Kicauan burung menghilang setelah Ayumi membereskan sisa makanan. Remahan roti menyelinap di sela bibir, dengan cepat ia menariknya ke dalam mulut. Tak lama, sepasang manusia memasuki ruang kelas, senyum berseri keduanya menyamarkan sinar mentari.
Ayumi mendesah saat menyadari waktu istirahat masih panjang. Pandangannya berkeliling setelah suntuk membaca buku. Seperti magnet dengan kutub yang berbeda, mata Ayumi melirik selembar kertas di meja seberang. Lukisan setengah jadi itu berada di bawah pensil yang terbagi dua. “Dasar aneh,” cibirnya memalingkan muka. Sialnya karena pelarian tersebut, netra Ayumi harus beradu dengan Arkan. Pria itu kini berjalan santai ke arahnya. Jemari sebelah kanan miliknya bergerak-gerak menurunkan lipatan pada baju bagian lengan. “Bukankah ini sudah kali kedua kamu tertarik dengan hasil gambarku?” Mendengar itu Ayumi mendelik, bibirnya mengerut menahan umpatan. “Apakah sebagus itu?” tanya Arkan setelah membawa lukisannya ke hadapan Ayumi. Sketsa wajah seorang gadis berambut hitam lurus itu memenuhi penglihatan. Bahunya mengerucut karena kedua tangan diletakkan di depan. “Biasa aja tuh!” Ayumi menimpali dengan raut tak peduli. Meski begitu, guratan penasaran tak kunjung mereda pada ujung matanya. Sekilas Arkan tersenyum, lagi-lagi ia menjauh dengan ayunan pelan. Suara tarikan kursi terdengar saat Ayumi meluruskan badan. Diam-diam ia mencuri pandang pada karya sekaligus pemiliknya. Ada begitu banyak gadis dengan rambut lurus di kelas, ia jadi kesulitan untuk menerka siapa yang Arkan gambar. Apalagi hidung dan bibirnya belum benar-benar selesai. Namun tanda titik di kedua pipi itu kembali menjadi sumber perhatiannya. “Apa itu tahi lalat?” terka Ayumi sembari menopang dagu. Jari-jari tangannya bergerak riang, beberapa kali kedua telunjuk itu menyentuh cekungan di pipi. Belum selesai ia berdamai dengan isi kepala, pembelajaran dimulai setelah Guru Zia memasuki ruangan. Buru-buru Ayumi menepis pertanyaan yang sedari tadi menghuni pikiran. Hal-hal tak berguna itu keluar seiring dengan materi yang terlontar. Di saat semburat jingga memenuhi langit, gerbang sekolah tertutup rapat. Kaki Ayumi melenggang tanpa ragu, menapaki jalanan berbatu menuju tempat persinggahan yang lain. “Permisi,” ujarnya setelah mengetuk pintu berapa kali. Balasan dari dalam rumah terdengar samar. Gesekan antara pintu kayu dan lantai mulai menghiasi pendengaran. “Masuk Ay, Kinan udah nungguin kamu di kamarnya.” Langkah Ayumi kembali terayun, melewati ruang tamu hingga akhirnya sampai pada ruangan yang dituju. Begitu pintu terbuka, bayangan tubuh kecil terpapar sinar lampu. Rambut ikat duanya menjuntai melewati bahu. Baju lengan panjangnya digulung seperempat, jemari kanannya meliuk-liuk di atas buku yang terbuka. “Sore, Kinan.” Sapaan dari Ayumi berhasil membuatnya menoleh. Tak lama, tangan mungil itu melambai kegirangan. Bibirnya tersenyum lebar, mewakili perasaan yang tengah berbahagia. “Tugas buat besok udah selesai?” Anggukan kecil dari Kinan menggoda Ayumi untuk memberikan elusan di kepala. Tumpukan buku yang tadinya menggunung sudah mulai berkurang, beberapa diantaranya berserakan di lantai. Sembari menunggu Kinan menyelesaikan latihan soal, Ayumi merebahkan punggungnya ke sandaran kursi. Jam dinding yang sedari tadi bersuara itu menarik atensinya. Langit senja sudah sepenuhnya menghilang. Di balik kaca kamar itu hanya ada sinar rembulan. Bintang-bintang yang biasanya turut hadir tengah mengambil jatah libur. “Hati-hati kak Ay!” Suara Kinan mengalun kencang ketika tubuh lelah itu keluar dari pekarangan rumah. Wajah Ayumi terlalu suram untuk remaja seusianya. Ketika anak-anak lain dapat menikmati waktu luang dengan bersantai, ia harus rela bolak-balik mengumpulkan uang. Di sepanjang jalan, perumahan yang kokoh itu berdiri berjauhan. Pohon-pohon di sekitarnya terlihat mengerikan dalam kegelapan. Pagar kayu sepinggang berhasil Ayumi tarik dengan satu tangan. Lampu redup di teras hanya mampu menerangi area pintu yang tertutup. “Bibi, Ay pulang.” Suaranya memelan begitu mendapati Airil sudah terlelap di tempatnya. Kepalanya melongok ke sana kemari guna mencari keberadaan Bibi Gadis. “Mungkin keluar sebentar,” ujarnya menyerah akan usaha yang sia-sia. Perlahan tas di punggung ia letakkan di dekat lemari. Buru-buru tangan kurus itu meraih handuk yang menggantung. Dalam perjalannya Ayumi berhenti sejenak, membenarkan posisi selimut yang sudah beralih ke ujung kaki. “Selamat malam, Ai.” Rambut ikal Airil bergerak ringan karena elusan. Dalam diam Ayumi memandangi anak lelaki itu lekat-lekat. “Jangan mulai deh,” racaunya menutup perhatian. Kembali ia melenggang perlahan, mencapai gorden kamar mandi dengan mata terbelalak. “Bibi!” Jeritannya mampu mengguncang seisi rumah. Airil yang sejak tadi merajut mimpi pun kini berdiri linglung. Tanpa menanggapi pertanyaan yang dilontarkan sang adik, Ayumi berlari tunggang-langgang. Kakinya beberapa kali tergores bebatuan, bahkan ujung telunjuknya masih mengeluarkan darah akibat jarum tajam yang terpasang di sisi gorden sebelah kanan. “Tolong!” Teriakannya menggema bersama suara para jangkrik di semak-semak. Pelukan angin malam semakin membekukan sanubari, Ayumi terus menangis sejadi-jadinya. “Tolong!” Dari sekian banyak orang yang ia kenal, Bunda Rea menjadi satu-satunya jawaban. Dengan bibir menahan isakan, langkahnya terus beradu melawan kesialan. “Bunda! Bunda tolong Bibi, Bunda.” Kepalan tangannya mengetuk dengan cepat. Bibir mungil itu tak henti-hentinya mengucapkan permohonan. Lama Ayumi harus menunggu, kesepian di dalam sana masih bertahan hingga membuatnya lunglai di jalanan. “Ayumi?” Keputusasaan yang hampir saja memenuhi hatinya terhambat oleh sebuah panggilan. Ayumi berbalik dengan cepat, mengabaikan seragam sekolahnya yang sudah tak layak pakai. Noda dan keringat menjadi hiasan terindah di antara motif lain. “Tolong, tolong Bibi. Dia—dia pingsan di rumah, Arkan!” Gadis itu memelas dengan sungguh-sungguh. Kedua tangannya memeluk erat jari-jemari Arkan. Tanpa jeda, ia terus menggumamkan permohonan. “Kamu tenang dulu. Aku akan masuk ke dalam dan bangunkan Bunda. Setelah itu kita bawa Bibi kamu ke rumah sakit, ya?” Cekalan keduanya mulai melonggar. Ayumi mengangguk penuh harapan, melepaskan Arkan yang sudah menghilang dari pandangan.Di kejauhan, ada sebatang pohon rimbun yang berhasil tertutupi kabut tebal. Berkat hujan yang tiba-tiba turun, pemandangan sekitar menjadi sedikit kabur. Arkan mendorong dua gelas ke hadapan Ayumi, namun gadis itu masih belum sadar. Diam-diam dia menekan pegangan sendok dengan telinga terlipat, persis seperti kelinci yang ketakutan. Sekali lagi ia bertanya, "Ada apa?" Pria itu mulai lelah. Secara alami ia menggerakkan Ayumi ke kursi samping dan menduduki tempatnya. Sekuncup kenangan muncul ketika jemari keduanya tak sengaja bergesekan. Begitu pandangan mereka bertemu, hidup di masa depan seolah menjadi ilusi. Karena saat ini, baik Ayumi atau pun Arkan tengah berlarian di masa lampau. Suasana melambat dengan aroma tanah yang mulai menyebar. Di luar, ada banyak kilatan yang menyambar. Ribuan ranting saling menggenggam satu sama lain. Dalam ketenangan yang nyata, Ayumi mulai mengalihkan atensi. Buru-buru ia melambai pada Eky yang baru saja melangkah masuk. Pemuda itu bersenand
Cinta lahir ketika hati bertabrakan.____________________________________Matahari yang terik membuat udara terasa panas. Dalam cahaya yang menyilaukan, Ayumi melihat seorang pria muda tengah bersandar di pintu kayu. Senyum besar menggantung pada mulut, sementara insan lain menjelma menjadi bingkai sunyi. Karena kebisingan yang ada tak cukup keras untuk bisa menembus gendang telinga. Pelan-pelan gadis itu menjejalkan kaki sembari mengencangkan sudut pakaian. Tangan kecilnya meringkuk di ujung baju. Gesekan antara sol sepatu dan lantai terdengar samar. Bayangan halus yang tergambar juga turut melayang."Ar!"Tiba-tiba suara jernihnya keluar, menghasilkan gema panjang.Ketika masih muda, ambisi seperti menu makan di pagi hari. Bahkan kegagalan terdengar seperti bualan yang dibesar-besarkan.Saat Ayumi mengambil langkah lebih cepat, bola-bola mata itu terlempar semakin dalam. Ada banyak hal yang membuatnya berdebar, terutama senyuman Arkan. "Tidak masuk?"Tepukan pada lengan mendarat d
Hal-hal manis pun akan berubah pahit jika berlebihan. ____________________________________Jangkrik-jangkrik kecil bersenandung di padang rumput. Gelapnya langit malam semakin membuat mereka kegirangan.Arkan berpakaian lebih santai hari ini. Celana pendeknya menggantung selutut, menyisakan dua batang sumpit yang panjang dan kurus.Diam-diam Ayumi menunduk lalu berkata, "Bagaimana kabarmu?"Begitu dia memberanikan diri, dorongan dari telapak tangan besar menghantamnya ke sudut pagar.Sontak Ayumi terhenyak, punggungnya runtuh dengan jujur.Arkan sang pelaku hanya menurunkan mata lantas tiba-tiba tertawa. "Apa pedulimu?" tanyanya.Tanpa basa-basi, ia meletakkan tangan pada kepala Ayumi. Bibirnya berucap senang, "Bukankah kamu yang memilih untuk pergi?"Gadis itu terdiam, seolah pita suaranya dipotong dari dalam. Tak ada yang bisa dia lontarkan sebagai bantahan, sosok menyebalkan Arkan kemarin kembali hadir di hadapannya. Selama perjalanan pulang, Ayumi hanya mampu memakukan pandangan
Cinta muda tidak pernah mati, mereka selalu jatuh di tempatnya. ____________________________________Sekelompok burung pipit kecil melayang-layang di udara, mereka tampak sangat senang. Bulu cokelat kekuningan itu bertebaran dengan cepat, hampir memenuhi separuh atensi.Arkan berjalan di bawahnya bersama Yin. Kaki berlapis sepatu putih itu terayun hati-hati. Sebelah tangannya bersembunyi di saku celana, sementara yang lain memainkan sebuah kunci. Dari kejauhan, punggung rapuh seseorang melintas perlahan. Arkan tidak berbicara, namun langkahnya bergerak mengikuti di belakang.Mereka memasuki lorong yang sunyi, sapuan angin pada dedaunan di luar terlihat jelas dari balik kaca besar. Pot-pot bunga di sudut koridor tampak angkuh dalam kesendirian.Ayumi mendadak buta, genangan air di lantai kantor membuatnya terhuyung beberapa langkah. Mata bulat itu membola dengan tangan menggapai sekitar, meminta pertolongan. Tiga detik lagi bokongnya siap menghantam bumi, namun tiba-tiba telapak tan
Banyak orang bertanya, bagaimana dunia bekerja untuk orang sepertiku dan orang sepertimu.____________________________________Suara pintu yang dibanting mengguncang langit senja. Mata Ayumi menjadi lebih terbuka, seakan-akan ia bisa memasukan seseorang ke dalamnya. "Mengapa dia begitu menyebalkan?" Gemaannya masih terdengar bahkan ketika dia telah menapaki jalanan. Melewati barisan lampu di setiap sisi. Tepat saat Ayumi berbelok ke kanan, seseorang memasuki bangunan yang sama dari arah berlawanan. Dia tampak tersenyum sembari menenteng tas hitam. Langkahnya terayun santai, mengikuti irama lagu yang mengalun di daun telinga. Ada sekitar tiga tikungan sebelum Ayumi mencapai jalan utama. Beberapa siswa keluar dari gerbang sekolah. Tanpa sadar, Ayumi tertarik pada sepasang remaja yang baru saja melintas. Ia mengikuti dengan seksama setiap gerakan, posisi, dan ekspresi mereka yang halus. Seolah ditarik ke dasar laut, pikiran Ayumi mengalami kekosongan. Semua hal yang terekam oleh ma
Kulit ari yang tipis bergerak menggulir layar. Kacamata berbingkai perak itu turun mengikuti gerakan Eky yang menunduk. Ia berbicara terus terang, "Aku tidak mengenalnya secara pribadi, namun temanku telah lama bekerja dengannya." Diam-diam Ayumi menarik bibir, "Apa ini sebuah keberuntungan?" Angin musim hujan yang suram telah berlalu, saat ini hanya tersisa tarian kelopak bunga. Bahkan ketika kaki Ayumi berjalan mengitari lobi, senyumnya masih secerah tadi. Di jalan kenanga yang padat, kendaraan roda empat saling berpacu lebih dulu. Dari segala jenis keramaian, gadis itu mengusap permukaan lutut. Masih ada sisa waktu sebelum bus tiba, Ayumi menarik ponsel untuk sekadar mengenyahkan kesendirian. Email balasan dari Bomi sudah ia baca ratusan kali. Rasa-rasanya kalimat yang tertata rapi itu sangat nyaman untuk diucapkan. "Aku benar-benar bahagia!" Jeritan kecil berhasil membelah keheningan. Beberapa pasang mata tampak menoleh sebentar lalu kembali mengabaikan. Suara pin