Share

6

Flashback Setahun Lalu

              Ucapan Mas Hendra bagai sebuah tamparan keras di pipi. Sempat terhenyak beberapa saat, aku lalu menyadari suatu hal, bahwa aku haruslah meminta maaf sebab telah menyinggung Nadia. Bergegas diriku keluar kamar, berjalan ke arah tangga menuju lantai dua yang berada di belakang.

              Napas ini sampai tersengal sebab terlalu cepat melangkah. Ketika aku tiba di depan kamar yang ditempati Nadia, betapa terbelalaknya mata ini. Janda muda itu telah mengemasi semua isi lemarinya. Memindahkan pakaian-pakaian ke dalam koper besar yang dia bawa.

              Terdengar isak tangis dari bibir Nadia. Perempuan yang mengikat rambut lurusnya ke atas tersebut tampak begitu hancur. Sebagai seorang sahabat karibnya, aku merasa telah gagal.

              “Nad, maafkan aku,” kataku lirih. Kudekati perempuan itu dengan derap langkah yang perlahan. Sesungguhnya, aku sangat malu sebab telah menuduh suami dan sahabatku melakukan hal yang tidak-tidak.

              “Kamu tega, Ri! Tega!” Nadia berteriak. Perempuan berkulit putih bersih itu menatapku dengan mata sembabnya.

              “Kalau kamu tidak ikhlas membawaku ke sini, kenapa tidak bilang dari awal saja?!” Dengan telunjuk lentiknya, Nadia menuding ke arah wajahku. Dia terlihat begitu hancur dan kecewa.

              “M-maaf … a-aku ….”

              “Stop! Jangan lagi memberikan pembelaan, Ri! Aku akan pulang hari ini juga!”

              Sedih langsung merundung jiwa. Nestapa telah melandaku. Betapa tidak, hadirnya Nadia selama sepekan belakangan ini begitu memberi warna tersendiri. Suasana rumah jadi kian hidup. Carissa makin ceria, begitu juga dengan Mas Hendra yang sudah jarang sekali cuek apalagi bersikap dingin kepada kami. Jika Nadia pergi … maka semua kebahagiaan di sini juga akan sirna.

              “Nad, tolong dengarkan dulu penjelasanku,” kataku sambil meraih tangannya.

              Nadia menepis kasar. Perempuan itu mencebik, lalu melengos. Bagaikan sedang jijik melihatku.

              “Tidak usah repot-repot!” bentaknya. Perempuan itu berdiri sambil melipat tangan di depan dada. Sementara itu, mukanya masih berpaling dariku.

              “Maaf, Nad. Tolong jangan pulang. Tetaplah di sini,” bujukku lagi.

              Perempuan 29 tahun itu mendecih. “Untuk apa? Kamu sendiri takut kalau aku merebut suamimu!”

              “Tidak begitu, Nad. M-maaf. I-itu … adalah kekhilafan terbodohku. Aku percaya kamu.”

              Nadia mendadak bungkam. Tak menjawab dan tak juga memandangku. Dia membeku dengan wajah ditekuk. Gesturnya masih menunjukkan kekecewaan yang mendalam.

              “Katakan, Nad. Apa yang bisa membuatmu memaafkanku,” mohonku sambil meraih kedua tangannya.

              “Tidak perlu, Ri. Dari dulu, aku berteman denganmu tulus. Tidak pernah kuharapkan apa pun! Apalagi berniat buat merebut suamimu. Aku tidak serendah pikiran cetekmu itu!” Nadia akhirnya memandangku. Sengit sekali. Kedua mata belonya menatapku begitu tajam.

              Air mata pun tak terelakkan lagi. Menetes sudah. Membanjiri wajahku. Aku menangis pilu sampai tersedu-sedu. Aku benar-benar sangat menyesal.

              “Simpan air mata itu, Ri! Semuanya sudah terlambat!” Nadia menepis genggaman tanganku. Perempuan itu kembali mengemasi semua barang-barangnya. Sedang aku sudah lemas, saking tak bisa berkata-kata lagi.

              “Nadia, tolong maafkan Riri.”

              Sebuah suara membuat aku dan Nadia sontak menoleh ke arah pintu. Suamiku telah berdiri di ambang dengan wajah yang muram. Ketampanan Mas Hendra terlihat sedikit memudar akibat warna pucat yang menghias. Aku jadi semakin merasa bersalah. Bisa-bisanya, lelaki tengah sakit begini, aku malah menuduhnya yang bukan-bukan. Semuanya gara-gara hasutan Eva!

              Mas Hendra berjalan masuk. Matanya tampak tak lepas dari menatap sosok Nadia. Ketika kulihat ke arah sahabatku, ternyata Nadia pun tengah memandang ke arah suamiku. Tatapan Nadia terlihat sedih. Ah, aku benar-benar sangat jahat kepada mereka berdua.

              “Maafkan istriku, Nad. Bertahanlah di sini,” ucap Mas Hendra dengan suara yang serak.

              Perempuan yang berdiri di sebelahku itu menangis lagi. Semakin seru tangisannya. Ditutupnya dengan kedua belah telapak tangan wajah cantik itu. Karena tak tahan melihatnya begitu, aku pun langsung merangkul dan memeluk erat tubuh Nadia.

              “Nad, maafkan aku, ya?”

              “B-baiklah ….”

              Aku benar-benar merasa sangat lega. Beban yang menimpa kini perlahan hilang. Ya Tuhan, ampuni segala salahku kepada perempuan baik ini. Dia tak pantas kutuduh begitu. Aku kenal baik dengan Nadia dan tidak mungkin dia mau main serong, apalagi di tengah kondisi berduka.

              “Aku melakukan ini karena menghargai Mas Hendra. Ingat itu, Ri,” tambahnya lagi.

              Nadia melepas pelukannya. Memandangku lekat-lekat dengan bibir yang mencebik. Dari sorot mata itu, terlihat jelas bahwa dia belum sepenuhnya memaafkanku.

              “Luka ini akan selalu menganga, Ri. Kamu harus tahu itu,” tuturnya sinis.

              Aku hanya bisa menunduk lesu. Mengusap air mata di pelupuk yang tak henti-hentinya terjatuh mengaliri wajah. Iya, Nad, aku memang bersalah. Andai bisa waktu kuputar, memang lebih baik aku tak pulang saja ke rumah saat jam-jam kantor begini.

              “Sudah, Nad. Ikhlaskan kesalah pahaman ini. Aku mohon.” Mas Hendra yang berdiri di depan kami, menyentuh pundak Nadia. Lelaki itu menatapnya dalam. Kulihat, Mas Hendra begitu sungguh-sungguh dalam memohon kepada Nadia.

              Dalam kondisi begini, seharusnya aku mampu untuk menundukkan ego. Namun, nyatanya muncul kembali kecemburuan tak beralaskan tersebut. Ada perasaan terusik ketika suamiku malah segitunya membujuk Nadia. Bahkan … dia hingga menyentuh tubuh Nadia segala.

              “Mas, mungkin ini agak berlebihan,” kataku sambil menyambar tangan Mas Hendra. Kuturunkan tangan itu dari pundak ramping milik Nadia.

              “Kurasa kamu terlalu pencemburu, Ri. Sikapmu sangat berlebihan.” Nadia ketus melontarkan kalimat barusan kepadaku. Dia pun menyunggingkan senyuman yang sinis. Padahal, aku tak bermaksud apa-apa. Hanya tak ingin suamiku asal sentuh kepada perempuan lain.

              Ingin marah, tapi kutahan sebab tahu posisiku sudah salah di awal. Akhirnya, semua perasaan itu kutahan saja.

              “Aku tetap pergi. Alexa akan kujemput dari daycare. Kamu tidak perlu lagi untuk cemas, Ri. Tidak akan ada lagi perempuan yang bisa kamu curigai untuk berbuat serong dengan suamimu.”

              Perempuan berdaster dengan kaki jenjang dan kuku-kuku yang lentik nan panjang itu mengunci ritsleting kopernya. Hendak dia turunkan koper itu ke bawah, tetapi buru-buru Mas Hendra yang mengangkatkannya.

              “Nad, pikir-pikir lagi. Jangan gegabah. Kamu masih terguncang karena kematian suamimu.” Mas Hendra terdengar sangat keberatan dengan kepergian Nadia. Sedikit banyak, entah mengapa muncul sebuah sedikit kekesalan. Kenapa suamiku sampai sebegininya? Apakah … ah, tidak. Aku tidak mau semakin memperkeruh pikiran sendiri.

              “Tidak usah, Mas. Ini yang terbaik.” Nadia terdengar sangat mantap. Aku pun cuma bisa diam saja. Muncul sebuah rasa ikhlas yang sekonyong-konyong datang. Awalnya, aku memang ingin menahan Nadia tinggal di sini. Akan tetapi, setelah kurenungkan sesaat, mungkin dia sebaiknya pergi saja. Apalagi sikap Mas Hendra yang sudah agak berlebihan.

              “Baiklah, Nad. Semoga hubungan kekeluargaan kita tidak pernah putus. Sekali lagi, maafkan istriku,” kata Mas Hendra sambil mengangguk pelan.

              “Ri, minta maaf lagi kepada Nadia. Dosa besar kamu telah menuduhnya tanpa sebuah bukti.” Mas Hendra meraih lenganku. Diremasnya pelan dan disorongkannya ke arah Nadia.

              “Nad, aku minta maaf, ya.” Aku menyodorkan tangan kananku. Nadia masih bungkam. Dia membuang wajah untuk beberapa saat dan akhirnya mau menjabat tanganku.

              “Ri, jangan pernah menyesal jika mungkin sikapku tak seperti dulu kala. Kadang, ucapan itu lebih tajam daripada sebilah pedang.”

              Nadia menatapku tajam. Tatapan itu, bagaikan menusuk hingga ke relung dada. Awalnya, aku ingin memohon lagi agar dia tulus memberikan maaf. Namun, tiba-tiba ada yang aneh dengan hati ini. Seperti ada pergulatan batin. Instingku mengatakan … ah, sepertinya Eva sudah terlalu banyak memberikanku pengaruh buruk.

              Sadar, Ri. Ini bukan dirimu. Hatimu tak pernah sepicik ini. Sebaiknya, aku harus menjaga jarak di kantor dengan Eva, sebab lama kelamaan dia akan menjadi benalu yang mempengaruhi jalan pikiranku.

(Bersambung)

Komen (2)
goodnovel comment avatar
ATHIKA RAHMA
ceritanya kurang ok... saya sukabaca, walau koin mahal tetap aq babat kalau ceritanya menarik...satu hari beli koin paleng sesikit 90rb
goodnovel comment avatar
Anitha Yunitha
jangan jagan cuma drama biar gak diusir
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status