“Jangan ragu untuk membuka pakaianmu. Aku ingin kamu lebih menggodanya.” Ini permintaan paling konyol di hidup seorang Gadisa Asmarini. Bekerja sebagai personal assistant seorang beauty influencer, Gadisa memiliki pekerjaan sampingan yaitu sebagai Gadis Penggoda. Pekerjaan hina itu ia lakukan demi melunasi hutang keluarganya yang disebabkan oleh ayahnya yang penjudi. Tidak sampai disitu, Gadisa harus berjuang menafkahi keluarganya di tengah ibunya yang divonis sakit parah dan butuh banyak biaya pengobatan, juga kakak laki-laki yang mengidap spektrum autisme sehingga yang paling diandalkan adalah dirinya. Bukan ini jalan hidup yang diinginkan Gadisa, namun, takdir selalu tidak berpihak padanya. Apalagi ketika uang yang ia hasilkan sebagai Gadis Penggoda jauh lebih banyak ketimbang gajinya sebagai personal assistant. Hingga suatu saat, Gadisa mendapatkan tawaran pekerjaan yang jauh lebih konyol lagi, yaitu… “Aku mau kamu menggoda suamiku.” Gadisa mendapat tawaran untuk menggoda suami bosnya. Apa yang harus Gadisa lakukan? Apakah dirinya harus menerima tawaran itu? Namun, bagaimana jika tanpa sengaja di hatinya tumbuh rasa suka pada Dikara? Apa dirinya akan menggoda Dikara Erlangga demi uang, atau demi perasaannya? Cover : Leonidas X Puspa Ayu
ดูเพิ่มเติม“LEPAS! LEPAS! JANGAN SAKITI PUTRIKU. AKU SAJA! SAKITI AKU SAJAAA!!!”
Suara teriakan dan tangisan itu terdengar nyaring bersamaan dengan suara barang-barang yang dibanting ke luar rumah. Dua pria bertubuh besar mengenakan pakaian serba hitam datang dan mengacaukan dagangan milik ibu Rike. Tak hanya dagangan, tapi juga seisi rumah kecil ibu Rike berantakan.
“KAMI MINTA SEPULUH JUTA HARI INI JUGA! KALIAN SUDAH MENJANJIKANNYA SEMINGGU YANG LALU! APA KALIAN MAU BERBOHONG LAGI?”
Tangis ibu Rike makin menjadi kala salah satu pria bertubuh besar itu menjambak rambut putrinya dan tadi, pria itu juga memukul wajah putrinya hingga berdarah.
“Saya mohon, lepaskan putri saya. Saya janji akan membayarnya, tapi beri saya waktu. Saya mohon.” Ibu Rike jatuh bersimpuh, menyatukan kedua tangannya─memohon belas kasih pada pria yang terus menyakiti anak perempuannya.
“MAU SAMPAI KAPAN KALIAN MEMBOHONGI KAMI? KAMI SUDAH MEMBERIKAN TENGGAT WAKTU YANG CUKUP AGAR KALIAN BISA MELUNASI HUTANG ITU. KAMI BUTUH UANG ITU HARI INI JUGA! ATAU BOS KAMI AKAN MEMBAWA PUTRIMU. PUTRIMU INI MASIH GADIS ‘KAN?” Pria itu tersenyum menyeringai dengan wajah yang sangat menjijikkan.
Ibu Rike bangkit, menyambar tangan pria yang semakin keras menjambak rambut putrinya. “AKU BISA MELAPORKAN KALIAN KE POLISI!” ancam ibu Rike berusaha melepaskan tangan pria itu dari rambut putrinya.
Pria dengan luka codet di dagunya dan rambut gimbal itu menyeringai. “Sebelum kamu melakukannya, bos kami akan membawa putrimu ini dan menjualnya.” Tatapan pria itu nyalang, persis binatang.
Tangisan ibu Rike tidak mampu membuat pria berwajah mengerikan itu memberinya belas kasih. Begitu pun dengan para tetangga yang hanya menonton dari kejauhan. Tidak ada satu pun dari mereka yang tergugah untuk membantu keluarganya.
Dari dalam rumah, suara barang dilempar semakin terdengar nyaring. Seorang pria membawa TV tabung jadul dari dalam rumah dan berkata, “mereka cuma punya TV jadul ini dan kulkas tua. Paling harga dua barang ini nggak sampai sejuta.”
Pria dengan luka codet di dagu itu melepaskan tangannya dan mendorong kepala Gadisa Asmarini, wanita malang yang merupakan putri ibu Rike. “Nggak berguna!”
“Maafin Ibu, Nak. Maaf…” tangis ibu Rike semakin menjadi. Ia menyentuh kedua pipi putrinya dengan tangan gemetar, namun… putrinya hanya diam, tidak berteriak, tidak menangis dan tidak berkata apapun.
Tak lama dua pria itu keluar dari dalam rumahnya sambil mengangkat kulkas tua milik mereka. Lalu pria bertopi berkata, “Ingat! Malam ini kalian harus melunasi hutang kalian atau kami akan membakar rumah kontrakan ini!” ancam pria bertopi sebelum mengajak temannya untuk pergi meninggalkan rumah ibu Rike.
Gadisa hanya diam, mematung di tempatnya. Riuh berbisik terdengar sampai ke telinganya. Apalagi kalau bukan tetangganya yang bergunjing.
Seperti mayat hidup, Gadisa masuk ke dalam rumah kontrakkan mungil mereka usai menatap nanar meja dagangan ibunya yang ludes tak bersisa. Semua yang ada di atas meja itu ditumpah, padahal mereka baru saja mengeluarkan dagangan mereka.
Masuk ke dalam rumah dan menggeser barang-barang berserakan, Gadisa merosot jatuh terduduk di lantai. Matanya masih menatap nanar, bingung ingin mengeluh seperti apa lagi pada Tuhan. Bingung menyusun kalimat keluhan atas apa yang terjadi padanya juga ibunya.
“Ibu minta maaf…” Ibu Rike jatuh terduduk di samping putrinya, memegang lengan kecil putrinya yang menatap kosong ke depan. Rambut putrinya acak-acakan. Di sudut bibir itu luka, sedikit berdarah akibat tamparan pria tadi.
“Ibu nggak bilang kalau mereka datang lagi,” lirih Gadisa tidak bertenaga.
“Ibu nggak mau kamu kepikiran.” Ibu Rike tertunduk, hanya bisa menangis.
“Ini rumah kontrakkan baru kita, Bu. Kita sudah janji mau bahagia. Masa kita harus pindah lagi, Bu?” suara Gadisa semakin lirih, serak.
Baru empat bulan mereka pindah ke rumah ini. Baru empat bulan hidup mereka tenang tanpa dikejar-kejar oleh rentenir dan baru empat bulan mereka lega tidak mendengar suara memaki dan tindakan mengerikan dari dua debt collector itu.
“Mereka datang sebulan lalu. Ibu nggak tau mereka dapat alamat kita dari mana. Ibu juga kaget kenapa mereka datang lagi.” Isakan ibu Rike semakin pilu. “Maafkan Ibu, Nak. Maaf membuatmu selalu susah.”
“Berapa uang yang dipinjam bapak ke rentenir itu?” Siapa lagi yang meminjam kalau bukan bapaknya. Siapa lagi orang yang selalu membuat hidupnya menderita kalau bukan bapak kandungnya sendiri.
“Dua belas juta. Mereka bilang bapakmu baru bisa bayar dua juta. Dan sekarang bapak kamu menghilang. Itu makanya mereka datang kemari.” Ibu Rike sudah muak dengan mantan suaminya itu. Sudah tiga tahun ini mereka pisah dan memutuskan bercerai karena sifat pak Roni yang tidak pernah berubah. Selalu berjudi, mabuk dan suka main perempuan.
Namun anehnya, setelah bercerai hidup ibu Rike tidak pernah tenang. Mantan suaminya itu selalu membebankan hutang-hutangnya pada anak gadisnya.
“Ibu harusnya nggak pernah menikahi pria seperti itu. Harusnya Ibu memilih pria baik untuk Ibu nikahi,” lirih Gadisa. Hatinya sakit, terluka, marah dan kecewa atas apa yang dilakukan bapaknya. Tidak pantas disebut bapak karena pak Roni begitu ringan tangan pada anak-anaknya. “Kenapa Tuhan sebaik itu menahan bapak di dunia ini? Kenapa nggak cepat dijemput aja, Bu. Biar kita bebas.” Gadisa terlalu kecewa. Tidak lagi memikirkan apa itu anak durhaka, ia ingin bapaknya cepat mati agar hidupnya tenang.
“Kamu nggak boleh bilang begitu.” Ibu Rike mengusap air matanya. Satu tangannya lalu terulur, mencoba menyentuh pipi putrinya.
“Ibu terlalu naif. Manusia seperti itu harus kita benci, Bu. Aku nggak durhaka hanya karena melawan manusia yang nggak pantas disebut bapak. Dia nggak pernah tanggung jawab sama kita. Taunya hanya judi, mabuk dan menyusahkan kita.” Bibir Gadisa bergetar. “Kenapa aku nggak punya bapak seperti yang lain, Bu? Yang sayang sama anaknya, yang perhatian, yang bisa dijadikan tumpuan.”
Ibu Rike menyambar tubuh putrinya, memeluk putrinya dengan erat. Gadis berusia 22 tahun itu harus menjalani takdir yang mengerikan. “Jangan pikirkan hutang bapakmu. Ibu akan berusaha mendapatkan uangnya. Ibu akan meminjamnya pada budhe Nur. Budhe mu pasti akan membantu kita.”
Gadisa mendengkus, perlahan menjauhkan tubuhnya dari pelukan ibunya. “Apa Ibu mau dihina lagi sama keluarga budhe? Apa Ibu mau dicaci maki oleh mereka lagi?” Gadisa menggeleng. “Ibu jangan ke sana. Aku pasti akan mendapatkan uangnya. Aku akan melakukan apapun dan pasti akan mendapatkan uang itu malam ini juga.”
“Gimana caranya, Nak?”
***
Gadisa melamun di depan cermin. Sudut bibirnya yang terluka tertutupi oleh cushion pemberian bosnya. Gadisa menarik napas panjang, merapikan rambutnya lalu dengan cepat menyambar tas yang ia taruh di area wastafel ketika salah satu pintu dari beberapa bilik di toilet itu terbuka.
Gadisa membalikkan tubuhnya, menunggu seorang wanita cantik berwajah kalem mendekat. “Kamu sudah makan?” tanya wanita bernama Miskha Maharini─bos Gadisa.
“Sudah, Mbak,” jawab Gadisa dengan anggukan kecil. Ia berbohong. Dirinya belum makan.
Miskha menyipit. “Yakin?”
Gadisa mengangguk. Ia tidak enak bila harus ditraktir makanan enak oleh bosnya. Miskha terlalu baik padanya. “Sudah kok, Mbak,” jawab Gadisa sedikit gugup.
“Oke… tapi kamu tetap harus temani aku sampai acara selesai. Aku nggak mau di sini sendirian.”
Gadisa mengangguk, menarik kedua sudut bibirnya dan semakin gugup. Bagaimana caranya mengatakan keinginannya untuk meminjam uang pada Miskha?
Miskha mengerutkan kening melihat Gadisa yang tampak aneh sore ini. “Ada apa, Dis?”
Gadisa menggeleng, ragu mengatakan keinginannya.
“Ada apa, Dis? Bilang aja,” ucap Miskha.
Gadisa membasahi bibirnya. “Mbak, apa aku boleh pinjam uang?” ucap Gadisa gugup dengan kedua tangan meremas tali tas milik Miskha yang dipegangnya.
“Berapa?” tanya Miskha.
“Sepuluh juta, Mbak.” Gadisa meringis.
“Buat apa, Dis? Kamu nggak kelilit pinjol ‘kan?” tanya Miskha khawatir.
Gadisa menggeleng. “Nggak, Mbak. Ada sedikit masalah,” jawab Gadisa tidak dapat memberitahu secara gamblang karena terlalu malu.
Miskha terdiam sesaat, seperti menimbang-nimbang. Lalu… “Aku bisa kasih kamu. Tapi dari pada nanti kamu bingung ngembaliin atau potong gaji kamu, gimana kalau kamu bantu Mona?”
“Bantu mbak Mona?” tanya Gadisa mengerutkan kening.
Miskha menggangguk. “Mona lagi butuh bantuan. Dia butuh seseorang untuk melakukan sesuatu. Apa kamu mau? Dia bilang, dia akan berikan berapa pun asal berhasil.”
Gadisa diam sejenak.
“Gimana? Mau?” tanya Miskha.
Gadisa mengangguk. “Mau, Mbak. Apapun itu, aku mau.” Pasti hanya pekerjaan mudah.
Namun ternyata…
“Kamu belum tidur, Dis?” Ibu Rike berdiri di ambang pintu kamar putrinya yang terlihat masih menyala lampunya. “Sudah jam satu ini, Dis.”Gadisa bengkit dari ranjang kayunya. Duduk di tepi, Gadisa belum bisa tertidur. Pikirannya masih tertuju pada Mikairo. “Ini mau tidur, kok, Bu,” jawab Gadisa tersenyum kecil.“Gimana tadi kejutan ulang tahunnya? Pasti seru, ya?” tanya ibu Rike mengayunkan langkah masuk ke kamar putrinya. Tadi, saat putrinya pulang, ibu Rike sudah terlelap dan baru saja terbangun karena ingin ke kamar mandi.“Mbak Miskha nggak datang, Bu. Kai sudah semangat ngasih kejutan, tapi ternyata mamanya nggak datang.” Pandangan Gadisa mengekor gerak ibunya hingga ibunya duduk di sampingnya.“Nggak datang? Kenapa? Sibuk?” tanya ibu Rike membayangkan sekecewa apa Mikairo. Apalagi ibu Rike tahu Mikairo anak yang selalu excited.“Nggak tau, Bu. Aku hubungi nggak diangkat lagi.”“Harusnya nggak boleh begitu. Apa mereka ada masalah?” tanya ibu Rike.Gadisa diam sejenak. Tanpa berma
Sepasang mata Gadisa tidak berpindah dari keranjang kotak yang terbuat dari bambu dan dihiasi kertas krep berwarna hijau dan diatasnya terdapat kerajinan tangan terbuat dari clay berbentuk bunga, rumah, lalu ada yang berbentuk pria dewasa, wanita dewasa dan juga anak laki-laki.“Ceritanya yang kertas hijau itu rumput, ya, Mbak?” tanya bik Lastri muncul dari belakang Gadisa.Gadisa menoleh. “Iya. Kata Kai, mau warna cokelat juga, tapi nanti mbak Miskha ngiranya tanah lumpur, soalnya mbak Miskha nggak suka becek. Jadi pakai kertas warna hijau aja, biar berasa di tanah berumput, Bik,” terang Gadisa menjelaskan pemikiran jenius Mikairo dalam pembuatan kerajinan tangan untuk dihadiahkan pada Miskha.Bik Lastri duduk di bawah memandangi kerajinan tangan cantik yang diletakkan di atas meja di ruang tengah. “Bagus, ya, Mbak. Kalau Bibik yang dapat hadiah ini, pasti terharu sekali.”Gadisa yang duduk di atas sofa, berpindah duduk di lantai. Gadisa tersenyum memandangi hasil kerajinan tangan bu
Di balik apronnya, Gadisa menyiapkan bekal untuk Mikairo bawa ke sekolah. Ada telur gulung, lalu nasi yang dibentuk bola-bola kecil, juga ada tempura dan terakhir ada tumis brokoli sebagai sayurnya. "Kayaknya enak banget. Kalau Bibik nggak kreatif. Bibik bisanya masak itu-itu aja. Kalau masakan tradisional, Bibik jagonya," ucap bik Lastri melongok hasil masakan Gadisa yang telah ditaruh dalam kotak bekal. "Bibik selalu bingung mau masakin apa buat bekalnya Kai. Saya jadi ngerepotin Mbak Gadis.""Nggak, kok, Bik. Saya ada waktu luang hari ini. Nggak terlalu sibuk di rumah, jadi ke sini dulu untuk bikinin Kai bekal." Tidak enak bila Gadisa mengatakan jika kemarin bekal yang dibawakan bik Lastri tidak habis dimakan. "Itu Mbak bikin banyak buat pak Dika?" tanya bibik melihat masih ada satu piring tempura, tumis brokoli dan telur gulung."Oh, nggak, Bik. Buat sarapan Kai sama kalau Bibik mau, silakan. Saya nggak tau seleranya pak Dika apa." Gadisa kemari hanya untuk menyiapkan sarapan se
"Mas nggak boleh ngomong gitu lagi, ya. Mas 'kan tau aku kerjanya selain ngurusin keperluan mbak Miskha, aku juga ngurusin Kai. Dia sedih mamanya selalu sibuk, dan semenjak aku bawa ke sini, dia seneng banget. Jadi Mas nggak boleh ngomong gitu lagi." Baru saja Mikairo dijemput oleh Dikara di depan gang. Tadinya mau meminta Dikara untuk mampir, sekedar basa-basi. Tapi melihat kakaknya tadi bicara sembarangan di depan Mikairo, Gadisa jadi khawatir kalau kakaknya akan bicara sembarangan lagi di depan Dikara nantinya. "Ta-tapi ma-sa kamu bawa ke sini. Me-memangnya ibunya ke-mana?" Bagi Lanang, yang namanya seorang ibu harus merawat anaknya. Bukan diserahkan pada orang lain. "Mamanya sibuk, Mas. Kalau di rumah nggak ada temen sebayanya, jadi aku bawa Kai ke sini biar bisa main sama anak tetangga kita." Gadisa menoleh ke arah kakaknya yang duduk di sampingnya. Saat ini, mereka ada di teras rumah, duduk tepat di belakang meja etalase jualan ibunya. Malam ini terang, sebab bulan b
"Sudah mandinya?" sambut Gadisa di depan pintu kamar mandi. Anak laki-laki berusia enam tahun itu keluar dengan handuk yang sudah terlilit di pinggulnya. Sangat rapi sampai Gadisa tersenyum dibuatnya. "Pinter banget. Seger nggak airnya?" tanya Gadisa lagi setelah pertanyaan pertama mendapat anggukan dan senyuman dari Mikairo. "Seger. Enak mandi sore-sore pakai air dingin. Besok Kai mau mandi pakai air dingin lagi, ya, Tante," pinta Mikairo yang selama ini selalu mandi pakai air hangat. "Boleh," angguk Gadisa membawa Mikairo menuju kamarnya untuk memakai pakaian. Hari ini sengaja Gadisa tidak merebuskan air seperti kemarin sore karena hari ini cuaca begitu terik. Jadi menurutnya tidak masalah mandi menggunakan air dingin. Toh akan sangat segar. Dan ternyata Mikairo menyukainya. Gadisa membawa Mikairo duduk di di lantai berkarpet lalu mendekatkan tas berisi baju ganti Mikairo. Sama seperti kemarin, Mikairo membawa dua setel pakaian ganti. Yang satu dipakai setel
Sepasang mata Miskha membeliak. "Mas ngapain disini?" tanyanya tak suka melihat kehadiran Dikara di salonnya. Tak ingin menjadi bahan tontonan, Dikara menarik pergelangan tangan Miskha, lalu membawa sang istri menuju ke tempat yang lebih sepi. Gadisa segera menyingkir usai menutup pintu ruangan Miskha untuk turun ke bawah. "Ini pertama kalinya suaminya mbak Miskha ke sini? Atau aku aja yang baru tau, Dis?" tanya Vera penasaran. "Udah, nggak usah dibahas. Bukan urusan kita," ucap Gadisa mencoba mengakhiri pembicaraan mengenai Miskha dan Dikara. Selain karena tidak sopan, Gadisa tak mau ada yang mendengarnya. Terlebih Miskha atau Dikara. Bisa jadi masalah nantinya. "Tapi suaminya mbak Miskha ganteng abis, ya?" Vera mendekati Gadisa yang berjalan ke area penataan rambut. "Bohong kamu. Katanya kamu nggak pernah liat. Buktinya tadi suaminya mbak Miskha nyariin kamu kok." "Nggak perlu dibahas, Ver. Nggak inget tadi gimana mbak Miskha negur kamu? Mbak Miskha ngga
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
ความคิดเห็น