Ia seperti melihat orang lain. Lipstick merah menyala, dress ketat yang mempertontonkan bagian bahunya, juga perhiasan mahal yang menempel di telinga, jari dan yang melingkar di lehernya.
Semua skenario diurus oleh Mona dan Miskha. Ia hanya perlu melakukan tugasnya malam ini setelah kemarin ia mendapatkan bayaran dimuka dan langsung ia bayarkan pada dua debt collector itu.
“Kamu dapat uang dari mana, Dis?” Pertanyaan tersebut terus menerus ditanyakan ibunya. Namun Gadisa sampai detik ini tidak menjawab. Mana bisa ia mengatakan jika ia menjadi gadis penggoda. Ibunya pasti akan marah. Apalagi menurut ibunya, seorang wanita tidak boleh mengganggu hubungan rumah tangga orang lain.
Pandangannya kemudian turun ke arah kemeja putih yang ada di tangannya. Kemeja dengan bekas tumpahan kopi yang sedang coba ia bersihkan.
“Aaaaahhh… maaf…” Gadisa menutup mulutnya dengan satu tangannya. Memasang ekspresi kaget saat es americano miliknya tumpah mengenai kemeja seorang pria.
Tangan pria itu menahan sisi lengannya yang terhuyung akibat ditubruk oleh seseorang yang tidak melihat jalan sampai Gadisa tanpa sengaja menumpahkan es americano.
Apa benar ketidaksengajaan? Tentu bukan. Semuanya sudah diatur oleh dua wanita yang bersembunyi di sisi kafe dan melihatnya dari kejauhan.
Gadisa melirik ke arah tanaman di pojok kafe. Mona dan Miskha sedang bersembunyi di sana. Sementara dirinya sedang menjalankan skenario untuk menggoda pria di hadapannya. Aric Ernesto.
Kejadian tumpahnya es americano di kemeja Aric, menyita perhatian pengunjung kafe.
“Gimana ini…” lirih Gadisa melirik Aric melalui sela bulu matanya palsu yang terpaksa harus ia pakai atas tuntutan perannya.
Aric menjauhkan tangannya yang menahan lengan wanita di hadapannya. Ia melirik kemejanya yang basah dan berwarna hitam kecokelatan. “Nggak usah dipikirkan. Saya bawa keme─”
“Gimana kalau dibersihkan di apartemen saya?” Gadisa menggigit bibirnya sambil menatap pria tinggi menjulang di hadapannya. Gadisa dengar apa yang dikatakan Aric barusan. Pria itu pasti mau mengatakan kalau dia membawa kemeja ganti di mobilnya. Seorang artis terkenal, tidak mungkin tidak membawa pakaian ganti di dalam mobil ‘kan?
Kalau percobaan ini gagal, Gadisa sudah mempersiapkan diri untuk memaksa pria di hadapannya itu sampai mau datang ke apartemen yang telah disediakan Mona dan Miskha.
Namun ternyata…
“Oke! Kemeja ini harus aku kenakan syuting satu jam lagi. Jadi aku harap kamu bisa membersihkannya sebagai tanggung jawabmu,” ucap Aric yang tidak bisa lepas menatap bibir seksi wanita di hadapannya.
.
Gadisa berdiri di depan pintu. Memegang dadanya yang berdegup kencang lalu menarik napas dalam-dalam sebelum keluar dari toilet kamar apartemen tersebut. Entah apartemen siapa yang yang menjadi saksi dirinya menggoda suami orang. Karena tadi pagi ia hanya diberi tahu nama apartemen, nomor unit dan diberikan kartu akses untuk masuk ke apartemen itu.
“Ternyata nggak bisa dibersihkan,” ucap Gadisa menemui pria yang duduk di tepi ranjang.
Bagaimana bisa Gadisa membawa masuk Aric ke kamar? Jawabannya sangat mudah. Saat Gadisa mengatakan sebaiknya menggunakan kamar mandi yang ada di kamarnya, Aric mengekor tanpa membantah apalagi menolak ajakannya. Dan tadi, di hadapannya, Aric dengan santai membuka kemeja itu. Sehingga saat ini, pria tampan itu tidak mengenakan apa-apa yang menutupi tubuh bagian atasnya.
“Mas Aric suka kalau ada yang memuji tubuhnya. Aku mau kamu memuji tubuhnya.”
Gadisa masih ingat Mona mengatakannya dengan suara bergetar. Mona terlihat tidak rela bila ada yang menggoda suaminya namun terpaksa melakukannya agar wanita yang menjadi pelakor dalam rumah tangganya memutuskan hubungan dengan sang suami.
Tapi, bukannya jika Gadisa berhasil melakukan tugasnya, itu artinya Aric adalah pria brengsek? Kenapa seorang Mona Aleandra memilih melanjutkan hubungan dengan pria brengsek?
Banyak hal yang tidak Gadisa mengerti.
Tapi semua itu bukan urusan Gadisa. Karena dirinya ada di sini, menggoda Aric Ernesto untuk mendapatkan uang.
“Kalau saya cuci bajunya di belakang, kira-kira, Mas masih bisa nunggu nggak? Tapi pasti lama,” ucap Gadisa meringis.
Bagaimana mungkin seorang yang tidak punya bakat akting dapat berakting senatural ini? Gadisa benar-benar merasa menjadi orang lain saat ini.
Aric melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. “Aku nggak punya waktu. Aku harus syuting.”
“Gitu, ya?” Gadisa mengatakannya seperti orang yang sedang kecewa. “Maaf banget, ya, Mas. Harusnya saya bisa tanggung jawab. Saya benar-benar minta maaf.” Gadisa memegang kemeja itu dengan erat.
“Nggak apa-apa. Tadinya aku juga ngira bisa dibersihkan. Sepertinya noda kopi memang susah untuk dibersihkan hanya dengan menguceknya,” ucap Aric melihat bagian kemejanya yang kotor tampak lecek.
Gadisa meringis. “Dan sekarang saya malah bikin baju Mas lecek.”
Aric tertawa lirih. Tak lepas ia memerhatikan wajah wanita di hadapannya. “Jangan merasa bersalah terus. Kamu nggak salah. Kalau bukan karena laki-laki tadi yang nabrak kamu, kamu nggak akan menumpahkan kopi milikmu ke kemeja ku.”
Gadisa menghela napas panjang. “Tapi karena saya nggak hati-hati, kemeja Mas jadi kotor. Pasti nggak bisa dipakai syuting.”
“Nanti saya minta kemeja lain pada tim wardrobe. Jangan khawatir.” Aric mengambil kemejanya dari tangan wanita di hadapannya yang… “Aku boleh tau nama mu?” tanya Aric kemudian.
Gadisa menatap mata Aric. Tak ia lepaskan mata itu. “Laura.” Nama itu terlintas begitu saja sebab dirinya tidak mau menyebutkan nama aslinya.
“Laura? Nama yang cantik,” ucap Aric tersenyum dan tak lepas menatap sepasang mata Laura yang indah. Lalu pandangan Aric turun ke arah bibir Laura yang sering digigit pemiliknya.
Gadisa melihat sepasang mata Aric turun menatap bibirnya. Sejak tadi, seperti ada sesuatu yang menarik pada bibirnya.
Gadisa menelan ludahnya. Jujur, ia takut.
“Badan Mas bangus banget,” ucapnya menatap perut Aric yang sangat atletis. Katakutannya tidak boleh ia tampakkan. Ia sedang menjalankan tugasnya. Kalau tidak berhasil, Mona bisa saja meminta uangnya kembali.
Aric mengulum senyumnya ketika Laura memuji tubuhnya. “Tuntutan peran. Sebagai aktor, aku harus tampil dengan tubuh yang menarik di kamera.”
“Boleh saya sentuh?” tanya Gadisa.
“Sentuh tubuhnya! Aku mau tau apa dia tergoda.”
Aric terkejut. Namun… “Sentuh saja. Sentuh sesukamu.”
Gadisa menahan napasnya. Apa yang ia lakukan ini?
Tapi Gadisa butuh video yang memperlihatkan interaksi dirinya dan Aric yang terlihat seperti sedang berselingkuh.
Itu sebabnya dirinya harus melakukan apa yang bertentangan dengan hati nuraninya.
Mata Aric terpejam saat jemari lembut Laura menyentuh dadanya lalu dengan gerakan setipis bulu itu, jemari lentik Laura turun menyentuh satu persatu bagian sixpack miliknya hingga napas Aric tersengal─tubuhnya memanas bersamaan dengan hembusan napas yang keluar dari mulutnya dan…
Dengan satu gerakan Aric menyambar pinggul Laura sampai tubuh mungil itu menempel padanya. Kulit seputih salju milik Laura dan ceruk leher yang menggoda membuat tubuh Aric makin panas. Apalagi ketika tali gaun ketat yang dipakai Laura terjatuh dari bahu.
“Kamu cantik,” ucap Aric dengan suara serak.
Kedua tangan Gadisa mengepal menahan dada Aric agar tidak bersentuhan dengan dadanya.
Oh Tuhan… Apa yang ia lakukan ini?
Gadisa menahan napasnya ketika Aric mendekatkan wajahnya ke bagian lehernya dan tubuh Gadisa menegang ketika pria itu mengecup lehernya.
Gadisa ingin menangis.
Tapi tidak boleh.
Ia harus menyelesaikan tugasnya dan berjanji tidak akan melakukan hal gila ini lagi.
Ia tidak mau menjadi gadis penggoda suami orang.
Tidak mau!
“Kamu belum tidur, Dis?” Ibu Rike berdiri di ambang pintu kamar putrinya yang terlihat masih menyala lampunya. “Sudah jam satu ini, Dis.”Gadisa bengkit dari ranjang kayunya. Duduk di tepi, Gadisa belum bisa tertidur. Pikirannya masih tertuju pada Mikairo. “Ini mau tidur, kok, Bu,” jawab Gadisa tersenyum kecil.“Gimana tadi kejutan ulang tahunnya? Pasti seru, ya?” tanya ibu Rike mengayunkan langkah masuk ke kamar putrinya. Tadi, saat putrinya pulang, ibu Rike sudah terlelap dan baru saja terbangun karena ingin ke kamar mandi.“Mbak Miskha nggak datang, Bu. Kai sudah semangat ngasih kejutan, tapi ternyata mamanya nggak datang.” Pandangan Gadisa mengekor gerak ibunya hingga ibunya duduk di sampingnya.“Nggak datang? Kenapa? Sibuk?” tanya ibu Rike membayangkan sekecewa apa Mikairo. Apalagi ibu Rike tahu Mikairo anak yang selalu excited.“Nggak tau, Bu. Aku hubungi nggak diangkat lagi.”“Harusnya nggak boleh begitu. Apa mereka ada masalah?” tanya ibu Rike.Gadisa diam sejenak. Tanpa berma
Sepasang mata Gadisa tidak berpindah dari keranjang kotak yang terbuat dari bambu dan dihiasi kertas krep berwarna hijau dan diatasnya terdapat kerajinan tangan terbuat dari clay berbentuk bunga, rumah, lalu ada yang berbentuk pria dewasa, wanita dewasa dan juga anak laki-laki.“Ceritanya yang kertas hijau itu rumput, ya, Mbak?” tanya bik Lastri muncul dari belakang Gadisa.Gadisa menoleh. “Iya. Kata Kai, mau warna cokelat juga, tapi nanti mbak Miskha ngiranya tanah lumpur, soalnya mbak Miskha nggak suka becek. Jadi pakai kertas warna hijau aja, biar berasa di tanah berumput, Bik,” terang Gadisa menjelaskan pemikiran jenius Mikairo dalam pembuatan kerajinan tangan untuk dihadiahkan pada Miskha.Bik Lastri duduk di bawah memandangi kerajinan tangan cantik yang diletakkan di atas meja di ruang tengah. “Bagus, ya, Mbak. Kalau Bibik yang dapat hadiah ini, pasti terharu sekali.”Gadisa yang duduk di atas sofa, berpindah duduk di lantai. Gadisa tersenyum memandangi hasil kerajinan tangan bu
Di balik apronnya, Gadisa menyiapkan bekal untuk Mikairo bawa ke sekolah. Ada telur gulung, lalu nasi yang dibentuk bola-bola kecil, juga ada tempura dan terakhir ada tumis brokoli sebagai sayurnya. "Kayaknya enak banget. Kalau Bibik nggak kreatif. Bibik bisanya masak itu-itu aja. Kalau masakan tradisional, Bibik jagonya," ucap bik Lastri melongok hasil masakan Gadisa yang telah ditaruh dalam kotak bekal. "Bibik selalu bingung mau masakin apa buat bekalnya Kai. Saya jadi ngerepotin Mbak Gadis.""Nggak, kok, Bik. Saya ada waktu luang hari ini. Nggak terlalu sibuk di rumah, jadi ke sini dulu untuk bikinin Kai bekal." Tidak enak bila Gadisa mengatakan jika kemarin bekal yang dibawakan bik Lastri tidak habis dimakan. "Itu Mbak bikin banyak buat pak Dika?" tanya bibik melihat masih ada satu piring tempura, tumis brokoli dan telur gulung."Oh, nggak, Bik. Buat sarapan Kai sama kalau Bibik mau, silakan. Saya nggak tau seleranya pak Dika apa." Gadisa kemari hanya untuk menyiapkan sarapan se
"Mas nggak boleh ngomong gitu lagi, ya. Mas 'kan tau aku kerjanya selain ngurusin keperluan mbak Miskha, aku juga ngurusin Kai. Dia sedih mamanya selalu sibuk, dan semenjak aku bawa ke sini, dia seneng banget. Jadi Mas nggak boleh ngomong gitu lagi." Baru saja Mikairo dijemput oleh Dikara di depan gang. Tadinya mau meminta Dikara untuk mampir, sekedar basa-basi. Tapi melihat kakaknya tadi bicara sembarangan di depan Mikairo, Gadisa jadi khawatir kalau kakaknya akan bicara sembarangan lagi di depan Dikara nantinya. "Ta-tapi ma-sa kamu bawa ke sini. Me-memangnya ibunya ke-mana?" Bagi Lanang, yang namanya seorang ibu harus merawat anaknya. Bukan diserahkan pada orang lain. "Mamanya sibuk, Mas. Kalau di rumah nggak ada temen sebayanya, jadi aku bawa Kai ke sini biar bisa main sama anak tetangga kita." Gadisa menoleh ke arah kakaknya yang duduk di sampingnya. Saat ini, mereka ada di teras rumah, duduk tepat di belakang meja etalase jualan ibunya. Malam ini terang, sebab bulan b
"Sudah mandinya?" sambut Gadisa di depan pintu kamar mandi. Anak laki-laki berusia enam tahun itu keluar dengan handuk yang sudah terlilit di pinggulnya. Sangat rapi sampai Gadisa tersenyum dibuatnya. "Pinter banget. Seger nggak airnya?" tanya Gadisa lagi setelah pertanyaan pertama mendapat anggukan dan senyuman dari Mikairo. "Seger. Enak mandi sore-sore pakai air dingin. Besok Kai mau mandi pakai air dingin lagi, ya, Tante," pinta Mikairo yang selama ini selalu mandi pakai air hangat. "Boleh," angguk Gadisa membawa Mikairo menuju kamarnya untuk memakai pakaian. Hari ini sengaja Gadisa tidak merebuskan air seperti kemarin sore karena hari ini cuaca begitu terik. Jadi menurutnya tidak masalah mandi menggunakan air dingin. Toh akan sangat segar. Dan ternyata Mikairo menyukainya. Gadisa membawa Mikairo duduk di di lantai berkarpet lalu mendekatkan tas berisi baju ganti Mikairo. Sama seperti kemarin, Mikairo membawa dua setel pakaian ganti. Yang satu dipakai setel
Sepasang mata Miskha membeliak. "Mas ngapain disini?" tanyanya tak suka melihat kehadiran Dikara di salonnya. Tak ingin menjadi bahan tontonan, Dikara menarik pergelangan tangan Miskha, lalu membawa sang istri menuju ke tempat yang lebih sepi. Gadisa segera menyingkir usai menutup pintu ruangan Miskha untuk turun ke bawah. "Ini pertama kalinya suaminya mbak Miskha ke sini? Atau aku aja yang baru tau, Dis?" tanya Vera penasaran. "Udah, nggak usah dibahas. Bukan urusan kita," ucap Gadisa mencoba mengakhiri pembicaraan mengenai Miskha dan Dikara. Selain karena tidak sopan, Gadisa tak mau ada yang mendengarnya. Terlebih Miskha atau Dikara. Bisa jadi masalah nantinya. "Tapi suaminya mbak Miskha ganteng abis, ya?" Vera mendekati Gadisa yang berjalan ke area penataan rambut. "Bohong kamu. Katanya kamu nggak pernah liat. Buktinya tadi suaminya mbak Miskha nyariin kamu kok." "Nggak perlu dibahas, Ver. Nggak inget tadi gimana mbak Miskha negur kamu? Mbak Miskha ngga