"Kenapa?" Anes sudah menunggu di lobi. Wanita berambut sebahu itu tergopoh menghampiri Raina yang saat itu berwajah sumpek. Dia memamerkan senyum yang tak terbalas. "Nggak!" "Pak Irham ngomong apa?" "Kok tau gue ngobrol sebentar sama Pak Nusakambangan?" Anes berdecak, lalu tertawa. "Orang-orang sekelas juga tahu kalo lo ngobrol sama Pak Irham. Mereka malah pengennya diajak ngobrol, dong." Raina menatap Anes dengan mata penuh kegalauan. Mereka masih berdiri di depan lobi. "Aneh banget, sih." "Aneh kenapa? Anggap aja mukjizat turun dari langit!" "Apa yang orang lain anggap mukjizat kan belum tentu mukjizat bagi kita." "Pak Irham kurang apa, Rai?" Anes menepuk bahu Raina. Dia menatap manik mata sahabatnya. "Kekurangannya Pak Irham, nggak punya kekurangan, 'kan?" Raina kesal melihat mata berbinar Anes yang terlalu dibuat-buat. "Iya, nggak kurang apa-apa. Cuma satu. Kurang waras!" Anes tertawa terbahak-bahak sehingga membuat orang-orang di sekitar mereka menoleh. "Kurang warasn
Hal yang paling ingin dilakukan Raina saat ini adalah pergi. Entah apa pun maksud Irham. Dia tidak peduli. Apa katanya tadi? "Seharusnya, kamu datang lebih cepat." Apa, sih, maksudnya? Raina terus berpikir sambil mengayuh sepeda. Dia meninggalkan rumah Anes begitu saja. Tak peduli atas reaksi berlebihan tersebut. Ya, feedback-nya terhadap Irham Nusahakam cenderung berlebihan sehingga Raina sendiri tidak begitu paham atas tindakannya. Raina bahkan tidak sadar Irham sudah memarkir mobilnya di depan jalan. Dia menghela napas dan terpaksa berhenti. Tom and Jerry bahkan tidak serumit ini dalam hal main kejar-kejaran. Pria dengan style kemeja garis-garis vertikal hitam itu keluar dari mobil. Dia berjalan pelan dengan tatapan lurus ke mata Raina. Ada degup jantung yang tidak bisa ditahan. Sudah lama dirinya tidak mengejar wanita. Tentu saja ini sangat melelahkan. Di saat banyak gadis tertarik padanya, Raina malah setengah mati ingin menghindar. Raina bergeming di atas sepeda. Dia ingin m
Lima puluh tujuh panggilan tak terjawab dari Anes membuat Raina tersenyum puas. Belum lagi, deretan chat yang diabaikan. Hal ini pasti membuat temannya menderita. "Nikmatilah rahasia itu sendiri!" ucap Raina sambil menatap layar HP-nya malas. Dia memasukkan kembali benda itu ke dalam saku jaketnya."Sumpah! Berisik banget ini orang satu!" Langkah kecil wanita itu terus menyusuri stasiun Bogor. Dia menghela napas saat melihat jalan panjang di depannya. Bagaimana mungkin stasiun Bogor bisa luas dan sangat melelahkan begini? Begitu pikir Raina. Pada stasiun Bogor, jarak antara peron dan pintu keluar memang lumayan jauh. Itu sangat mampu membuat kaki ramping Raina sedikit encok. Perjalanan sendiri selalu terasa lebih menyedihkan, bukan? Kalau saja berdua cowok gebetan, mungkin lebih lama, lebih baik. Dasar! Mata kuliah Statistika Matematika hari ini akan lebih menyebalkan 10 kali lipat dibanding hari-hari sebelumnya. Oleh karena itu, Raina memutuskan untuk pergi ke rumah Mama. Dia tahu
Adli Winata mengusap tengkuk setelah menyebutkan nama lengkapnya. Dia cukup terkejut. Apa mungkin bertanya dianggap hal tidak sopan? Apakah dia masuk deretan mahasiswa dengan nilai C dan harus remedial? Seharusnya tidak. HP di atas meja berkelip menandakan pesan masuk. Nama Raina muncul pada pop up W******p. Senyum simpul tak sengaja terurai begitu melihatnya. Adli berusaha menahan diri untuk kalem. Pria itu memang sempat bertanya lewat chat tentang keabsenan Raina. Rai, knp nggak kuliah? Liburan dulu sesekali Berani bgt bolos matkul Statistika. Wkwk btw, gue mau konsultasi percintaan. Gue tunggu di Bogor. Berani? Di rumah nyokap, kan? Halah, pulang kuliah gue OTW. Duh, sayang bgt Adli Winata cowok bersama. Wkwk Nggak usah bilang Anes ke sininya. Siaap! Mw gue bawain apa? Bawain hati kamu aja! Uwek! Serius! Klo mw ada yang di makan, W* aja ya sblm gue OTW Duuuh, selamatkan aku dari kegombalan yg hakiki. Astaga, terserahlah! Kalimat chating-nya memang terserah. Namun, hal
Kabur memang tidak memberikan solusi apa pun. Namun, setidaknya bisa memberi jeda untuk persiapan hati. Bagaimana Raina tidak terkejut? Anes dan Pak Nusahakam sudah mengobrol santai dengan mamanya. "Mau ke mana, Rai?" Adli mengikuti Raina yang membalikkan badan. "Keranjang stroberi gue ketinggalan!" "Itu di tangan apaan?" tanya Adli iseng. Belum sempat Raina duduk pada kursi yang tersedia di sekitar kebun, Anes sudah datang dan memeluknya erat dari belakang. "Mau ke mana, ih?" Raina melepaskan pelukan yang membuat lehernya kesakitan itu. Dia memutar badan dan menatap Anes kesal. "Ke tempat yang nggak ada lo sama Bapak Nusakambangannya!" Anes tertawa pelan. Dia baru ingat, sudah lama tidak mendengar julukan itu keluar dari mulut sahabatnya. "Kita pikirkan dengan kepala dingin, yuk!" Satu cup cokelat hangat disodorkan oleh Adli untuk Raina. Wanita itu duduk di kursi dan mulai menyesap minumannya. "Kurang dingin apa gue di sini? Jaket tebal aja masih terasa dingin!" "Kurang pelu
"Yang pertama, kamu tidak perlu menghindari saya di kelas karena itu akan merugikan diri kamu sendiri." Ah! Irham menyesal telah memulai pembahasan seperti ini.Raina menunduk. Dia terlihat sangat sadar Irham sedang menatap wajahnya tanpa berpaling sejenak pun."Kedua, saya ingin tahu, apa yang bisa saya lakukan untuk membuat kamu mau mengenal saya?"Raina mengernyitkan dahi. Teritoris sekali cara orang di sebelahnya berbicara. Dia terpaksa menoleh karena Irham menunggu jawabannya."Pak, sebelum saya mengenal bapak, bukankah bapak sebaiknya mengenal saya dulu?""Saya sudah kenal kamu cukup lama dan detail dari Anesya."Raina menekuk wajah. Dia ingin mengomel di hadapan Anes sekarang juga. Kenapa wanita itu membagikan info tentang dirinya tanpa permisi?"Tapi saya merasa tidak perlu mengenal bapak!" Entah dari mana muncul keberanian Raina untuk menatap mata Irham yang sejak tadi fokus menunggu jawaban."Iya, memang. Saya yang perlu!""Pak, apa warisan itu sangat penting sehingga bapak a
Raina tidak bisa berkata apa-apa saat Anes berpamitan pulang. Mama dengan repotnya mengantar sampai ke mobil dan berterima kasih pada Irham karena sudah datang. Dosen muda itu tampak ramah dan hangat. Ini cukup menjengkelkan bagi Raina. Dia bahkan hanya bisa menelan ludah saat mama menitipkannya pada Irham. "Tolong titip Raina, ya, Pak!" Heh, mama sembarangan tatap-titip aja. Memangnya mama tidak tahu apa arti menitipkan seorang anak gadis pada pria dewasa? Raina menekuk wajah dengan hati komat-kamit penuh kesal. Lain sikap kepada mama, Irham memilih berlaku cuek pada Raina. Dia bahkan tidak mengucapkan apa pun. Matanya melirik saja pun tidak. Hal ini tentu mengganggu pikiran Raina. Dia sempat bertanya kenapa dengan isyarat mata pada Anes. Temannya hanya membalas dengan menggedikkan bahu pertanda tidak tahu. Berbekal ayam bakar dan beberapa makanan lain, Anes terpaksa pulang lebih dulu. Dia tidak mungkin membiarkan Irham dalam keadaan marah pulang sendiri. Ya, apa lagi kalau bukan
"Siapa yang suruh kamu duduk di sana?" Pertanyaan macam apa itu? Raina memejamkan mata dan mengumpulkan kekuatannya untuk menahan amarah. Jangan sampai mulut mungilnya mengeluarkan kalimat tandingan yang lebih menyakitkan. Tidak pernah terbayang untuk saling menyakiti terhadap pria di hadapannya. "Apa harus ada yang suruh saya duduk di sini, Pak Nusahakam?" tanya Raina mantap. Pandangannya lurus ke mata Irham. Pria itu lekas membuang pandangannya dan membuka modul. Sementara itu, beberapa mahasiswi mulai mengangguk-angguk, seolah sedang mencerna apa yang terjadi di antara Raina dan dosen kesayangan mata mereka. Yes, ada harapan buat gue! Pasti Pak Irham ditolak Raina! Raina nggak mikirin keselamatan kelas ini, apa? Ini kuliah atau perang dingin? Please, Pak, lupakan Raina dan liriklah aku! Hati teman-teman Raina terus berkeluh kesah tanpa jeda. Beberapa merasa punya harapan untuk mendapatkan hati Irham, sisanya merasa tidak nyaman atas sikap Irham yang datar, dan selebihnya me