Share

Bab 6 Please, Save Raina!

Bagaimana bisa seorang mahasiswi jurusan pendidikan matematika dari awal berpikir kuliahnya akan terhindar dari mata kuliah hitung-menghitung? Mana mungkin bisa! Statistika I saja sudah cukup membuat Raina pusing, apalagi ditambah dengan hal-hal menyebalkan belakangan ini. Bagaimana dia bisa lulus untuk Statistika II?

Raina menghampiri kursi Adli dengan wajah kusut. "Geser, dong!"

Adli menggeser duduknya ke sebelah dan membiarkan temannya. "Tumben duduk sama gue!"  Dia tersenyum menatap wajah suntuk Raina.

"Gue gencatan senjata sama Anes mulai hari ini!" Wanita itu mengeluarkan buku dari tas dengan kasar.

Adli tertawa renyah. Dia menyugar rambutnya. "Ada perang apaan emang?"

Raina yang menyaksikan langsung ketampanan pria di sebelahnya itu langsung menahan senyum. Di mana harga diri kalau kentara sekali tampang mupengnya? "Lo tim gue atau Anes?"

Adli Winata pura-pura berpikir. Matanya tak putus melihat gerak-gerik lucu Raina. Dia bisa melihat wanita itu memainkan pulpen karena iseng. "Tim Raina," ucapnya menenangkan. 

Jawaban Adli tadi berhasil membuat Raina tersenyum simpul. "Bisa aja lo buat gue GR! Nggak cukup apa PHP-in gue tiga tahun?" Wanita itu melotot kesal.

Adli Winata adalah spesies pria yang baik pada semua wanita. Namun, tak kunjung memberi pengumuman akan memilih yang mana. Semua dianggap teman baik. Semua diberi senyuman dan ... kalian juga tahu, 'kan? Yang patah hati akan menjadi semua teman wanitanya di kampus.

Kenapa Raina masih suka dengan teman seperti itu? Apakah hatinya siap potek? Entahlah! Dia hanya suka terhadap cara Adli melakukan apa pun. Cara menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Tawa renyahnya siang ini juga menjadi bagian dari alasan Raina menyukai pria itu. Perhatian yang seujung kuku saja sudah terasa aduhai bagi wanita itu.

Tiba-tiba kebisingan kelas menjadi terkontrol. Tidak ada suara tawa canda dari sudut mana pun. Begitu Raina mengangkat kepala, benar saja, Irham Nusahakam sudah berdiri di muka kelas.

Raina memanjangkan pandangan demi mencari Anes. Ya, di mana Anesya Paramitha? Teman yang beberapa menit lalu berhasil membuatnya curigation alias curiga. Anes konsisten duduk di barisan paling depan dekat pintu ruangan.

"Kenapa kursi di depan meja saya kosong?" tanya Irham setelah opening mengajar.

Raina menatap miris kepada kursi paling depan, barisan paling kiri. Siapa juga yang mau jadi tumbal duduk di sana? Ternyata ada yang tidak bisa dibeli oleh ketampanan! Meski teman-temannya sepakat Irham Nusahakam adalah mahkluk Tuhan yang sangat tampan, tak ada dari mereka yang sanggup duduk di depannya dengan otak mengeluarkan asap.

"Kamu, yang duduk paling belakang! Silakan pindah ke sini!" Suara tegas dosen itu sampai ke telinga Raina juga, tapi dia abai.

Yang duduk di belakang kan banyak. Jadi, kemungkinan besar bukan dirinya. Raina menoleh kepada Adli yang sedang menatapnya iba. "Kenapa, sih?"

"Raina, lo disuruh maju," ucap Adli pelan.

Raina menggelengkan kepala dan menunduk. Tatapannya bertumbukkan pada pulpen dan buku di atas meja. "Apa nggak ada sasaran yang lebih pas selain gue apa?"

"Kamu yang pakai pasmina hijau muda. Materi tidak akan saya mulai sebelum kursi ini terisi!"

Raina mengepalkan kedua tangannya. Dia ini sebenarnya sedang belajar matematika atau uji nyali?

"Raina Atqiyya!"

Wanita itu mengangkat kepala dan tersenyum. Tatapan Raina tertuju langsung pada mata yang  sejak tadi ingin dihindarinya. "Bapak Irham, mata saya rabun dekat, jadi kalau nulis harus jauh dari papan tulis!"

Jawaban Raina mengundang gelak tawa teman-temannya. Namun, memancing hal lain. Kemarahan. Wanita itu berpikir ulang atas jawaban konyolnya tadi. Apakah Irham akan marah? Bagus, dong! Dengan marah, artinya tidak ada lagi yang perlu dibicarakan.

Irham berdiri dari kursinya. Dia berjalan dengan langkah berirama. Semua yang menyaksikan tindakan itu bisa memastikan ke mana pria itu akan datang. Ke mana lagi kalau bukan ke tempat Raina sedang duduk.

"Kamu bisa berdiri sebentar?" tanya Irham begitu berada di samping meja Raina.

Raina menggigit bibirnya sebentar dan terpaksa berdiri. Penonton hanya bisa menahan napas, menahan sorak sorai, bahkan mungkin ingin batuk pun harus ditahan. Kalau tidak mau dipatahkan kaki dan tangannya oleh kobaran emosi dari dosen muda tersebut.

Setelah Raina berdiri, Irham membungkukkan badan sedikit agar bisa menyejajarkan wajahnya dan wanita itu. "Sekarang masih rabun dekat?" tanyanya dari jarak sekitar 20 cm terhadap wajah Raina.

"Hooo!"

"Cieee!"

"Pak, saya juga rabun dekat!"

"Tolong, Pak, tolooong!"

"Yaelah, pak ...."

Sementara itu, Irham tersenyum kecil mendengar respons para mahasiswa. Bagaimana dengan Raina? Wanita itu membuang muka saat jarak wajah Irham dan dirinya hanya sekitar satu jengkal.

Pria itu segera menegakkan badan saat menyadari wanita di hadapannya tampak akan menangis. "Silakan pindah!" ucapnya tegas.

Raina merapikan tas dan berjalan mendahului dosennya untuk segera sampai di kursi penderitaan. Sudah menjaga jarak saja dia masih bisa dirundung seperti tadi, bagaimana bila jarak mereka hanya dipisahkan oleh mejanya dan meja dosen? Please, save Raina! 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Nona SHerna
baru baca udah koin, black list juga ntar nih komik
goodnovel comment avatar
Yeni Rosdiani
kok bisa lanjut baca Pake join sih......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status