Share

Bagian 3

Mayumi sudah dikawal tiga pelayan masuk ke dalam sebuah kamar. Begitu masuk ke dalam, Mayumi kembali tercengang. Kamar ini sangat luas, dan kemungkinan berukuran lebih dari lima kali lima meter. Tepatnya lebih luas dari tempat tinggal Mayumi saat ini.

“Oh, astaga!” pekik Mayumi tiba-tiba. Mayumi menoleh dan tiga pelayan itu sudah ke luar meninggalkan kamar tersebut usai meletakkan perlengkapan untuknya, seperti handuk, sabun dan juga pakaian bersih.

Mayumi menggigit bibir dan celingukan seperti orang kebingungan.

“Aku sampai melupakan ibuku. Bagaimana ini?” Mayumi berdecak dan mendesis bingung.

Mayumi bergidik lantas berjalan menuju pintu yang sudah tertutup itu. Mayumi berdiri di sana karena ragu untuk ke luar. Rumah ini sangat besar, untuk sampai di kamar ini saja membutuhkan waktu karena ada beberapa belokan dan Lorong. Belum lagi Mayumi ingat kalau pelayan begitu banyak dan juga para pengawal pria itu.

Setelah beberapa berpikir, Mayumi akhirnya memutuskan untuk ke luar. Perlahan ia membuka pintu supaya tidak menghasilkan suara. Begitu kepalanya menyembul, Mayumi toleh sana sini memastikan keadaan sekitar.

Sial! Bagaimana aku bisa terjebak di rumah sebesar ini?

Mayumi masih memantau keadaan berharap tidak ada siapa pun.

Ketika sudah merasa aman, Mayumi mulai melangkahkan kaki dengan sangat hati-hati. Ketika sudah melewati satu ruangan, Mayumi berdiri sambil garuk-garuk tengkuk. Tempat ini sungguh membingungkan seperti labirin yang kebanyakan orang tidak akan bisa ke luar darinya.

“Aku harus ke mana sekarang?” decak Mayumi sambil menghentakkan kaki.

Tersadar hentakan kakinya menimbulkan suara, spontan Mayumi menurunkan kepala dan mendaratkan satu telapak tangan pada mulutnya. Masih sambil sedikit membungkuk, Mayumi menoleh kearah belakang. Tidak ada siapa pun di sini, Mayumi kembali berdiri tegak dan mengusap dada.

“Nona?”

“Astaga!”

Mayumi menjerit sampai melompat kecil saat tiba-tiba sudah ada seorang pelayan saat kembali berbalik badan.

“Nona sedang apa di sini?” tanya pelayan itu.

Mayumi tampak gugup dan bingung. Ia sendiri juga bingung harus apa saat ini. Ia harus kembali pulang, tapi bagaimana caranya? Dan di mana pria yang terluka itu?

“Nona”? tegur pelayan itu.

“Oh, iya, maaf.”

“Ada yang bisa saya bantu?”

Mayumi mengamati pelayan itu mulai dari atas hingga ke ujung kaki. Dari tampilan dan cara bicaranya sepertinya pelayan ini sangat baik.

“Em, bolehkan aku bertemu Tuanmu?” tanya Mayumi.

Pelayan itu tersenyum. “Tuan Frans sedang diperiksa oleh dokter. Nona bisa menunggu.”

Oh, jadi Namanya Frans? Ck, seperti anak seorang pangeran saja. Mayumi tidak sadar sudah meringis dan cekikikan sendiri.

“Nona, apa ada yang salah?”

“Oh, tidak.” Dengan cepat Mayumi berdehem dan mengangkat wajah tegak. “Kalau begitu, di mana aku harus menunggu? Ini sudah malam, aku tidak mau ibuku khawatir di rumah.”

“Maaf, Nona, tunggu saja sampai Tuan Frans, datang.”

Mayumi membuang muka sambil berdecak. Kalau sudah begini, tidak mungkin Mayumi bisa pulang, dan lagi rumah ini jauh dari pusat kota. Mayumi ingat betul jalanan yang ia lalui penuh dengan pepohonan besar dan berhawa dingin seperti di tengah hutan. Rumah ini bukan terletak di pemukiman atau perumahan pada umumnya.

Pelayan itu mengantar Mayumi ke ruang tengah di mana ada tv besar dan juga tempat duduk keluarga di belakangnya. Ada dinding kaca yang memperlihatkan bagian luar sana yang sepertinya sebuah taman dan tempat olah raga.

“Nona tunggu saja di sini. Saya ambilkan makanan dulu.”

Mayumi mengangguk.

“Tunggu!” cegah Mayumi sebelum pelayan itu pergi ke belakang.

“Iya, Nona. Ada apa?”

“Maaf bisa beri tahu nama kamu siapa? Supaya aku tidka bingung saat memanggilmu.”

Pelayan itu tersenyum ramah. “Panggil saya Liana.”

“Oh, Baiklah, Liana.”

Tidak lama setelah Liana pergi ke belakang, sekitar dua lima menit kemudian kembali dengan membawa nampan berisi  segelas minuman dan beberapa potong roti.

“Silakan, Nona.” Liana meletakan nampan itu di atas meja.

Mayumi tersenyum seraya sedikit meringis. “Terima kasih.”

Roti potong itu sungguh menggiurkan sekali. Mayumi yang memang sedang lapar sudah menyapu lidah dan menelan ludah. Dan Ketika Liana sudah berlalu pergi, sudah tidak tahan lagi, Mayumi mengambil dengan cepat satu potong roti itu dan langsung menggigitnya. Rasa lapar dan lezat yang menyatu, membuat mulut Mayumi terlihat penuh.

“Astaga, ini enak sekali!” mulut masih penuh tapi Mayumi tetap bicara.

“Ekhem!”

Mayumi spontan mendongak dan seketika ia telan paksa roti yang masih di dalam mulutnya itu. Seseorang berjas hitam dengan kulit coklat sudah berdiri di hadapannya dengan tatapan tajam. Mayumi sungguh takut hingga tenggorokannya terasa sesak karena roti yang ia telan.

“Tuan Frans meminta anda datang,” kata pria itu,

Sekali lagi Mayumi menelan ludah dan tersenyum kaku.

“Mari satya antar.”

Pria itu menjulurkan tangan mengarah ke sebuah pintu dengan beberapa tombol di sampingnya. Apa itu pintu lift? Mayumi kembali dibuat terheran-heran. Gila! Rumah ini besar dan sangat modern.

Sampai di lantai atas, Mayumi ikut kemana langkah pengawal itu berjalan. Dan Ketika sampai di sebuah pintu paling ujung, pengawal itu berdiri meyamping sementara satu tangannya memutar knop pintu. 

“Silakan, Nona. Tuan Frans sudah menunggu.”

Mayumi mengangguk lantas masuk ke dalam. Fiuh! Tubuhnya mendadak gemetaran. Saat ini Myumi berada entah di mana dan bersama siapa, yang jelas mereka semua adalah orang asing yang pastinya tidak tahu asal-usulnya. Mau bagaimana pun, niat Mayumi hanya ingin menagih bayaran yang sudah dijanjikan Frans sebelum sampai di sini.

Begitu sudah masuk, Mayumi melihat Frans sedang berbaring di atas ranjang dengan bantal yang sedikit tersusun lebih tinggi di bagian kepala dan punggung.

“Bagaimana keadaan kamu?” tanya Mayumi.

“Seperti yang kamu lihat,” jawabnya.

Memang aku melihat apa? aku jelas tidak tahu bagaimana kondisinya saat ini.

Mayumi melangkah semakin maju hingga lebih dekat dengan ranjang.

“Ok, Mayumi, ini saatnya. Kamu harus segera pergi dari rumah ini, tapi kamu harus mendapatkan bayaranmu dulu,” batin Mayumi.

“Terimakasih,” ucap Frans.

“Hm.” Mayumi sedikit mengangkat dagu.

Mayumi bingung harus mulai dari mana untuk membicarakan perjanjian tidak resmi itu, tapi kalua diam saja juga akan percuma.

“Maaf, aku harus segera pulang. Ibuku pasti mencariku.”

“Kamu yakin ingin pulang? Ini sudah sangat larut.”

Mayumi mengangguk. “Aku tidak mau ibu mengkhawatirkanku.”

Frans mendecih dan membuang mata jengah. “Memang ada seorang ibu yang benar-benar mengkhawatirkan anaknya, ha?”

Kening Mayumi berkerit mendengar kalimat itu. “Apa maksud kamu?”

Frans kembali menatap Mayumi. “Yang kutahu, ibu hanyalah orang yang suka memaksa dan menuntut.”

Mayumi tidak menyukai kalimat itu, itu terdengar sangat kasar meskipun harusnya biasa saja. Mayumi dibesarkan oleh ibunya penuh kasih sayang dan tidak pernah ada paksaan sedikit pun. Bagaiman orang ini bisa dengan entengnya bicara seperti itu.

“Aku tidak peduli bagaiman ibumu bersikap, tapi ibuku tidak begitu. Aku hanya ingin pulang saat ini, dan kumohon beri aku apa yang sudah kamu janjikan.”

Frans tersenyum setengah menyeringai. Ia menatap Mayumi mulai dari ujung kepala dan kaki. Sungguh kumuh dan seperti tidak terawat. Pakaiannya tampak begitu murahan.

“Dasar Wanita! Semua memang sama, sama-sama penggila uang,” cibir Frans dengan suara lirih.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status