Lima puluh tujuh panggilan tak terjawab dari Anes membuat Raina tersenyum puas. Belum lagi, deretan chat yang diabaikan. Hal ini pasti membuat temannya menderita. "Nikmatilah rahasia itu sendiri!" ucap Raina sambil menatap layar HP-nya malas. Dia memasukkan kembali benda itu ke dalam saku jaketnya."Sumpah! Berisik banget ini orang satu!" Langkah kecil wanita itu terus menyusuri stasiun Bogor. Dia menghela napas saat melihat jalan panjang di depannya. Bagaimana mungkin stasiun Bogor bisa luas dan sangat melelahkan begini? Begitu pikir Raina. Pada stasiun Bogor, jarak antara peron dan pintu keluar memang lumayan jauh. Itu sangat mampu membuat kaki ramping Raina sedikit encok. Perjalanan sendiri selalu terasa lebih menyedihkan, bukan? Kalau saja berdua cowok gebetan, mungkin lebih lama, lebih baik. Dasar! Mata kuliah Statistika Matematika hari ini akan lebih menyebalkan 10 kali lipat dibanding hari-hari sebelumnya. Oleh karena itu, Raina memutuskan untuk pergi ke rumah Mama. Dia tahu
Adli Winata mengusap tengkuk setelah menyebutkan nama lengkapnya. Dia cukup terkejut. Apa mungkin bertanya dianggap hal tidak sopan? Apakah dia masuk deretan mahasiswa dengan nilai C dan harus remedial? Seharusnya tidak. HP di atas meja berkelip menandakan pesan masuk. Nama Raina muncul pada pop up W******p. Senyum simpul tak sengaja terurai begitu melihatnya. Adli berusaha menahan diri untuk kalem. Pria itu memang sempat bertanya lewat chat tentang keabsenan Raina. Rai, knp nggak kuliah? Liburan dulu sesekali Berani bgt bolos matkul Statistika. Wkwk btw, gue mau konsultasi percintaan. Gue tunggu di Bogor. Berani? Di rumah nyokap, kan? Halah, pulang kuliah gue OTW. Duh, sayang bgt Adli Winata cowok bersama. Wkwk Nggak usah bilang Anes ke sininya. Siaap! Mw gue bawain apa? Bawain hati kamu aja! Uwek! Serius! Klo mw ada yang di makan, W* aja ya sblm gue OTW Duuuh, selamatkan aku dari kegombalan yg hakiki. Astaga, terserahlah! Kalimat chating-nya memang terserah. Namun, hal
Kabur memang tidak memberikan solusi apa pun. Namun, setidaknya bisa memberi jeda untuk persiapan hati. Bagaimana Raina tidak terkejut? Anes dan Pak Nusahakam sudah mengobrol santai dengan mamanya. "Mau ke mana, Rai?" Adli mengikuti Raina yang membalikkan badan. "Keranjang stroberi gue ketinggalan!" "Itu di tangan apaan?" tanya Adli iseng. Belum sempat Raina duduk pada kursi yang tersedia di sekitar kebun, Anes sudah datang dan memeluknya erat dari belakang. "Mau ke mana, ih?" Raina melepaskan pelukan yang membuat lehernya kesakitan itu. Dia memutar badan dan menatap Anes kesal. "Ke tempat yang nggak ada lo sama Bapak Nusakambangannya!" Anes tertawa pelan. Dia baru ingat, sudah lama tidak mendengar julukan itu keluar dari mulut sahabatnya. "Kita pikirkan dengan kepala dingin, yuk!" Satu cup cokelat hangat disodorkan oleh Adli untuk Raina. Wanita itu duduk di kursi dan mulai menyesap minumannya. "Kurang dingin apa gue di sini? Jaket tebal aja masih terasa dingin!" "Kurang pelu
"Yang pertama, kamu tidak perlu menghindari saya di kelas karena itu akan merugikan diri kamu sendiri." Ah! Irham menyesal telah memulai pembahasan seperti ini.Raina menunduk. Dia terlihat sangat sadar Irham sedang menatap wajahnya tanpa berpaling sejenak pun."Kedua, saya ingin tahu, apa yang bisa saya lakukan untuk membuat kamu mau mengenal saya?"Raina mengernyitkan dahi. Teritoris sekali cara orang di sebelahnya berbicara. Dia terpaksa menoleh karena Irham menunggu jawabannya."Pak, sebelum saya mengenal bapak, bukankah bapak sebaiknya mengenal saya dulu?""Saya sudah kenal kamu cukup lama dan detail dari Anesya."Raina menekuk wajah. Dia ingin mengomel di hadapan Anes sekarang juga. Kenapa wanita itu membagikan info tentang dirinya tanpa permisi?"Tapi saya merasa tidak perlu mengenal bapak!" Entah dari mana muncul keberanian Raina untuk menatap mata Irham yang sejak tadi fokus menunggu jawaban."Iya, memang. Saya yang perlu!""Pak, apa warisan itu sangat penting sehingga bapak a
Raina tidak bisa berkata apa-apa saat Anes berpamitan pulang. Mama dengan repotnya mengantar sampai ke mobil dan berterima kasih pada Irham karena sudah datang. Dosen muda itu tampak ramah dan hangat. Ini cukup menjengkelkan bagi Raina. Dia bahkan hanya bisa menelan ludah saat mama menitipkannya pada Irham. "Tolong titip Raina, ya, Pak!" Heh, mama sembarangan tatap-titip aja. Memangnya mama tidak tahu apa arti menitipkan seorang anak gadis pada pria dewasa? Raina menekuk wajah dengan hati komat-kamit penuh kesal. Lain sikap kepada mama, Irham memilih berlaku cuek pada Raina. Dia bahkan tidak mengucapkan apa pun. Matanya melirik saja pun tidak. Hal ini tentu mengganggu pikiran Raina. Dia sempat bertanya kenapa dengan isyarat mata pada Anes. Temannya hanya membalas dengan menggedikkan bahu pertanda tidak tahu. Berbekal ayam bakar dan beberapa makanan lain, Anes terpaksa pulang lebih dulu. Dia tidak mungkin membiarkan Irham dalam keadaan marah pulang sendiri. Ya, apa lagi kalau bukan
"Siapa yang suruh kamu duduk di sana?" Pertanyaan macam apa itu? Raina memejamkan mata dan mengumpulkan kekuatannya untuk menahan amarah. Jangan sampai mulut mungilnya mengeluarkan kalimat tandingan yang lebih menyakitkan. Tidak pernah terbayang untuk saling menyakiti terhadap pria di hadapannya. "Apa harus ada yang suruh saya duduk di sini, Pak Nusahakam?" tanya Raina mantap. Pandangannya lurus ke mata Irham. Pria itu lekas membuang pandangannya dan membuka modul. Sementara itu, beberapa mahasiswi mulai mengangguk-angguk, seolah sedang mencerna apa yang terjadi di antara Raina dan dosen kesayangan mata mereka. Yes, ada harapan buat gue! Pasti Pak Irham ditolak Raina! Raina nggak mikirin keselamatan kelas ini, apa? Ini kuliah atau perang dingin? Please, Pak, lupakan Raina dan liriklah aku! Hati teman-teman Raina terus berkeluh kesah tanpa jeda. Beberapa merasa punya harapan untuk mendapatkan hati Irham, sisanya merasa tidak nyaman atas sikap Irham yang datar, dan selebihnya me
Mata kuliah selanjutnya akan segera dimulai. Raina masih belum tahu bagaimana caranya keluar dari ruangan Irham Nusahakam. Dia menghela napas beberapa kali. "Pak, saya permisi dulu!" ucapnya buru-buru berdiri dan melangkah. "Kenapa buru-buru? Tadi aja masuknya tidak pakai permisi, langsung ngegass, langsung marah-marah!" Irham mendahului Raina dan berdiri di depan pintu. "Ya, Bapak, 'kan, yang mulai duluan? PHP-in saya!" "Saya nggak pernah kasih harapan palsu! Malah kamu yang nggak mau banget sama saya!" "Maksud saya PHP kasih buku sketsa saya, Pak!" Raina memutar mata. "Oh?" "Yaudah, Pak! Saya keluar! Dosen udah masuk kelas pasti, nih!" "Saya tidak terlalu peduli. Barang siapa yang berani masuk ruangan saya dan marah-marah, maka tidak akan mudah baginya untuk keluar dari sini! Sama halnya seperti wanita mana yang sudah telanjur masuk ke hati saya, maka sulit bagi saya untuk mengeluarkannya dengan cara apa pun!" "Ya ampun, Pak. Kenapa, sih, Bapak malah curhat sama saya?" Yang
"Maaf, ada perlu apa?" Raina tidak menyangka akan bersikap dingin begini pada wanita di hadapannya. Dia bahkan mengabaikan tatapan polos seorang anak perempuan berumur lima tahun. "Aku ... kembali." Ucapan itu sungguh memancing emosi Raina yang sudah bertahun-tahun tertampung sempurna. "Kembali? Mau ngapain? Udah bosen di luar negeri?" sindir Raina. "Bisa masuk dulu, nggak?" tanya wanita berambut panjang itu sambil tersenyum. Anak kecil di sampingnya hanya berani menatap Raina. "Aku larang pun Kak Mayra tetap akan masuk, 'kan?" Raina menyedekapkan tangan dan berlalu dari hadapan kakaknya. "Ini rumah Mama, bukan rumah kamu." Kalimat itu berhasil membuat Raina menaiki tangga menuju kamarnya. Dia menghentakkan kaki seperti biasa. "Dia pikir dia siapa? Masih mengakui gue sebagai adiknya? Setelah bertahun-tahun pergi. Emangnya bertahan hidup sendiri itu gampang? Sumpah! Jahat banget punya kakak kayak dia!" keluh Raina dengan suara pelan, tapi penuh penekanan. Raina merebahkan bada