Share

Bab 5 Kapan Kita Bisa Bicara

"Ada Adli di belakang gue?"

Raina ingin menelan pertanyaan tadi saat melihat siapa pria yang mencoba duduk di sebelahnya. Dia menajamkan pandangan pada Anes yang mengangkat bahu. Apa sekarang dirinya sedang terperosok dalam dunia komik? Raina tak ingin menoleh sedikit pun pada wajah yang diyakini sedang menunggu respons.

Menggigit bibir pelan adalah kebiasaan Raina saat kebingungan. Dia berusaha menenangkan diri dengan pasminanya yang kali ini berwarna hijau melon. 

Anes pasti sudah mengatur makan siang ini. Begitu pikir Raina. Satu-satunya orang yang mencurigakan hanya wanita berkemeja merah yang mirip karyawan magang itu. Lihatlah! Anes hanya bisa cengengesan tanpa rasa dosa.

"Nes, kita bukannya ada jam sekarang?" Raina pura-pura tersenyum. Dia mengabaikan Irham, seolah tak ada saja.

"Tiga puluh menit lagi," jawab Anes riang.

Raina mengernyitkan dahi antara kesal kepada Anes atau dirinya sendiri. Ayam bakar di hadapannya sudah terlihat tidak menarik lagi.

Please, otak, susunlah kalimat terbaik yang tidak bisa dipatahkan.

"Tapi ... kita kan perlu prepare buat matkul selanjutnya, Nes." Wanita itu masih tersenyum palsu.

Anes bergeming dan lanjut fokus memakan kentang goreng kesukaannya. Menurut wanita berponi itu, kentang goreng hanyalah sebuah desert. Dia sudah menghabiskan nasi bakar sejak tadi.

Tanpa berdosa, Anes malah cekikikan melihat wajah Raina yang kentara panik. "Matkul selanjutnya Statistika," ucap Anes sambil sedikit bangun dan memajukan badan ke arah Raina.

Kenapa harus pura-pura berbisik padahal didengar Irham?  Setelah sukses membuat Raina jengkel, Anes melanjutkan makan siangnya.

Raina menelan ludah. Yang harus dilakukannya saat ini adalah menoleh ke kiri dan tersenyum. "Eh, ada Pak Dosen? Bapak nggak mau makan di sini, 'kan? Sebentar lagi matkul bapak di kelas saya, lho!"

Anes menahan tawa melihat cara Raina menghadapi dosen itu. Anehnya, meski dia ngefans terhadap Irham Nusahakam, tapi tidak iri sama sekali atas takdir manis yang sedang bermain dalam kehidupan Raina. Sahabatnya itu berhak bahagia, bukan?

"Kita perlu bicara." Hanya itu yang terlontar dari mulut Irham. 

Susah payah Raina menelan ludah mendengar kata kita. Kita? Apa mereka sudah seakrab itu untuk bersatu padu menjadi kata kita?

"Bapak mau mengembalikan buku sketsa saya? Ya ampun, makasih banget, Pak. Akhirnya-" Raina berhenti karena Irham hanya menatap matanya tanpa respons lain. "Akhirnya bapak mau mengembalikan buku saya."

"Kapan kita bisa bicara, Raina Atqiyya?" 

Raina menghela napas. Kok obrolannya jadi satu arah? Dia dengan pertanyaan garingnya dan Irham dengan keseriusan tak terbantahkan ini.

"Pak Irham, maaf, saya ke kelas dulu." Raina berdiri setelah memakai tas ransel merah mudanya. Dia memundurkan kursi.

Bisa dipastikan, wanita itu lekas berbalik badan ke kanan dan meninggalkan kafe. Langkah kecilnya sudah dipaksakan untuk melangkah secepat mungkin, tapi gagal. Dia cemas Irham Nusahakam dan Anes mengikutinya di belakang.

Tidak ada pembicaraan apa pun. Tidak ada! Mau dosen, mau artis, kalau nggak masuk di akal, ngapain percaya? Eh, mungkin harus dipikir ulang kalau yang ngajak nikah artis tampan yang punya kebun binatang di rumahnya itu.

Raina bergidik mengetahui betapa plin-plan dirinya. Dia hanya tidak suka dengan kenarsisan Irham Nusahakam. Apa ketampanan bisa membeli segalanya? Otak wanita itu mulai berpikir hal apa yang tidak bisa dibeli oleh ketampanan. Ah! Abaikan saja. Dia kesal sendiri. Dirinya menjadi semakin random karena bad mood.

Kita perlu bicara? Bicara apa? Kepikiran untuk bicara saja, saya tidak pernah. Ah, iya, seharusnya, Raina tadi menjawab begitu. Wanita itu terus berjalan melewati gerbang kampus. Dia masih terus berpikir.  Apa benar mereka perlu bicara?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status