Jalanan setapak menuju gerbang sekolah dipenuhi guguran bunga kencana. Cokelatnya tanah tertimbun oleh lautan berwarna ungu, beberapa dedaunan juga turut menambah keindahan. Langit yang menaungi insan berlalu-lalang pun ikut berseri, menampilkan cahaya keemasan untuk hari yang akan segera berakhir.
Ayumi melangkah semakin cepat, beban di pundaknya terlihat begitu berat. Kedua tangan putih itu ikut menyangga dari bawah, membagi penderitaan agar tetap merata. Tiba-tiba Ayumi berhenti berjalan, derap langkah di belakang berhasil menusuk pendengaran. “Jangan mengikutiku,” ujarnya setelah membalikkan badan. Rambut panjang terikatnya berputar mengikuti gerakan kepala. Jika saja Arkan tidak cepat menghindar, helaian yang menyatu itu pasti menampar wajahnya. Arkan menaikan alis dengan bingung, sebelah tangan ia masukan ke saku celana. “Apa yang kamu katakan? Rumahku juga ada di sana.” Telunjuk rampingnya mengarah ke jalan yang Ayumi punggungi. Karena tak ingin berdebat, gadis itu memilih untuk melanjutkan perjalanan. Kaki mereka terayun senada, Ayumi dengan pandangan menunduk dan Arkan yang tak henti-hentinya memerhatikan. Lambat laun, gerakan Ayumi memelan. Ia seringkali terganggu oleh keberadaan tas yang menggantung di punggungnya. “Apa yang kamu bawa di tas? Perpustakaan?” Pandangan mereka beradu tanpa ada yang mau memutus lebih dulu. Cekalan Arkan di tasnya membuat Ayumi ikut berjinjit. “Jalan!” Masih dengan kepala penuh tanya, Ayumi menggerakkan kakinya perlahan. Matanya tak berhenti menatap Arkan yang kini mengalihkan pandangan. “Bisa lepaskan tanganmu? Aku tidak nyaman.” Di sepanjang jalan, ucapan dari Ayumi tak kunjung mendapatkan balasan. Dengan kesal ia menyikuti perut Arkan kencang. Dalam sekejap, pria itu mengaduh sembari menyangga pendaratan. “Dari tadi aku sudah memperingatkanmu, jadi itu bukan salahku.” Tanpa belas kasihan, Ayumi menutup perhatian. Kedua kaki beralaskan sepatu hitam putih itu mulai berjalan menjauh. Hingga tiba-tiba panggilan dari belakang kembali membuatnya menolehkan kepala. “Arkan?” Itu adalah panggilan kedua yang terlontar, seorang wanita berbaju panjang turut menekuk lutut di tanah. Karena ragu untuk meninggalkan, pada akhirnya Ayumi berjalan mendekat. Mengamati kedua insan hingga matanya membelalak. “Bunda?” tanyanya sembari meletakkan jari-jemari di mulut. Bunda Rea mengangkat dagu, keningnya mengerut untuk beberapa saat sampai kemudian ia berseru senang. Perhatiannya untuk Arkan benar-benar terputus, yang tersisa hanyalah nama Ayumi yang terus keluar dari bibir tipisnya. “Senang bisa melihatmu lagi,” tuturnya setelah melebarkan tangan. Kedua wanita itu berpelukan dengan erat, melupakan keberadaan Arkan yang kini masih melongo di tempat. “Bunda kenapa bisa ada di sini? Bukannya Bunda udah lama pindah?” Perbincangan mereka benar-benar tak bisa dihentikan. Padahal sejak tadi seseorang di belakang garis kerinduan bertanya tanpa jeda. “Bunda tinggal di sini lagi sekarang, kapan-kapan Ay main ke rumah ya.” Dengan cepat Ayumi mengangguk, karena sejak dulu ia seringkali menghabiskan waktu di rumah itu. Rumah besar yang isinya hanya ada Bunda Rea seorang. “Bunda?” Tepat setelah Arkan mengeluarkan suara itu, Ayumi berbalik sinis. Ia benar-benar tidak suka jikalau pria itu mengucapkan sapaan yang sama. “Aduh maaf-maaf, anak Bunda yang satu ini jadi terabaikan.” Sontak Ayumi memasang wajah masam, karena terkejut cengkraman pada ujung bajunya ikut mengerat. “Anak? Arkan anak Bunda?” Dengan polos wanita paruh baya itu mengangguk. Matanya berulangkali menatap Arkan dan Ayumi bergantian. “Bukankah wajah kami mirip?” tanyanya setelah membawa Arkan ke dalam pelukan. “Bagaimana bisa wajah menyeramkan itu mirip dengan wajah cantik Bunda?” Hampir saja Ayumi memuntahkan isi kepala, beruntung akal sehatnya lebih waras dari apa yang ia kira. Jika tidak, Arkan benar-benar akan mengibarkan bendera permusuhan sekarang. “Haha, iya ya?” Ayumi ragu untuk bergerak, tangannya menggaruk leher dengan pola tak beraturan. Sampai akhirnya kaki-kaki itu melenggang setelah berpamitan. “Bunda kok bisa kenal Ayumi?” Arkan mulai menuntut penjelasan begitu keduanya kembali berjalan. Meninggalkan jejak di sepanjang tanah yang terbentang. Rumput-rumput liar di pinggir jalan mulai bergoyang begitu angin melintas dengan kejam. Pasir-pasir yang nakal berhamburan sesukanya, membuat pejalan kaki menutup mata karena tak sanggup menghadapi serangan bertubi-tubi. “Bunda kan dulu tinggal di sini, terus Ayumi juga keponakannya Gadis.” “Gadis?” Alis tebal itu kembali terangkat, ada begitu banyak ketidaktahuan yang dirinya memiliki mengenai kehidupan sang bunda. “Itu lho, yang dulu kerja di toko kue Bunda.” Hari berakhir tanpa menyisakan sesuatu yang bermakna. Di ruangan berbeda, dua pelajar itu memaku di atas meja. Ayumi dengan buku Matematika, sedangkan Arkan dengan kanvas dan kuas. Jendela kamar yang belum terkunci baru saja tertiup angin. Ayumi melirik sembari menghela napas. Langkah lesunya terayun mendekat, sebelum menutup benda itu, matanya terlempar ke luar. Ada begitu banyak bintang malam ini, melihat kelap-kelip di atas sana membuat Ayumi memikirkan masa depan. Masa depan yang sudah ia susun sejak lama. Ada banyak hal yang ingin dirinya capai, termasuk universitas ternama di kotanya. “Ay, makan dulu!” Teriakkan dari luar menghapus pengandaian dalam benaknya. Begitu menyibak tirai, Bibi Gadis tersenyum dengan semangkuk sup ayam di tangan. “Sudah Bibi hangatkan,” ucapnya setelah menata meja. Rumah yang tak besar itu penuh kehangatan. Di ujung ruangan yang sesak ada seorang anak yang tengah meringkuk sendirian. Mimpi di kepalanya tak jauh dengan milik Ayumi, atau mungkin dengan semua orang yang merindukan kasih sayang. “Ayo dimakan, nanti malah dingin lagi.” Usapan di bahu terasa lembut. Dalam diam Ayumi mati-matian menahan tangis. Setiap kali wanita itu memperlakukannya dengan sangat baik, ia merasa tertekan. Kejahatan yang dilakukan oleh orang lain seolah menjelma menjadi kesalahannya. Airil yang tengah memeluk guling itu menjadi bukti betapa menderitanya Bibi Gadis selama ini. “Bibi juga makan sini.” Bukannya melanjutkan kegiatan, kedua insan itu malah memilih untuk saling mengeluarkan kesedihan. Sudah tujuh tahun berlalu, namun luka yang ada tak kunjung membaik. Yang tersisa dari guratan kebencian itu hanya rasa sesak di dada. Beribu permohonan maaf Ayumi lontarkan, meski pada akhirnya itu adalah tindakan yang sia-sia. Karena pada kenyataannya, kejadian tak bermoral itu sudah terlaksana. Dan yang paling mengerikan, mereka melekat dalam ingatan. Menghisap habis seluruh energi kehidupan, hingga yang tersisa hanyalah keputusasaan.Di kejauhan, ada sebatang pohon rimbun yang berhasil tertutupi kabut tebal. Berkat hujan yang tiba-tiba turun, pemandangan sekitar menjadi sedikit kabur. Arkan mendorong dua gelas ke hadapan Ayumi, namun gadis itu masih belum sadar. Diam-diam dia menekan pegangan sendok dengan telinga terlipat, persis seperti kelinci yang ketakutan. Sekali lagi ia bertanya, "Ada apa?" Pria itu mulai lelah. Secara alami ia menggerakkan Ayumi ke kursi samping dan menduduki tempatnya. Sekuncup kenangan muncul ketika jemari keduanya tak sengaja bergesekan. Begitu pandangan mereka bertemu, hidup di masa depan seolah menjadi ilusi. Karena saat ini, baik Ayumi atau pun Arkan tengah berlarian di masa lampau. Suasana melambat dengan aroma tanah yang mulai menyebar. Di luar, ada banyak kilatan yang menyambar. Ribuan ranting saling menggenggam satu sama lain. Dalam ketenangan yang nyata, Ayumi mulai mengalihkan atensi. Buru-buru ia melambai pada Eky yang baru saja melangkah masuk. Pemuda itu bersenand
Cinta lahir ketika hati bertabrakan.____________________________________Matahari yang terik membuat udara terasa panas. Dalam cahaya yang menyilaukan, Ayumi melihat seorang pria muda tengah bersandar di pintu kayu. Senyum besar menggantung pada mulut, sementara insan lain menjelma menjadi bingkai sunyi. Karena kebisingan yang ada tak cukup keras untuk bisa menembus gendang telinga. Pelan-pelan gadis itu menjejalkan kaki sembari mengencangkan sudut pakaian. Tangan kecilnya meringkuk di ujung baju. Gesekan antara sol sepatu dan lantai terdengar samar. Bayangan halus yang tergambar juga turut melayang."Ar!"Tiba-tiba suara jernihnya keluar, menghasilkan gema panjang.Ketika masih muda, ambisi seperti menu makan di pagi hari. Bahkan kegagalan terdengar seperti bualan yang dibesar-besarkan.Saat Ayumi mengambil langkah lebih cepat, bola-bola mata itu terlempar semakin dalam. Ada banyak hal yang membuatnya berdebar, terutama senyuman Arkan. "Tidak masuk?"Tepukan pada lengan mendarat d
Hal-hal manis pun akan berubah pahit jika berlebihan. ____________________________________Jangkrik-jangkrik kecil bersenandung di padang rumput. Gelapnya langit malam semakin membuat mereka kegirangan.Arkan berpakaian lebih santai hari ini. Celana pendeknya menggantung selutut, menyisakan dua batang sumpit yang panjang dan kurus.Diam-diam Ayumi menunduk lalu berkata, "Bagaimana kabarmu?"Begitu dia memberanikan diri, dorongan dari telapak tangan besar menghantamnya ke sudut pagar.Sontak Ayumi terhenyak, punggungnya runtuh dengan jujur.Arkan sang pelaku hanya menurunkan mata lantas tiba-tiba tertawa. "Apa pedulimu?" tanyanya.Tanpa basa-basi, ia meletakkan tangan pada kepala Ayumi. Bibirnya berucap senang, "Bukankah kamu yang memilih untuk pergi?"Gadis itu terdiam, seolah pita suaranya dipotong dari dalam. Tak ada yang bisa dia lontarkan sebagai bantahan, sosok menyebalkan Arkan kemarin kembali hadir di hadapannya. Selama perjalanan pulang, Ayumi hanya mampu memakukan pandangan
Cinta muda tidak pernah mati, mereka selalu jatuh di tempatnya. ____________________________________Sekelompok burung pipit kecil melayang-layang di udara, mereka tampak sangat senang. Bulu cokelat kekuningan itu bertebaran dengan cepat, hampir memenuhi separuh atensi.Arkan berjalan di bawahnya bersama Yin. Kaki berlapis sepatu putih itu terayun hati-hati. Sebelah tangannya bersembunyi di saku celana, sementara yang lain memainkan sebuah kunci. Dari kejauhan, punggung rapuh seseorang melintas perlahan. Arkan tidak berbicara, namun langkahnya bergerak mengikuti di belakang.Mereka memasuki lorong yang sunyi, sapuan angin pada dedaunan di luar terlihat jelas dari balik kaca besar. Pot-pot bunga di sudut koridor tampak angkuh dalam kesendirian.Ayumi mendadak buta, genangan air di lantai kantor membuatnya terhuyung beberapa langkah. Mata bulat itu membola dengan tangan menggapai sekitar, meminta pertolongan. Tiga detik lagi bokongnya siap menghantam bumi, namun tiba-tiba telapak tan
Banyak orang bertanya, bagaimana dunia bekerja untuk orang sepertiku dan orang sepertimu.____________________________________Suara pintu yang dibanting mengguncang langit senja. Mata Ayumi menjadi lebih terbuka, seakan-akan ia bisa memasukan seseorang ke dalamnya. "Mengapa dia begitu menyebalkan?" Gemaannya masih terdengar bahkan ketika dia telah menapaki jalanan. Melewati barisan lampu di setiap sisi. Tepat saat Ayumi berbelok ke kanan, seseorang memasuki bangunan yang sama dari arah berlawanan. Dia tampak tersenyum sembari menenteng tas hitam. Langkahnya terayun santai, mengikuti irama lagu yang mengalun di daun telinga. Ada sekitar tiga tikungan sebelum Ayumi mencapai jalan utama. Beberapa siswa keluar dari gerbang sekolah. Tanpa sadar, Ayumi tertarik pada sepasang remaja yang baru saja melintas. Ia mengikuti dengan seksama setiap gerakan, posisi, dan ekspresi mereka yang halus. Seolah ditarik ke dasar laut, pikiran Ayumi mengalami kekosongan. Semua hal yang terekam oleh ma
Kulit ari yang tipis bergerak menggulir layar. Kacamata berbingkai perak itu turun mengikuti gerakan Eky yang menunduk. Ia berbicara terus terang, "Aku tidak mengenalnya secara pribadi, namun temanku telah lama bekerja dengannya." Diam-diam Ayumi menarik bibir, "Apa ini sebuah keberuntungan?" Angin musim hujan yang suram telah berlalu, saat ini hanya tersisa tarian kelopak bunga. Bahkan ketika kaki Ayumi berjalan mengitari lobi, senyumnya masih secerah tadi. Di jalan kenanga yang padat, kendaraan roda empat saling berpacu lebih dulu. Dari segala jenis keramaian, gadis itu mengusap permukaan lutut. Masih ada sisa waktu sebelum bus tiba, Ayumi menarik ponsel untuk sekadar mengenyahkan kesendirian. Email balasan dari Bomi sudah ia baca ratusan kali. Rasa-rasanya kalimat yang tertata rapi itu sangat nyaman untuk diucapkan. "Aku benar-benar bahagia!" Jeritan kecil berhasil membelah keheningan. Beberapa pasang mata tampak menoleh sebentar lalu kembali mengabaikan. Suara pin
Tak ada salahnya mengorbankan hal kecil untuk sesuatu yang besar bersinar.____________________________________Cahaya bulan berhasil dipelintir oleh sinar mentari. Seolah menggambarkan kekalahan, burung-burung menangis mengawali hari."Jam berapa ini?" Ayumi bergumam dalam tidurnya, bibir kecil itu menguap beberapa kali. Semalam, ia terjaga cukup lama. Pelan-pelan jemari kanannya mengusap ujung mata.Sebuah suara mengalun dari atas meja, Ayumi menoleh dengan malas. "Siapa yang menelepon jam segini?"Meskipun bibirnya melontarkan kekesalan, panggilan pada layar tetap ia sambungkan. "Halo," sapanya malas.Pada awalnya, ucapan dari seberang terdengar begitu samar. Seakan-akan telinganya enggan untuk menerima.Sekali lagi ia berkata lebih kencang, "Halo?""Drafmu sudah dipublikasikan oleh pihak komunikasi atas nama Pak Rui!"Dalam jiwanya, gelegar petir saling bersahutan. Kaca-kaca transparan di dada seolah remuk tak tersisa. "Apa?"Suara Ayumi melengking nyaring, bahkan kupu-kupu ya
Dia terlalu indah untuk disembunyikan. ____________________________________Desember, 2023Semua hal berjalan seperti badai di tengah kota, ada keributan juga perasaan tertekan. Seperti sore ini, suasana kantor mendadak menjadi ruang atraksi. Lemparan map dari anggota divisi saling meluncur di meja rapat."Aku sungguh kesal!"Seorang gadis menekan kuat sandaran kursi, matanya memicing pada lembaran kertas yang sudah remuk."Orang-orang tua itu terlalu kolot."Ayumi menanggapi keluhan rekan satu timnya dengan serius, "Ini memang keterlaluan."Jari-jari lentik itu memutar pena dengan gugup. Penolakan dari atas terlalu kuat, ia harus menemukan cara untuk bebas.Saat ketegangan berkurang, Ayumi memiringkan kepala dan berkata, "Ayo pergi!"Pintu kaca didorong dengan sisa-sisa tenaga. Gerutuan dari Casandra terus terlontar menggapai kerumunan. "Siapa yang akan memasang iklan di baliho tahun ini? Benar-benar tak habis pikir!"Eky dari samping kanan menyahut, "Justru karena mereka tua, jadi
Cara terbaik untuk diam adalah hilang. ____________________________________ September, 2018 Bus melaju di tengah gersangnya hari Senin. Iklan-iklan pada baliho di jalan bergulir seperti putaran film. Ayumi turun dengan percaya diri ketika kendaraan itu menepi di halte megah dan tinggi. "Memang tidak salah lagi, ini universitas yang besar." Kepalan tangannya menenteng tas kain bergambar bunga. Ayumi mengenakan kemeja biru yang dipadukan dengan celana jeans panjang. Rambut sepundaknya terurai, menutupi sebagian tengkuk dari panasnya sinar mentari. Arsitektur di hadapannya tampak tua namun penuh dengan nilai budaya. Ada banyak pohon yang menjulang juga tanaman rambat, persis seperti negeri dongeng masa kini. Masih diselimuti kekaguman, Ayumi bergumam dalam keramaian, "Ini cantik." Tangkai rapuh yang memanjang memeluk anyaman besi dengan kencang. Daun-daun hijau itu memiliki tepi bergerigi. Bentuknya sangat unik, hampir menyerupai sebuah jantung. Ayumi berjalan bebas,