Share

Bagian 2

Ketiga pria itu tidak berhasil menemukan pria pertama yang Mayumi lihat. Mereka kini sudah pergi entah ke mana. Mayumi tidak mau peduli, mala mini hidupnya terlalu kacau untuk mengikuti masalah orang lain. Mayumi meraup wajahnya, menarik napas dalam-dalam lalu kembali berjalan menyusuri trotoar. 

“Aku harus bagaimana sekarang?” gumam Mayumi.

Mayumi memasang wajah menyedihkan. Raut wajah cantik kini sudah kusam penuh keringat dan pasti sangat lengket.

“Kemari kamu!”

“Astaga!” Mayumi jatuh terserembab masuk ke dalam semak saat seseorang menarik tangannya secara tiba-tiba.

Kedua mata Mayumi menatap seseorang pria yang posisinya kini sedang berada di bawahnya.

“Oh, astaga!” umpat Mayumi lagi. Mayumi buru-buru mundur menjauh, tapi satu kakinya bisa digapai oleh pria itu.

“Tunggu dulu!”

“Lepaskan aku!” Myumi sudah terlanjur panik. “Aku akan berteriak kalau kamu tidak melepaskan kakiku!”

Mayumi sudah membuat corong dengan kedua tangannya, dan mulutnya sudah hampir terbuka.

“Aku sedang kesakitan.”

Bibir itu kembali mengatup dan Mayumi urung meyerukan suaranya. Mayumi kini menunduk menatap pria itu yang sedang meringis sambil memegangi bagian perutnya.

Oke, pria ini sepertinya memang sedang kesakitan. Oh, tunggu dulu! Bisa jadi dia sedang pura-pura?

Mayumi sudah ingin kambur dengan gerak perlahan, tapi lagi-lagi pria itu menarik kakinya.

“Aku mohon. Tolong aku. Aku akan bayar berapa pun yang kamu mau.”

Mayumi tertegun beberapa saat. Berapa pun itu berapa? Dengan bodohnya Mayumi mulai menebak-nebak.

“Berapa pun?” tanya Mayumi dengan polosnya.

Sambil menahan sakit, pria itu mengangguk. Aku punya banyak uang. Sekali pun membeli dirimu, aku pun mampu.”

Seketika Mayumi menaikkan satu ujung bibirnya dan mendelik tajam. Angkuh sekali pria ini. Dia sedang kesakitan dan penuh darah, tapi masih bisa menyombongkan diri. 

“Plis! Aku sudah tidak tahan lagi. Aku sudah kehilangan banyak darah.”

Mayumi mulai toleh sana-sini dan mengangkat sedikit kepalanya untuk memantau keadaan. Kemudian, Mayumi kembali terduduk dan menatap pria yang belum diketahui Namanya itu.

“Oke, sekarang aku harus apa?” tanya Mayumi.

“Pesan saja taksi online.”

“Oke.”

Mayumi merogoh tasnya lalu mengambil ponselnya dan segera memesan taksi. Sambil menunggu taksi datang, diam-daim Mayumi mengamati wajah yang sedang meringis menahan rasa sakit itu. Wajahnya tampan, tidak ada jerawat sepertinya, tapi dari sorot lampu yang tidak terlalu terang Mayumi melihat ada luka di ujung bibirnya. Apakah ada hubungannya dengan ketiga pria tadi?

Tidak lama kemudian taksi yang dipesan pun datang. Dengan dibantu sopir taksi, Mayumi memapah pria itu masuk ke dalam mobil.

“Mau diantar kemana, Nona?” tanya si sopir.

Mayumi menoleh kearah pria itu. “Kemana?”

Pria itu menyebutkan sebuah tempat di mana Mayumi belum pernah mendengar letaknya ada di mana, tapi sepertinya sang sopir sudah tahu.

Mobil pun melaju dengan kecepatan cukup tinggi. Hal itu dilakukan karena pria itu sudah semakin kehabisan tenaga.

“Apa tidak sebaiknya ke rumah sakit saja?” tanya Mayumi. “Kamu sudah kehilangan banyak darah.”

“Tidak usah,” tegas pria itu.

Dan sekitar setengah jam perjalanan, mobil taksi memasuki sebuah Kawasan jalan setapak yang di kelilingi pohon pinus sepanjang jalan. Suasana di depan sana tampak sepi dan menyeramkan karena tidak ada sama sekali mobil yang melintas atau lampu penerangan jalan. Ada lampu jalan, tapi jaraknya cukup jauh dari masing-masing lampu yang terpasang.

Semakin jauh ke dalam, hawa dingin mulai terasa menusuk. Mayumi merasakan dadanya berdegup kencang dan badannya gemetaran panas dingin. Namun, sekitar lima menit kemudian, di depan sana terlihat sebuah rumah besar bak istana dengan lampu yang bersinar terang di bagian gerbang.

Apa itu? Istana?

Mayumi sedikit mencondongkan badan mengamati ke luar sana. “Apa itu rumahmu?” tanyanya.

Tidak lama setelah itu, mobil pun berhenti di depan pintu gerbang. Pria itu menarik baju Mayumi, spontan Mayumi menoleh.

“Turun dan tekan tombol bellnya.”

Tanpa pertanyaan, Mayumil langsung turun. Mayumi terlalu penasaran dengan rumah besar bak istana yang sekarang berada di hadapannya itu. Sambil melongo dan terkagum-kagum, Mayumi berdiri sambil memegang ring gerbang itu. Saking takjubnya, Mayumi samapai lupa kalau di dalam mobil ada orang yang hampir sekarat.

“Hoi, ayolah! Aku kesakitan di sini!” hardik pria itu saat kaca jendela taksi terbuka.

Seketika Mayumi terlonjak kaget dan langsung buru-buru mencari letak bell lantas menekannya beberapa kali. Tidak perlu menunggu lama, tiba-tiba gerbang itu terbuka dengan sendirinya. Mayumi yang masih berdiri di sana seketika terlonjak sampai berjinjit dan mengusap dadanya.

“Masuk saja, Pak.”

Taksi itu melaju secara perlahan hingga berhenti tidak jauh dari pintu masuk utama. Sementara Mayumi, dia masih sibuk menyapu pandangan seperti orang bodoh yang kebingungan.

“Astaga, Tuan Frans!” Dua orang ber jas hitam sigma mengahmpiri dan langsung membatu Frans turun dari mobil. Salah satu dari mereka memanggil pelayan lain untuk ikut membantu. Dari depan pintu gerbang yang masih terbuka, Mayumi berdiri mengamati mereka-mereka yang sudah heboh membantu Frans. Ada sekitar sepuluh orang yang sibuk mondar-mandir membantu. Dan dengan santainya, Mayumi berjalan mendekat dan sebatas mengawasi saja.

“Maaf, Nona siapa.” Satu pelayan Wanita menghentikan langkah Mayumi yang hendak ikut masuk ke dalam rumah.

Mayumi tampak bingung. “Em, aku … aku datang bersama Tuan itu. “ Mayumi menunjuk ke arah Frans yang sudah di dorong menggunakan kursi roda entah ke ruangan mana.

Para pelayan itu saling pandang lalu menarik Mayumi masuk ke dalam sebelum akhirnya pintu lebar dan menjulang tinggi itu tertutup rapat.

Astaga! Ini memang sebuah istana. Mayumi tidak berhenti terkagum-kagum. Di dam rumah ini sangat mewah. Ada jam besar yang terbuat dari kayu, ada juga patung besar seorang yang sepertinya seorang pangaraen dan ratunya. Dan masih banyak lagi yang tidak akan habis untuk dikagumi.

“Beri Wanita itu kamar,” ucap Frans seraya berbaring di atas ranjang.

“Wanita yang mana, tuan?”

“Dia pasti ada di bawah. Suruh saja pengawal menyiapkan kapar dan pakaian untuknya.”

“Baik, Tuan.” Mereka berempat mengangguk. “Saya juga sudah panggilkan dokter untuk segera datang.”

Frans menganggguk. Sementara dua penjaga sudah ke luar dua penjaga lain mulai mengelap luka Frans. Sudah banyak darah yang ke luar, dan kalau bukan Arkan kemungkinan besar sudah pingsan. Namun, sepertinya luka di bagian perut yang tidak jauh dari pinggangnya ini tidak terlalu serius. Untungnya peluru itu melesat dan hanya sekedar menyerempet saja.

Frans menyelesaikan maslah ini besok. Rasa sakitnya saat ini harus segera terbalaskan.

“Memang sialan!” hardik Frans.

“Apa pelakunya Tuan Jeff?” tanya Leo.

“Bisa jadi. Orang itu sungguh gila! Jelas-jelas aku tidak ada hubungan dengan Wanita itu, tapi pria tua bangka itu terus memaksa.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status