Ruangan itu masih remang dengan sumber cahaya lampu kecil dan sinar matahari senja. Ucapan Rangga yang terakhir kalinya berhasil membuat Devi terdiam membisu. Di binggung harus bahagia atau malah sebaliknya.
“Sebenarnya apa maumu?” Devi melangkah kemudian menjatuhkan badannya kebokong.
Rangga ikut duduk disamping Devi sekilas kedua bola matanya menatap Devi yang teramat kacau. “Jika aku katakan apa mauku apa kamu akan mengabulkannya?”
Devi menoleh. “Apa harus aku?”
“Hanya kamu yang bisa.”
Detik itu juga jantung Devi merasakan getaran hebat sebagai wanita dewasa tahu betul arah pembicaraan Rangga.
Kini Rangga yang menatap wajah Devi. “Aku sayang sama kamu.”
“Apa?” Devi memastikan apa yang ia dengar adalah kekeliruan.
Namun Rangga enggan menjawab, justru tangannya meraih jemari Devi kemudian meremasnya pelan. “Maaf aku
Di meja makan seperti malam sebelumnya, Dewi menyiapakan malam dan Devan duduk tenang di meja makan seperti anak sekolah yang memperhatikan guru menerangkan materi. “Mas, aku hari Minggu sudah janjian sama dokter kalo Mas, ngak sibuk anteri ya!” Dewi meletakan dua piring nasih putih yang masih mengepul. Devan menatap istrinya kemudian mengakat jempolnya. “Siap komandan!” Dewi yang gemas dengan suaminya lantas membungkukan badan di hadapan Devan. “Cium dulu kalo gitu!” Pipi Dewi sudah berada tepat di wajah Devan. Dua kali ciuman selama sedetik membasahi bibir Dewi lalu dirinya melangkah ke kulkas mengambil air dingin. Kali ini Dewi begitu berbungga-bungga Devan telah kembali ke dirinya yang dulu. Kehilangan Jessy membuat Devan begitu bersemangat untuk melakukan progam hamil. Bangkit dari rasa terpuruk yang mengerogoti mentalnya dalam waktu dua bulan. Di situl
Perlahan Devi mendorong tubuh Rangga dengan ujung piring yang berisi melon dan semangka yang ia bawa. Devi tak akan membiarkan ciuman itu terjadi meskipun dalam hatinya menginginkan hal itu lagi. “Oh ... sory aku hanya bercanda!” Rangga mundur selangkah kemudian tersenyum sambil menatap Devi dengan sendu. Devi berlalu begitu saja tak perduli dengan celoteh Rangga. Jelas lelaki itu tidak bercanda. Semua tampak nyata, dengan sengaja memhimpit tubuh Devi kemudian dengan manis mencoba mencicipi kembali bibir Devi. Handai saja dirinya tidak mendorongnya, pasti ciuman itu akan terjadi lagi, pikir Devi. Pertemuan demi pertemuan terus terjalin di cela-cela kesibukan mereka. Semakin dekat semakin erat. Rangga yang mempu mengisi hal-hal manis, konyol dan mengundang kerinduan yang membuat Devi tersiksa jika beberapa hari tak bertemu. Atau sehari tanpa kabar. Dua orang tersiksa dalam hubungan entah
Wajah Devan tertunduk lemas, dengan detak jantung bergetar hebat. Kenyataan yang ia terima benar-benar seketika membuat dunianya seakan ambruk. Jemari Dewi bergerak perlahan ke punggung tangan Devan, meremasnya dengan kuat. Berharapan suaminya kuat menerima garis takdir yang diluar dugaan. “Tenang saja Pak Devan itu bisa diobati.” Dokter itu coba menghibur pasien yang ada di hadapaanya.Devan tak menjawab apa pun, bibirnya keluh. Hanya Dewi yang mampuh menjawab ucapan dokter. Dengan jawaban singkat.“Oke nanti kita lihat hasil tes sperma Pak Devan untuk memastikan semua. Mungkin minggu depan hasil lep keluar.” Dokter itu menarik selembar kertas dan menulis sesuatu. “Saya kasih resep vitamin untuk kalian.”“Terima kasih Dok. Berarti kita boleh pulang?” Bibir Dewi berusaha mengulum senyuman sambil tangannya meraih lembaran kertas.&nbs
“Selamat siang? Bolehkah aku masuk?” tanya Rangga dengan kuluman senyum teramat manis.Wajah putih Devi berubah menjadi semu merah. Kaget bercampur rindu telah menjadi satu. Sudah seminggu tak bertatap muka dengan kekasih, karena urusan duniawi kini pria itu telah berdiri gagah.“Wah, baru aja diomongin!” ucap Susi sambil berdiri. “Ya udah aku mau keluar dulu, ada pasien yang mau aku priksa.” Susi bohong. Padahal itu hanya alabi untuk memberikan kesempatan pada sepasang kekasih untuk membayar rindu.Devi berdiri dan Rangga melangkah menghampiri lalu mengecup kening Devi. Mereka berpelukan saling melepas rindu. Berkali-kali Rangga mencium pipi Devi yang membuat sensasi geli saat bulu tipis dan tajam di area wajah Rangga bertemu dengan kulit Devi.“Bulu halus ini membuatku geli.” Jemari Devi meraba bulu halus yang tubuh diarea bibir Rangga.
Tepat enam puluh menit akhirnya seorang dokter yang masih mengenakan baju operasi warna hijau daun tua membuka pintu, mengatakan jika operasi berjalan lancar. Meskipun ada sedikit masalah namun bisa diatasi.Dengan sigap perawat mendorong tempat tidur Devan menuju ruang rawat inap. Dewi melangkah dengan wajah sumeringah lengkap dengan tetes air mata di sudut mata, penuh haru.Devan tersenyum memandang wanita yang setia duduk di sebelahnya. Pandanganya begitu teduh bak rembulan kala purnama. Dari wajah Dewi terpancar sesuatu yang berbeda, cinta, kesetiaan, ketulusan dan penghormatan semua terletak pada Dewi.Meskipun kadang kala seperti bocah, tapi dari situlah Devan menemukan sesuatu yang dimiliki dari seorang anak kecil. Ketulusan. Entah mengapa baru sekarang Devan merasakan begitu besarnya cinta Dewi padanya. Ke mana saja selama ini baru menyadari hal itu?Dialah wanita yang paling menerima kondisi Devan.
Di dalam mobil yang Devan kendarai hanya terdengar suara derung mobil dan bising suasana jalan siang itu. Sesampainya di rumah Devan melangkah melewati pintu dengan gontai lalu merebahkan badan di sofa halus ruang tamu. Sedangkan Dewi berjalan kearah dapur mencari minuman segar di kuklas. Diraihnya jus dalam kemasan kotak rasa jambu biji kemudian dituangkan kedalam gelas. “Minumlah Mas!” ucap Dewi sambil duduk di sebelah Devan. Devan kemudian meraih segelas jus dari tangan Dewi kemudian mencicipi sedikit. “Terimakasih,” ucap singkat Devan. Kesegaran jus jeruk nyatanya tidak berefek dengan suasana hatinya sekarang. Cemas, sedih, kalut telah tercampur rata memenuhi isi kepala Devan. “Aku akan hubungi beberapa teman dan mencari informasi ke teman-temanku dokter, Mas.” Dewi duduk tepat di samping Devan, kemudian memeluk dan bersandar tepat di bahu Devan. Keesok harinya Dewi dengan semangat duduk di atas ranjang kamar menunggu Devan keluar dari kamar mandi. Tanpa basa basi saat suaminya
Devi merapatkan tangannya di atas dada sambil menatap Jessy dan Rangga bermain lempar bola di halaman belakang. Hatinya kembali kacau ketika mengetahui Devan menghubungi Rangga. Sebenarnya hal yang wajar seorang kakak telfon adiknya. Tapi bagi Devi itu hal yang mengusiknya. Itu tak biasa.Terlebih lagi Devan menghubungi hingga lima kali panggilan. Jika waktu bisa diputar mungkin lebih baik dirinya tak membuka ponsel Rangga. Agar tak melihat yang tak seharusnya.Rangga melambaikan tangan. Isarat untuk mengajak Devi bergabung. Tapi Devi tak bernafsu.“Aku akan buatkan minuman untuk kalian.”“Ide bagus!” Rangga mengakat kedua jempolnya diikuti Jessy. Sesaat Devi meletakan jus jeruk lengkap dengan es batu yang menyegarkan. Jessy dan Rangga berlari menghampiri meraih gelas masing-masing. Rangga menhabiskan jus jeruk seketika itu juga. Dan Jessy men
"Lebih baik kita pulang saja Rangga." Tatapan Devi ke arah jalan, dengan segala pikiran yang berkecamuk. "Bahkan kamu lama sekali tidak berkunjung ke apartemen, sekali-kali kita bisa bersantai di sana." Mulut Devi bungkam, berfikir alasan apa yang masuk akal agar pria ini mau mengikuti kemauannya. Tapi belum sempat otak bekerja, lagi-lagi ponsel Rangga kembali berdering dengan panggilan yang sama. Semakin mengusik pikiran Devi. “Udah angkat aja!” ucap Devi lemas. “Bentar lagi sibuk.” “Aku jadi curiga?” Devi sengaja membuang muka tak ada keberanian menatap wajah pria di sampingnya. “Maksutnya apa?” “Jangan-jangan aku dijebak.” Tanpa menjawab Rangga langsung tahu apa maksud kekasih. Ia perlu melakukan sesuatu untuk membuktikan jika praduga Devi itu salah. Perlahan mobil itu berhenti. Rangga meraih ponsel lalu menelfon balik Devan. “Iya Mas." "Kamu di mana? Susah sekali terima telfon." Terdengar jelas suara Devan. "Maaf sebentar lagi dijalan. Nanti aku telfon lagi ya!” "Ya