Aku sudah terlampau malu. Aku tidak mungkin menunjukkan mukaku ke hadapannya. Lebih baik aku sembunyi di kamar hingga dia pergi. Setelah beberapa saat kudengar suara motor pergi menjauh. Sepertinya dia sudah pulang. Aku bernapas lega. Kubuka pintu kamar dan keluar, benar ternyata dia sudah tidak ada. Malam harinya aku sudah bisa membantu ayah berjualan bubur seperti biasanya. Malam ini nampak sepi, sudah hampir jam sembilan, tetapi bubur masih sisa setengah kuali. “Pak, bungkus buburnya 5!” Seorang lelaki paruh baya turun dari mobil bersama istrinya. Ayah tersenyum semringah, “Iya, Pak. Silakan duduk dulu. Tunggu sebentar.”Aku segera membantu ayah menyiapkan bubur dan memasukkannya ke dalam plastik. Akhirnya ada juga pembeli di detik-detik terakhir. Aku sudah mengantuk, Ilham dan Faiha sudah kuminta istirahat karena esok mereka berangkat sekolah.“Semuanya 15 ribu, Pak.” Ayah menyerahkan buburnya kepada pembeli tersebut. “Menerima pesanan atau tidak, Pak? Saya mau ada acara haja
Langkahku terhenti kala mendengar lantunan ayat suci dari seseorang yang tidak asing lagi. “Bukankah itu suara Nak Arfan?” tanya ayah. Bahkan ayahku sudah hafal suara calon menantunya. Ups, aku keceplosan. Untung ayah tidak mendengar. “Benar, Pak. Itu suara Mas Arfan. Mari saya antar ke luar,” ujar Pak satpam.“Ayo pulang, Yah! Ini bukan tempat yang layak untuk kita.” Aku menggandeng tangan ayah. Secara tidak langsung, kedua satpam itu mengusir kami.“Tunggu sebentar, ayah mau lihat calon mantu dulu.”Sekarang malah ayah yang kepo. Dia tidak jadi mau pulang. Ya Allah, semoga tidak ada yang mendengar ucapan ayah.Kedua satpam itu saling pandang, “Nanti setelah lihat calon mantu mohon segera keluar, ya, Pak. Karena acara sedang berlangsung, kami yang bertanggung jawab jika terjadi kerusuhan.”Aku paham dengan ucapan mereka. Sakit, tapi tidak berdarah. Supir angkutan tadi sudah keluar. Semoga dia masih mau menunggu kami. Uangnya saja masih kubawa. Dia tidak akan pulang tanpa uang, bisa
Benar juga, mana ada ustaz pandai merayu? Heh, dia pasti ustaz gadungan. Penampilannya saja yang menipu, nyatanya dia dosen mesum dan pandai merayu. “Tunggu dulu!”Aku menoleh ke belakang, Pak Arfan meminta pelayan membungkus makanan.“Tolong bawa ini, Pak. Cacing di perut Syifa sudah berdemo,” ucapnya sambil melirik ke arah perutku. Peka sekali telinganya, bahkan dia bisa mendengar suara cacing di perut. Aku memang belum sarapan ketika datang ke sini. Dia tersenyum ke arahku, jangan-jangan dia tahu isi hatiku. Aku menyilangkan kedua tangan di dada. “Makasih, Nak Arfan.” Kami segera keluar sebelum dia membuka semua aibku. Aku dan ayah sudah sampai di luar, tetapi mobil angkutan umum yang tadi kami sewa sudah tiada. “Ayah coba cari dulu, ya! Mungkin dia memarkirkan mobilnya di luar.”Aku menghentak-hentakkan kaki kesal. Sepertinya supir angkutan itu tidak mau dibayar. Belum dikasih uang sudah kabur begitu saja. Dasar supir gak ada akhlak!“Fa, mobilnya sudah tidak ada. Gimana kita
Aku keluar dengan perasaan bahagia. Kututup pintu dan betapa terkejutnya aku kala melihat pemandangan di depan pintu kamar. Aku seperti sedang mimpi. Mana mungkin tamu tidur di lantai atas? Aku melihat sekeliling, ada beberapa kamar yang tertutup rapat. Nampak indah sebuah pemandangan di samping rumah. Aku mengintip dari jendela kaca yang besar. Ada taman bunga kecil dan gazebo. Tidak ada kolam renang, hanya ada kolam ikan. Aku menoleh saat mendengar seseorang membuka pintu ruangan di sebelah kamar yang kutempati. Seorang wanita berjilbab menghampiriku. Dia cantik sekali, kulit putih, hidung mancung, dan giginya gingsul. “Mbak Syifa, sudah ditunggu Mas Arfan di bawah.”“Mas Arfan?” Mengapa semua orang memanggilnya ‘Mas’?Wanita itu tersenyum kemudian memegang tanganku. Tangannya halus dan putih, tidak mungkin dia pembantu di rumah ini. “Iya, kami semua yang ada di sini memanggilnya ‘Mas’ karena dia laki-laki. Kalau wanita pasti dipanggil Mbak.”Mengapa aku lega mendengar jawabanny
Aku baru saja pulang dari Yogyakarta satu minggu yang lalu karena diminta untuk menjadi dosen selama satu bulan ke depan. Ayah sibuk dengan bisnisnya di luar kota, sehingga dia memintaku untuk sementara menggantikannya. Aku sudah lulus S2 tiga bulan yang lalu, tetapi aku tidak lantas pulang karena ayah akan memintaku untuk segera menikah. Namun, aku selalu menolaknya dengan alasan pekerjaan. Mencari pekerjaan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, apalagi mencari jodoh. Aku sudah berusaha kesana-kemari, tetapi tidak satupun perusahaan menerimaku. Ayah selalu memaksaku menjadi dosen, sungguh hal yang membosankan bagiku. “Gaji dosen itu sedikit, bagaimana Aku menghidupi anak dan istriku?” Selalu itu yang kukatakan jika ayah memaksaku menikah. Akhirnya dia diam dan membiarkanku menempuh jalan sendiri. Sebagai seorang rektor, ayah dengan mudah dia bisa saja memberikan gaji yang banyak untuk anak kesayangannya. Tetapi aku menolak, aku lebih suka menjadi ojol, bisa cuci mata setia
Syukurlah akhirnya dia pulang juga. Aku kembali mencuci perabot dapur yang kotor. Tadi pagi kami belum sempat beres-beres karena dikejar waktu. Aku hanya memasak nasi, sedangkan lauknya beli di warung. Kami masih punya sisa bubur untuk jualan nanti malam. Jadi, siang ini ayah bisa istirahat dengan tenang. Kulihat nasi tadi pagi masih banyak. Aku tidak perlu memasak lagi. Aku melihat sebuah bingkisan dari rumah Pak Shaka. Lumayan dapat sate ayam 20 tusuk. Aku mengambil sebuah piring dan mangkuk untuk menyajikannya. Piring untuk sate dan mangkuk untuk bumbunya. Namun, saat aku menuangkan bumbu, seperti ada yang menyenggol tanganku. Alhasil mangkuknya pecah. Untung saja bumbunya belum kumasukkan semuanya. Aku mengambil sapu dan membersihkan sisa pecahan mangkuk, tetapi nahas. Jari telunjukku terkena pecahan beling. Darah mengucur deras hingga tercecer di lantai. Aku segera mengambil obat untuk lukaku.“Ya Allah, Nak. Tangan kamu kenapa?”Ayah berlari menghampiri saat melihatku mengamb
Heh? “Gak bisa lah, Pak. Yang ada tuh lelaki boncengin perempuan. Bukan sebaliknya.”Dia pasti mau modus. Kalau bisa naik mobil, kenapa mesti naik motor? Paling dia mau memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. “Pasti kamu mikir kotor, dasar omes!” “Bapak tuh yang omes, pasti Bapak mau grayang-grayangin aku dari belakang, ’kan?”“Tuh ‘kan suuzon. Memangnya kamu mau aku yang di depan? Nanti kita sama-sama nyemplung ke got.”Benar juga katanya. Kalau masuk got malah tambah parah. “Ya sudah aku antar, tetapi jangan pegang-pegang!” Mendengar jawabanku, dia tersenyum semringah.Kemudian kami menikmati segelas es teh masing-masing hingga tandas. Sudah tidak ada obrolan lagi di antara kami, benar-benar canggung.Tidak lama kemudian datang seorang laki-laki memakai baju lusuh, banyak oli di bajunya. Nampaknya orang dari bengkel. “Kuncinya mana, Fan?”Pak Arfan memberikan kunci dan uang yang didapatkan dari Nia tadi. “Sekalian servis ya. Nanti antar ke rumah kalau sudah jadi.”“Tumben kas
“Mama?” ucapku pelan.Pak Arfan nampak terkejut, dia membelalakkan matanya. Aku penasaran dengan nama ‘mama’ di ponsel ini. Sebenarnya ini ibu atau istrinya. Jangan-jangan dia sudah beristri, dan bunga-bunga itu milik istrinya.Angkat tidak, ya? Angkat aja lah, daripada penasaran. Kugeser tombol warna hijau dan panggilan terhubung.“Arfan, kamu pulang ke mana? Buruan balik ke rumah! Mama khawatir denger kabar kamu kecelakaan.” Aku segera menjauhkan ponsel dari telingaku. Kencang sekali suaranya. Khas emak-emak yang sedang memarahi anaknya.Aku harus jawab apa ini? Aku bingung. Bukankah Pak Arfan sudah sampai di rumah?“Maaf, Pak Arfan sudah sampai rumah. Saya yang—“ Ah sial, belum selesai aku berbicara dan ponselnya direbut Pak Arfan.“Aku pulang ke rumahku, Ma. Lebih dekat pulang ke sini daripada ke rumah mama.”Rumahku? Berarti ini rumah Pak Arfan sendiri? Hebat sekali dia, eh tapi bisa jadi dia dibuatkan rumah orang tuanya. Anak zaman now gak mungkin bisa bikin rumah sendiri di usi