Bagaimana bisa seorang mahasiswi jurusan pendidikan matematika dari awal berpikir kuliahnya akan terhindar dari mata kuliah hitung-menghitung? Mana mungkin bisa! Statistika I saja sudah cukup membuat Raina pusing, apalagi ditambah dengan hal-hal menyebalkan belakangan ini. Bagaimana dia bisa lulus untuk Statistika II?
Raina menghampiri kursi Adli dengan wajah kusut. "Geser, dong!"
Adli menggeser duduknya ke sebelah dan membiarkan temannya. "Tumben duduk sama gue!" Dia tersenyum menatap wajah suntuk Raina.
"Gue gencatan senjata sama Anes mulai hari ini!" Wanita itu mengeluarkan buku dari tas dengan kasar.
Adli tertawa renyah. Dia menyugar rambutnya. "Ada perang apaan emang?"
Raina yang menyaksikan langsung ketampanan pria di sebelahnya itu langsung menahan senyum. Di mana harga diri kalau kentara sekali tampang mupengnya? "Lo tim gue atau Anes?"
Adli Winata pura-pura berpikir. Matanya tak putus melihat gerak-gerik lucu Raina. Dia bisa melihat wanita itu memainkan pulpen karena iseng. "Tim Raina," ucapnya menenangkan.
Jawaban Adli tadi berhasil membuat Raina tersenyum simpul. "Bisa aja lo buat gue GR! Nggak cukup apa PHP-in gue tiga tahun?" Wanita itu melotot kesal.
Adli Winata adalah spesies pria yang baik pada semua wanita. Namun, tak kunjung memberi pengumuman akan memilih yang mana. Semua dianggap teman baik. Semua diberi senyuman dan ... kalian juga tahu, 'kan? Yang patah hati akan menjadi semua teman wanitanya di kampus.
Kenapa Raina masih suka dengan teman seperti itu? Apakah hatinya siap potek? Entahlah! Dia hanya suka terhadap cara Adli melakukan apa pun. Cara menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Tawa renyahnya siang ini juga menjadi bagian dari alasan Raina menyukai pria itu. Perhatian yang seujung kuku saja sudah terasa aduhai bagi wanita itu.
Tiba-tiba kebisingan kelas menjadi terkontrol. Tidak ada suara tawa canda dari sudut mana pun. Begitu Raina mengangkat kepala, benar saja, Irham Nusahakam sudah berdiri di muka kelas.
Raina memanjangkan pandangan demi mencari Anes. Ya, di mana Anesya Paramitha? Teman yang beberapa menit lalu berhasil membuatnya curigation alias curiga. Anes konsisten duduk di barisan paling depan dekat pintu ruangan.
"Kenapa kursi di depan meja saya kosong?" tanya Irham setelah opening mengajar.
Raina menatap miris kepada kursi paling depan, barisan paling kiri. Siapa juga yang mau jadi tumbal duduk di sana? Ternyata ada yang tidak bisa dibeli oleh ketampanan! Meski teman-temannya sepakat Irham Nusahakam adalah mahkluk Tuhan yang sangat tampan, tak ada dari mereka yang sanggup duduk di depannya dengan otak mengeluarkan asap.
"Kamu, yang duduk paling belakang! Silakan pindah ke sini!" Suara tegas dosen itu sampai ke telinga Raina juga, tapi dia abai.
Yang duduk di belakang kan banyak. Jadi, kemungkinan besar bukan dirinya. Raina menoleh kepada Adli yang sedang menatapnya iba. "Kenapa, sih?"
"Raina, lo disuruh maju," ucap Adli pelan.
Raina menggelengkan kepala dan menunduk. Tatapannya bertumbukkan pada pulpen dan buku di atas meja. "Apa nggak ada sasaran yang lebih pas selain gue apa?"
"Kamu yang pakai pasmina hijau muda. Materi tidak akan saya mulai sebelum kursi ini terisi!"
Raina mengepalkan kedua tangannya. Dia ini sebenarnya sedang belajar matematika atau uji nyali?
"Raina Atqiyya!"
Wanita itu mengangkat kepala dan tersenyum. Tatapan Raina tertuju langsung pada mata yang sejak tadi ingin dihindarinya. "Bapak Irham, mata saya rabun dekat, jadi kalau nulis harus jauh dari papan tulis!"
Jawaban Raina mengundang gelak tawa teman-temannya. Namun, memancing hal lain. Kemarahan. Wanita itu berpikir ulang atas jawaban konyolnya tadi. Apakah Irham akan marah? Bagus, dong! Dengan marah, artinya tidak ada lagi yang perlu dibicarakan.
Irham berdiri dari kursinya. Dia berjalan dengan langkah berirama. Semua yang menyaksikan tindakan itu bisa memastikan ke mana pria itu akan datang. Ke mana lagi kalau bukan ke tempat Raina sedang duduk.
"Kamu bisa berdiri sebentar?" tanya Irham begitu berada di samping meja Raina.
Raina menggigit bibirnya sebentar dan terpaksa berdiri. Penonton hanya bisa menahan napas, menahan sorak sorai, bahkan mungkin ingin batuk pun harus ditahan. Kalau tidak mau dipatahkan kaki dan tangannya oleh kobaran emosi dari dosen muda tersebut.
Setelah Raina berdiri, Irham membungkukkan badan sedikit agar bisa menyejajarkan wajahnya dan wanita itu. "Sekarang masih rabun dekat?" tanyanya dari jarak sekitar 20 cm terhadap wajah Raina.
"Hooo!"
"Cieee!"
"Pak, saya juga rabun dekat!"
"Tolong, Pak, tolooong!"
"Yaelah, pak ...."
Sementara itu, Irham tersenyum kecil mendengar respons para mahasiswa. Bagaimana dengan Raina? Wanita itu membuang muka saat jarak wajah Irham dan dirinya hanya sekitar satu jengkal.
Pria itu segera menegakkan badan saat menyadari wanita di hadapannya tampak akan menangis. "Silakan pindah!" ucapnya tegas.
Raina merapikan tas dan berjalan mendahului dosennya untuk segera sampai di kursi penderitaan. Sudah menjaga jarak saja dia masih bisa dirundung seperti tadi, bagaimana bila jarak mereka hanya dipisahkan oleh mejanya dan meja dosen? Please, save Raina!
Sepanjang penjelasan matkul Statistika, Raina tak henti-henti menghela napas. Bagaimana tidak? Tiap memejamkan mata, ada visual Irham Nusahakam di hadapan wajahnya."Sekarang masih rabun dekat?" Kalimat garing itu terus terngiang-ngiang di telinga Raina.Kalau mau tahu bagaimana perasaan wanita itu? Rasanya kesal sekali seperti ingin membanting buku sekarang juga. Memang ada apa dengan wajah--tampan--itu? Apa bisa menghilangkan rabun dan sakit mata lainnya? Argh! Raina menekuk wajah.Dia memang beralibi saja tadi. Siapa juga yang mau duduk di depan bapak-bapak ngebet nikah? Raina mengangkat wajah. Pandangan yang sejak awal pura-pura fokus pada buku, kini berpusat kepada pria berumur 30-an. Sebenarnya, Irham Nusahakam tidak cukup tua untuk dipanggil bapak. Namun, Raina hanya ingin menegaskan bahwa sebatas itu saja rasa hormatnya pada dosen tersebut.Kejengkelan atas sikap Irham yang mendominasi kelas membuat Raina ogah-ogahan mengerjakan soal. Dia bahkan tidak menanggapi getar HP-nya s
"Kenapa?" Anes sudah menunggu di lobi. Wanita berambut sebahu itu tergopoh menghampiri Raina yang saat itu berwajah sumpek. Dia memamerkan senyum yang tak terbalas. "Nggak!" "Pak Irham ngomong apa?" "Kok tau gue ngobrol sebentar sama Pak Nusakambangan?" Anes berdecak, lalu tertawa. "Orang-orang sekelas juga tahu kalo lo ngobrol sama Pak Irham. Mereka malah pengennya diajak ngobrol, dong." Raina menatap Anes dengan mata penuh kegalauan. Mereka masih berdiri di depan lobi. "Aneh banget, sih." "Aneh kenapa? Anggap aja mukjizat turun dari langit!" "Apa yang orang lain anggap mukjizat kan belum tentu mukjizat bagi kita." "Pak Irham kurang apa, Rai?" Anes menepuk bahu Raina. Dia menatap manik mata sahabatnya. "Kekurangannya Pak Irham, nggak punya kekurangan, 'kan?" Raina kesal melihat mata berbinar Anes yang terlalu dibuat-buat. "Iya, nggak kurang apa-apa. Cuma satu. Kurang waras!" Anes tertawa terbahak-bahak sehingga membuat orang-orang di sekitar mereka menoleh. "Kurang warasn
Hal yang paling ingin dilakukan Raina saat ini adalah pergi. Entah apa pun maksud Irham. Dia tidak peduli. Apa katanya tadi? "Seharusnya, kamu datang lebih cepat." Apa, sih, maksudnya? Raina terus berpikir sambil mengayuh sepeda. Dia meninggalkan rumah Anes begitu saja. Tak peduli atas reaksi berlebihan tersebut. Ya, feedback-nya terhadap Irham Nusahakam cenderung berlebihan sehingga Raina sendiri tidak begitu paham atas tindakannya. Raina bahkan tidak sadar Irham sudah memarkir mobilnya di depan jalan. Dia menghela napas dan terpaksa berhenti. Tom and Jerry bahkan tidak serumit ini dalam hal main kejar-kejaran. Pria dengan style kemeja garis-garis vertikal hitam itu keluar dari mobil. Dia berjalan pelan dengan tatapan lurus ke mata Raina. Ada degup jantung yang tidak bisa ditahan. Sudah lama dirinya tidak mengejar wanita. Tentu saja ini sangat melelahkan. Di saat banyak gadis tertarik padanya, Raina malah setengah mati ingin menghindar. Raina bergeming di atas sepeda. Dia ingin m
Lima puluh tujuh panggilan tak terjawab dari Anes membuat Raina tersenyum puas. Belum lagi, deretan chat yang diabaikan. Hal ini pasti membuat temannya menderita. "Nikmatilah rahasia itu sendiri!" ucap Raina sambil menatap layar HP-nya malas. Dia memasukkan kembali benda itu ke dalam saku jaketnya."Sumpah! Berisik banget ini orang satu!" Langkah kecil wanita itu terus menyusuri stasiun Bogor. Dia menghela napas saat melihat jalan panjang di depannya. Bagaimana mungkin stasiun Bogor bisa luas dan sangat melelahkan begini? Begitu pikir Raina. Pada stasiun Bogor, jarak antara peron dan pintu keluar memang lumayan jauh. Itu sangat mampu membuat kaki ramping Raina sedikit encok. Perjalanan sendiri selalu terasa lebih menyedihkan, bukan? Kalau saja berdua cowok gebetan, mungkin lebih lama, lebih baik. Dasar! Mata kuliah Statistika Matematika hari ini akan lebih menyebalkan 10 kali lipat dibanding hari-hari sebelumnya. Oleh karena itu, Raina memutuskan untuk pergi ke rumah Mama. Dia tahu
Adli Winata mengusap tengkuk setelah menyebutkan nama lengkapnya. Dia cukup terkejut. Apa mungkin bertanya dianggap hal tidak sopan? Apakah dia masuk deretan mahasiswa dengan nilai C dan harus remedial? Seharusnya tidak. HP di atas meja berkelip menandakan pesan masuk. Nama Raina muncul pada pop up W******p. Senyum simpul tak sengaja terurai begitu melihatnya. Adli berusaha menahan diri untuk kalem. Pria itu memang sempat bertanya lewat chat tentang keabsenan Raina. Rai, knp nggak kuliah? Liburan dulu sesekali Berani bgt bolos matkul Statistika. Wkwk btw, gue mau konsultasi percintaan. Gue tunggu di Bogor. Berani? Di rumah nyokap, kan? Halah, pulang kuliah gue OTW. Duh, sayang bgt Adli Winata cowok bersama. Wkwk Nggak usah bilang Anes ke sininya. Siaap! Mw gue bawain apa? Bawain hati kamu aja! Uwek! Serius! Klo mw ada yang di makan, W* aja ya sblm gue OTW Duuuh, selamatkan aku dari kegombalan yg hakiki. Astaga, terserahlah! Kalimat chating-nya memang terserah. Namun, hal
Kabur memang tidak memberikan solusi apa pun. Namun, setidaknya bisa memberi jeda untuk persiapan hati. Bagaimana Raina tidak terkejut? Anes dan Pak Nusahakam sudah mengobrol santai dengan mamanya. "Mau ke mana, Rai?" Adli mengikuti Raina yang membalikkan badan. "Keranjang stroberi gue ketinggalan!" "Itu di tangan apaan?" tanya Adli iseng. Belum sempat Raina duduk pada kursi yang tersedia di sekitar kebun, Anes sudah datang dan memeluknya erat dari belakang. "Mau ke mana, ih?" Raina melepaskan pelukan yang membuat lehernya kesakitan itu. Dia memutar badan dan menatap Anes kesal. "Ke tempat yang nggak ada lo sama Bapak Nusakambangannya!" Anes tertawa pelan. Dia baru ingat, sudah lama tidak mendengar julukan itu keluar dari mulut sahabatnya. "Kita pikirkan dengan kepala dingin, yuk!" Satu cup cokelat hangat disodorkan oleh Adli untuk Raina. Wanita itu duduk di kursi dan mulai menyesap minumannya. "Kurang dingin apa gue di sini? Jaket tebal aja masih terasa dingin!" "Kurang pelu
"Yang pertama, kamu tidak perlu menghindari saya di kelas karena itu akan merugikan diri kamu sendiri." Ah! Irham menyesal telah memulai pembahasan seperti ini.Raina menunduk. Dia terlihat sangat sadar Irham sedang menatap wajahnya tanpa berpaling sejenak pun."Kedua, saya ingin tahu, apa yang bisa saya lakukan untuk membuat kamu mau mengenal saya?"Raina mengernyitkan dahi. Teritoris sekali cara orang di sebelahnya berbicara. Dia terpaksa menoleh karena Irham menunggu jawabannya."Pak, sebelum saya mengenal bapak, bukankah bapak sebaiknya mengenal saya dulu?""Saya sudah kenal kamu cukup lama dan detail dari Anesya."Raina menekuk wajah. Dia ingin mengomel di hadapan Anes sekarang juga. Kenapa wanita itu membagikan info tentang dirinya tanpa permisi?"Tapi saya merasa tidak perlu mengenal bapak!" Entah dari mana muncul keberanian Raina untuk menatap mata Irham yang sejak tadi fokus menunggu jawaban."Iya, memang. Saya yang perlu!""Pak, apa warisan itu sangat penting sehingga bapak a
Raina tidak bisa berkata apa-apa saat Anes berpamitan pulang. Mama dengan repotnya mengantar sampai ke mobil dan berterima kasih pada Irham karena sudah datang. Dosen muda itu tampak ramah dan hangat. Ini cukup menjengkelkan bagi Raina. Dia bahkan hanya bisa menelan ludah saat mama menitipkannya pada Irham. "Tolong titip Raina, ya, Pak!" Heh, mama sembarangan tatap-titip aja. Memangnya mama tidak tahu apa arti menitipkan seorang anak gadis pada pria dewasa? Raina menekuk wajah dengan hati komat-kamit penuh kesal. Lain sikap kepada mama, Irham memilih berlaku cuek pada Raina. Dia bahkan tidak mengucapkan apa pun. Matanya melirik saja pun tidak. Hal ini tentu mengganggu pikiran Raina. Dia sempat bertanya kenapa dengan isyarat mata pada Anes. Temannya hanya membalas dengan menggedikkan bahu pertanda tidak tahu. Berbekal ayam bakar dan beberapa makanan lain, Anes terpaksa pulang lebih dulu. Dia tidak mungkin membiarkan Irham dalam keadaan marah pulang sendiri. Ya, apa lagi kalau bukan