.
Ayumi berjalan linglung sembari menyeret tas biru ke ruang tengah. Semalam ia tidur terlambat, jadilah sisa-sisa kantuk itu menggantung di bawah matanya. "Ai, cepat!" Suara Ayumi menggelegar, memanggil anak laki-laki yang tengah kerepotan memasukkan buku. "Pakai sepatumu," tuturnya setelah Airil tiba di samping kiri. Gerakan Ayumi memelan ketika menyadari panggilan dari Airil yang terdengar ragu. Masih dengan usahanya mengikat tali sepatu, ia menolehkan wajah. "Kenapa?" Lama Airil terdiam, bibirnya bergerak-gerak menyusun kalimat. "Apa Bibi itu ibuku?" Secarik kertas disodorkan ke hadapan Ayumi, tulisan Bibi Gadis terukir rapi di sana. [Untuk anakku tercinta, Airil. Selamat ulang tahun.] Buru-buru Ayumi meremas kertas itu. Kepalanya mendongak ke atas, mencari-cari pembelaan yang sepertinya sudah terkubur sejak lama. "Kamu sendiri tahu Bibi adalah satu-satunya orang yang merawat kita, kan?" Airil mengangguk cepat, mata bersih itu memandangi Ayumi dengan seksama. "Tentu saja dia menganggap kamu dan aku sebagai anaknya," sambung Ayumi sembari menundukkan pandangan. Melanjutkan simpul pita yang tadi sempat terjeda. "Tapi ketika aku tak sengaja terbangun, Bibi ada di sampingku. Dia membisikkan kalimat cinta dan pengakuan bahwa aku adalah anaknya." Untuk sesaat tangan Ayumi menggantung tak berdaya. Lidahnya kelu, kedua bahunya seolah diremas hingga ke ulu hati. Ada beribu penyangkalan dalam benaknya, namun tak ada satu pun yang berhasil ia lontarkan. "Ai, kamu percaya pada Kakak, kan?" Lagi-lagi anak laki-laki itu menganggukkan kepala. Rambut ikalnya menari dengan ringan, mengikuti gerakan yang ia lakukan. "Jangan dengarkan apa pun dari siapa pun, sebelum Kakak memberitahumu secara langsung. Mengerti?" Mata mereka bertemu, Ayumi dengan segala beban pikiran dan Airil yang mulai mengangguk perlahan. Setelahnya kedua kakak beradik itu meninggalkan rumah, menapaki jalanan kecil untuk mencapai jalan utama. Airil berbelok ke kanan, sedangkan Ayumi masih melenggang di garisnya. Diantara sederet bangunan, rumah Bunda Rea adalah satu-satunya yang terbungkus pagar tinggi. Tanpa alasan, Ayumi mencurahkan perhatian pada pintu besi yang tertutup. Warnanya begitu gelap, sampai-sampai bayangan yang ia punya tak terlihat. Tiba-tiba pintu itu terbuka, menampilkan Arkan yang kini menghentikan langkahnya. "Ayumi?" Alisnya terangkat dengan wajah melongok ke sana kemari. Ayumi yang menyaksikan itu jadi mengernyit bingung. Kedua kakinya bergerak mundur lantas memutar dan pergi meninggalkan. "Hei." Setelah suara itu tenggelam, Ayumi menghentakkan kaki ke bumi. Tangannya meremas tali tas di sisi kanan dan kiri. Tanpa perintah, rasa kesal mulai menggunung di hatinya. "Mau sampai kapan kamu memanggilku dengan sebutan itu?" Beberapa remaja yang baru saja tiba di jalan utama mulai melirik penasaran. Pertikaian kecil mereka berhasil menjadi topik utama. Dengan ragu Arkan menggumamkan permohonan maaf. Lirikan dari berbagai arah membuat keduanya terdiam dalam kecanggungan. "Aku pergi!" Buru-buru Ayumi menyeret kedua kaki, model rok abu-abunya membuat ia tak bisa berlari. Meski begitu dia memiliki tekad yang kuat, buktinya jarak antara dia dan Arkan sudah terbentang luas. Lonceng berbunyi tepat setelah gadis itu mencapai pintu. Deheman di belakang membuat Ayumi menegakkan tubuh. Dengan ragu ia berbalik, takut jikalau si pemilik suara itu adalah Guru Liam yang hari ini kembali mengajar. "Kamu?" Ayumi terkejut karena mendapati Arkan ada di hadapannya, namun ia tak bisa menyangkal bahwa kelegaan juga bersarang di sana. "Gak masuk?" tanya Arkan karena tak ada pergerakan sedikit pun dari gadis di depannya. "Oh?" Seolah baru tersadar dari lamunan, Ayumi mengerjap beberapa kali. Mata bulatnya memandang Arkan dengan dungu, sebelah tangannya terangkat menggaruk pipi. "Ayumi?" Arkan membenarkan posisi yang tadinya menunduk. Bahu kanannya menyentuh kusen pintu dengan santai, sedangkan bahu lainnya masih menampung tas hitam yang menggantung asal-asalan. "Kalian sedang apa?" Pertanyaan Meta keluar bersamaan dengan langkahnya yang terus melaju. Menerobos ruang sempit yang tersisa di ambang pintu. "Aw." Ayumi merintih sembari menutup mata. Terpaan dari rambut Meta membuatnya mengaduh di tempat. "Maaf, gak sengaja." Beru saja jemarinya akan mendekat, Guru Liam berdehem di luar kelas. Keberadaanya berhasil menarik semua atensi penghuni. "Kelas sudah dimulai, apa kalian tidak dengar?" Ketiga remaja itu melonjak, dengan cepat mereka mencapai kursi tanpa berucap apa-apa. Di sepanjang pembelajaran, konsentrasi Ayumi pecah menjadi beberapa bagian. Sel sarafnya berkerja dengan keras, mencari jawaban untuk berbagai pertanyaan di kepala. Waktu berjalan begitu cepat, suara jam di dinding mengiringi penjelasan yang terlontar sendirian. "Kelas sudah berakhir, kamu tidak keluar?" tanya Arkan setelah menutup buku gambarnya. "Ayumi?" Kali ini ia mengulurkan tangan untuk menyentuh bahu Ayumi. Dalam sekejap gadis itu menoleh dengan raut terkejut. "Hari ini kamu banyak kagetnya," gumamnya setelah kembali menarik diri. "Gak ke kantin?" Tak puas dengan kesunyian yang ada, Arkan kembali mengajukan pertanyaan. Ayumi yang ditodong secara tiba-tiba hanya menggeleng pelan. "Enggak," jawabnya acuh tak acuh. Lagi-lagi perbincangan mereka berakhir dingin. Ruangan yang hangat tak berhasil mencairkan kebisuan diantara keduanya. "Ar, yuk!" Dean datang dengan bola basket dalam pangkuan. Redo di belakangnya ikut-ikutan melambaikan tangan. "Kalau gitu aku keluar ya." Dalam diam belitan tanda tanya di kepala Ayumi semakin mengusut. Apalagi setelah Arkan mengucapkan salam perpisahan yang mampu membuat orang lain salah paham. Bahkan tadi kedua temannya sempat saling pandang sebelum akhirnya kembali bersikap biasa saja. "Jangan bawa perasaan, dasar bodoh!" racau Ayumi mencoba mengeluarkan isi kepala yang tidak berguna. Buru-buru tangannya meraba tas, mengeluarkan sebungkus kue kering yang ia bawa dari rumah. Dalam keheningan ia menikmati makan siangnya. Beruntung dua ekor burung hinggap di jendela yang terbuka, mereka hadir untuk menghibur Ayumi agar tidak kesepian.Di kejauhan, ada sebatang pohon rimbun yang berhasil tertutupi kabut tebal. Berkat hujan yang tiba-tiba turun, pemandangan sekitar menjadi sedikit kabur. Arkan mendorong dua gelas ke hadapan Ayumi, namun gadis itu masih belum sadar. Diam-diam dia menekan pegangan sendok dengan telinga terlipat, persis seperti kelinci yang ketakutan. Sekali lagi ia bertanya, "Ada apa?" Pria itu mulai lelah. Secara alami ia menggerakkan Ayumi ke kursi samping dan menduduki tempatnya. Sekuncup kenangan muncul ketika jemari keduanya tak sengaja bergesekan. Begitu pandangan mereka bertemu, hidup di masa depan seolah menjadi ilusi. Karena saat ini, baik Ayumi atau pun Arkan tengah berlarian di masa lampau. Suasana melambat dengan aroma tanah yang mulai menyebar. Di luar, ada banyak kilatan yang menyambar. Ribuan ranting saling menggenggam satu sama lain. Dalam ketenangan yang nyata, Ayumi mulai mengalihkan atensi. Buru-buru ia melambai pada Eky yang baru saja melangkah masuk. Pemuda itu bersenand
Cinta lahir ketika hati bertabrakan.____________________________________Matahari yang terik membuat udara terasa panas. Dalam cahaya yang menyilaukan, Ayumi melihat seorang pria muda tengah bersandar di pintu kayu. Senyum besar menggantung pada mulut, sementara insan lain menjelma menjadi bingkai sunyi. Karena kebisingan yang ada tak cukup keras untuk bisa menembus gendang telinga. Pelan-pelan gadis itu menjejalkan kaki sembari mengencangkan sudut pakaian. Tangan kecilnya meringkuk di ujung baju. Gesekan antara sol sepatu dan lantai terdengar samar. Bayangan halus yang tergambar juga turut melayang."Ar!"Tiba-tiba suara jernihnya keluar, menghasilkan gema panjang.Ketika masih muda, ambisi seperti menu makan di pagi hari. Bahkan kegagalan terdengar seperti bualan yang dibesar-besarkan.Saat Ayumi mengambil langkah lebih cepat, bola-bola mata itu terlempar semakin dalam. Ada banyak hal yang membuatnya berdebar, terutama senyuman Arkan. "Tidak masuk?"Tepukan pada lengan mendarat d
Hal-hal manis pun akan berubah pahit jika berlebihan. ____________________________________Jangkrik-jangkrik kecil bersenandung di padang rumput. Gelapnya langit malam semakin membuat mereka kegirangan.Arkan berpakaian lebih santai hari ini. Celana pendeknya menggantung selutut, menyisakan dua batang sumpit yang panjang dan kurus.Diam-diam Ayumi menunduk lalu berkata, "Bagaimana kabarmu?"Begitu dia memberanikan diri, dorongan dari telapak tangan besar menghantamnya ke sudut pagar.Sontak Ayumi terhenyak, punggungnya runtuh dengan jujur.Arkan sang pelaku hanya menurunkan mata lantas tiba-tiba tertawa. "Apa pedulimu?" tanyanya.Tanpa basa-basi, ia meletakkan tangan pada kepala Ayumi. Bibirnya berucap senang, "Bukankah kamu yang memilih untuk pergi?"Gadis itu terdiam, seolah pita suaranya dipotong dari dalam. Tak ada yang bisa dia lontarkan sebagai bantahan, sosok menyebalkan Arkan kemarin kembali hadir di hadapannya. Selama perjalanan pulang, Ayumi hanya mampu memakukan pandangan
Cinta muda tidak pernah mati, mereka selalu jatuh di tempatnya. ____________________________________Sekelompok burung pipit kecil melayang-layang di udara, mereka tampak sangat senang. Bulu cokelat kekuningan itu bertebaran dengan cepat, hampir memenuhi separuh atensi.Arkan berjalan di bawahnya bersama Yin. Kaki berlapis sepatu putih itu terayun hati-hati. Sebelah tangannya bersembunyi di saku celana, sementara yang lain memainkan sebuah kunci. Dari kejauhan, punggung rapuh seseorang melintas perlahan. Arkan tidak berbicara, namun langkahnya bergerak mengikuti di belakang.Mereka memasuki lorong yang sunyi, sapuan angin pada dedaunan di luar terlihat jelas dari balik kaca besar. Pot-pot bunga di sudut koridor tampak angkuh dalam kesendirian.Ayumi mendadak buta, genangan air di lantai kantor membuatnya terhuyung beberapa langkah. Mata bulat itu membola dengan tangan menggapai sekitar, meminta pertolongan. Tiga detik lagi bokongnya siap menghantam bumi, namun tiba-tiba telapak tan
Banyak orang bertanya, bagaimana dunia bekerja untuk orang sepertiku dan orang sepertimu.____________________________________Suara pintu yang dibanting mengguncang langit senja. Mata Ayumi menjadi lebih terbuka, seakan-akan ia bisa memasukan seseorang ke dalamnya. "Mengapa dia begitu menyebalkan?" Gemaannya masih terdengar bahkan ketika dia telah menapaki jalanan. Melewati barisan lampu di setiap sisi. Tepat saat Ayumi berbelok ke kanan, seseorang memasuki bangunan yang sama dari arah berlawanan. Dia tampak tersenyum sembari menenteng tas hitam. Langkahnya terayun santai, mengikuti irama lagu yang mengalun di daun telinga. Ada sekitar tiga tikungan sebelum Ayumi mencapai jalan utama. Beberapa siswa keluar dari gerbang sekolah. Tanpa sadar, Ayumi tertarik pada sepasang remaja yang baru saja melintas. Ia mengikuti dengan seksama setiap gerakan, posisi, dan ekspresi mereka yang halus. Seolah ditarik ke dasar laut, pikiran Ayumi mengalami kekosongan. Semua hal yang terekam oleh ma
Kulit ari yang tipis bergerak menggulir layar. Kacamata berbingkai perak itu turun mengikuti gerakan Eky yang menunduk. Ia berbicara terus terang, "Aku tidak mengenalnya secara pribadi, namun temanku telah lama bekerja dengannya." Diam-diam Ayumi menarik bibir, "Apa ini sebuah keberuntungan?" Angin musim hujan yang suram telah berlalu, saat ini hanya tersisa tarian kelopak bunga. Bahkan ketika kaki Ayumi berjalan mengitari lobi, senyumnya masih secerah tadi. Di jalan kenanga yang padat, kendaraan roda empat saling berpacu lebih dulu. Dari segala jenis keramaian, gadis itu mengusap permukaan lutut. Masih ada sisa waktu sebelum bus tiba, Ayumi menarik ponsel untuk sekadar mengenyahkan kesendirian. Email balasan dari Bomi sudah ia baca ratusan kali. Rasa-rasanya kalimat yang tertata rapi itu sangat nyaman untuk diucapkan. "Aku benar-benar bahagia!" Jeritan kecil berhasil membelah keheningan. Beberapa pasang mata tampak menoleh sebentar lalu kembali mengabaikan. Suara pin
Tak ada salahnya mengorbankan hal kecil untuk sesuatu yang besar bersinar.____________________________________Cahaya bulan berhasil dipelintir oleh sinar mentari. Seolah menggambarkan kekalahan, burung-burung menangis mengawali hari."Jam berapa ini?" Ayumi bergumam dalam tidurnya, bibir kecil itu menguap beberapa kali. Semalam, ia terjaga cukup lama. Pelan-pelan jemari kanannya mengusap ujung mata.Sebuah suara mengalun dari atas meja, Ayumi menoleh dengan malas. "Siapa yang menelepon jam segini?"Meskipun bibirnya melontarkan kekesalan, panggilan pada layar tetap ia sambungkan. "Halo," sapanya malas.Pada awalnya, ucapan dari seberang terdengar begitu samar. Seakan-akan telinganya enggan untuk menerima.Sekali lagi ia berkata lebih kencang, "Halo?""Drafmu sudah dipublikasikan oleh pihak komunikasi atas nama Pak Rui!"Dalam jiwanya, gelegar petir saling bersahutan. Kaca-kaca transparan di dada seolah remuk tak tersisa. "Apa?"Suara Ayumi melengking nyaring, bahkan kupu-kupu ya
Dia terlalu indah untuk disembunyikan. ____________________________________Desember, 2023Semua hal berjalan seperti badai di tengah kota, ada keributan juga perasaan tertekan. Seperti sore ini, suasana kantor mendadak menjadi ruang atraksi. Lemparan map dari anggota divisi saling meluncur di meja rapat."Aku sungguh kesal!"Seorang gadis menekan kuat sandaran kursi, matanya memicing pada lembaran kertas yang sudah remuk."Orang-orang tua itu terlalu kolot."Ayumi menanggapi keluhan rekan satu timnya dengan serius, "Ini memang keterlaluan."Jari-jari lentik itu memutar pena dengan gugup. Penolakan dari atas terlalu kuat, ia harus menemukan cara untuk bebas.Saat ketegangan berkurang, Ayumi memiringkan kepala dan berkata, "Ayo pergi!"Pintu kaca didorong dengan sisa-sisa tenaga. Gerutuan dari Casandra terus terlontar menggapai kerumunan. "Siapa yang akan memasang iklan di baliho tahun ini? Benar-benar tak habis pikir!"Eky dari samping kanan menyahut, "Justru karena mereka tua, jadi
Cara terbaik untuk diam adalah hilang. ____________________________________ September, 2018 Bus melaju di tengah gersangnya hari Senin. Iklan-iklan pada baliho di jalan bergulir seperti putaran film. Ayumi turun dengan percaya diri ketika kendaraan itu menepi di halte megah dan tinggi. "Memang tidak salah lagi, ini universitas yang besar." Kepalan tangannya menenteng tas kain bergambar bunga. Ayumi mengenakan kemeja biru yang dipadukan dengan celana jeans panjang. Rambut sepundaknya terurai, menutupi sebagian tengkuk dari panasnya sinar mentari. Arsitektur di hadapannya tampak tua namun penuh dengan nilai budaya. Ada banyak pohon yang menjulang juga tanaman rambat, persis seperti negeri dongeng masa kini. Masih diselimuti kekaguman, Ayumi bergumam dalam keramaian, "Ini cantik." Tangkai rapuh yang memanjang memeluk anyaman besi dengan kencang. Daun-daun hijau itu memiliki tepi bergerigi. Bentuknya sangat unik, hampir menyerupai sebuah jantung. Ayumi berjalan bebas,