Dua bola mata Devi kembali menangkap sesuatu yang tidak asing baginya. Pria yang baru saja menghardiknya berhenti di sebuah warung kopi dan bersama wanita sekitar umur dua puluh tujuh tahun, dua kali lipat umurnya.
Wanita itu tampak cantik dengan rambut pirang dibiarkan terurai begitu saja, bibirnya pun berwarna merah cabai. Dengan rok mini, betis yang indah dibiarkan telanjang, sedangkan bagian atasan hanya mengenakan tang top warna hijau muda, menampakan dua gundukan yang sangat menawan.
Rasa penasaran tak terbendung, Devi memutar stir lalu berhenti di bahu jalan. Bagai seorang intel mata Devi tajam memangsa. Orang yang pantau masih berdiri di samping motor yang terparkir halaman warung kopi, sambil asik berbicara dengan wanita itu. Sesekali wanita itu menyentuh manja bahu pria itu dan sebaliknya dengan gemas pria itu mencubit pipinya
Telihat warung itu nampak biasa, penerangan hanya dengan lampu remang-remang. S
Hallo semua! Jika kalian suka dengan karya saya, kalian bisa baca di amplikasi INNOVEL atau Dreame dengan nama pena SUCI LARASATI berjudul Dendam Goman. Ceritanya tak kalah seru loh! Oh ya jangan lupa kasih bintang lima ya dan Gem biar sebagai bentuk apresiasi untuk saya. Terimakasih.
Beberapa hari telah berlalu, Devi seperti bocah yang baru saja keluar dari dalam tubuh ibunya. Mulai hidup baru di dunia yang masih sama. Yang berbeda kini hanya tanpa perhatian, tingkah manis dari seorang pria bernama Rangga.Yang sulit bukan melepaskan Rangga, akan tetapi menghapus bayang-bayang pria itu dari setiap detik hidupnya. Jika dahulu tiap menit diisi oleh Rangga, meskipun mereka sedang tidak bersama. Pria itu akan selalu mengirim pesan atau foto yang bertingkah seperti remaja. Yang membuat Devi selalu tertawa,Dialah orang yang selalu mengagalkan dietnya. Dengan mengatakan “Makanlah sesukamu selagi kau sehat. Jika kau sakit dokter melarang semua makanan enak masuk ke tubuhmu.”Bahkan jika sering memuji tubuh Devi. “Tidak usah diet, aku suka kau yang berisi.”Bagi Devi ucapan itu sedikit mesum, tapi ia akui ucapan itu membuat dirinya melambung merasa dihagari dan di
Setelah mengetahui siapa sosok ayah Jessy yang sebenarnya, hal pertama yang ingin Devi lakukan adalah bertemu dengan Goman. Dan menceritakan semua yang terjadi setelah peristiwa gila malam itu.Saat pria itu mengantarnya ke kamar hotel hingga terkapar bersama dengan nafsu hewan Goman.Devi akan mengatakan dengan jujur jika Jessy adalah darah daging Goman. Kalau pun Goman tak percaya, Devi bersedia Jessy harus menjalani tes DNA.Bukan untuk menuntun sebuah pertanggung jawaban atau pengakuan jika gadis kecil itu anaknya. Akan tetapi menurut Devi dengan alurinya sebagai seorang ibu, hak Jessy sebagai seorang anak untuk tahu dan bertemu dengan ayah kandungnya.Namun, semua rencana itu berubah total kala mengetahui pria itu akan segera menikah. Devi sendiri tak ingin menciptakan masalah baru.Tidak itu saja, citra buruk pasti akan jatuh pada Devi seorang, meskipun dosa itu ia lakukan
Pure Taman Saraswati tampak ramai pengunjung, manusia dari usia balita hingga usia lanjut tumpah ruah memenuhi dalam dan luar tempat suci itu. Pemandangan biasa di Bali kala libur panjang tahun baru. Hal itu juga membuat beberapa orang sulit mendapatkan hal foto yang maksimal. Namun, bukan itu yang membuat Devi terusik. Senyum Devi kini pudar, dua bola matanya kini ke arah dimana Jessy menunjukan sesuatu. Namun yang ia lihat hanya bayang-bayang segerombol manusia yang sedang lalu lalang dan sibuk berpose. Jessy menghampiri Devi, melupakan asiknya bergaya di depan kamera. “Ma, itu ada Om Rangga!” rengkek Jessy sambil memeluk kedua kaki Devi. “Tidak ada Om Rangga di sini!” Suara Devi pelan, sorot matanya fokus ke arah yang Jessy tujuh. Dan sosok itu benar-benar tidak ada. “Ada Ma. Ayo kita ketemu Om Rangga.” “Mama tidak melihat Om Rangga. Sayang.” “Tapi aku melihatnya Ma!” Jessy kemudian menarik jemari Devi, dengan terpaksa wanit
Sisa liburan tersisa dua hari, akan tetapi malam itu Devi memutuskan untuk kembali ke Surabaya lebih awal. Semua terjadi begitu saja, benar-benar diluar rencana, kini Rangga berhasil mengusik akal sehatnya, keindahan pulau Bali porak poranda. Pure, taman dan pantai yang indah tak lagi menarik hatinya. Jessy yang masih terlalu dini hanya menuruti apa yang dikatakan oleh ibunya. Dengan penerbangan pesawat terakhir dari Denpasar ke Surabaya, Devi memutuskan untuk pulang. Dan tepat tengah malam Devi telah pergi meninggalkan bandara Juanda dengan taxi menuju rumah.Kembali terjun ke urusan salon sekaligus ibu. Bulan Januari menjadi awal tahun yang cukup menyita pikiran Devi. Salah satunya suster yang biasa menjaga Devi tak kunjung kembali. Padahal libur yang diberikan Devi sudah terlewat selama empat hari. Dan selama empat hari itu pula Jessy selalu ikut kemanapun Devi pergi, dari ke kantor hingga sidak ke luar kota. Dan di hari ke lima sebuah pertemuan dengan rela
Setelah makan siang bocah itu tidur di bawah ketiak ibunya. Devi yang terbiasa sibuk sepanjang hari, matanya sama sekali tak mau terpejam. Akhirnya ia bangkit meraih ponsel di atas meja, kembali menelfon pengasuh Jessy, entah yang berapa kali ia lakukan hal yang sama beberapa hari belakangan ini. Kali ini panggilannya diterima oleh seseorang yang berbeda. “Mohon maaf tidak memberi kabar apa pun, kami sedang berduka. Anak kami meninggal seminggu lalu.” Hanya itu yang keluar dari mulut wanita dengan isak tangis yang sangat deras. Setelah mengucapkan bela sungkawa Devi mengakhiri telefon lalu duduk di atas sofa, ia memejamkan. Ia pusing. Tak dipungkiri ia sedih kehilangan sosok yang ia percaya namun tak bisa dialihkan pula pemikirannya tentang mencari sosok pengasuh baru. Bukan hal sulit untuk mencari pengasuh baru, namun yang sulit dan merepotkan adalah mencari sosok yang tepat. Pemikiran semacam itu muncul bersamanya beberapa berita yang pernah ia baca d
“Ada yang mencarimu.” Susi berdiri tepat di samping meja repsesionis sengaja menyambut kedatangan Devi. Kening Devi berkerut. “Siapa?” “Rangga. Dia sedikit mabuk.” “Suruh pergi!” Wajah Devi merah padam, dengan badan tetap tenang. “Sudah aku suruh dia pergi, tapi dia tidak peduli.” “Di mana sekarang keparat itu?” “Di ruang tamu.” Langkah Devi berlanjut, gerakan tubuhnya tenang, wajahnya semakin culas ia naik ke lantai dua langsung menuju ruangan khusus menerima tamu. Susi pun berjalan mengikuti dari belakang. Dengan kasar Devi mendorong pintu, bau khas alkohol menusuk hidung. Tubuh Rangga terlentang tak berdaya di atas sofa dengan kaki bersepatu. Dua matanya tertutup rapat, dengan mulut sedikit terbuka, bulu-bulu halus penuh di sekitar wajahnya tak terawat. Devi menatap dengan mata culas sekian detik, seperti menatap sebongkah kotoran binatang. Buang muka dan meninggalkan pria itu begitu saja. Sedangkan Susi masi
Paparan peristiwa kala Rangga bersama seorang wanita kembali mengusik kepala Devi. Bagimana bisa pria itu bisa cepat berubah kehendak hatinya? Bahkan hingga detik ini benar-benar tak pernah terpikirkan mengapa sosok itu kembali menuntut sebuah penjelasan. Bukankah dia sudah bersama wanita yang lain? Untuk apa berada di sini? Sebenarnya siapa yang membutuhkan penjelasan? Dirinya sendiri atau Rangga. Batin Devi ragu. “Kamu gila Rangga!” desis Devi. Rangga tersenyum masam dengan ucapan sengit Devi, sedikit pun ia tidak tersinggung. Yang jelas ia sedikit gemas menatap wajah Devi yang sedang marah. “Iya aku memang gila.” Seketika itu Rangga semakin kaku. “Pergilah!” Devi tetap buang muka. “Jelaskan semuanya! Aku hanya ingin tahu yang sebenarnya.” Rangga kembali berdiri lalu menatap jendela. Terlihat awan biru berubah kekuningan, matahari pun mulai redup. Devi masih enggan untuk bicara, penjelasan seperti apa yang pria itu inginkan, sejatinya ia sudah pernah berkata apa adanya dan akh
“Mbak, mohon maaf saya ganggu. Ini Dek Jessy tidur tapi seperti pingsan. Terus pengasuhnya ngak ada di rumah. Kalau bisa Mbak Devi pulang sekarang juga saya takut terjadi apa-apa sama Dek Jessy.” Panggilan telefon dengan informasi singkat itu menjadi akhir perdebatan Devi dangan Rangga. Melahirkan perasaan yang lebih kacau dari pada berdebat dengan Rangga, kini wajah Devi tanpak tegang. Dengan gerakan cepat ia matikan komputer yang masih menyala dan bergegas meninggalkan kantor. “Ada apa?” tanya Rangga sambil melangkah mengikuti Devi. Devi diam tak peduli dengan pertanyaan Rangga. Dengan langkah tergopoh-gopoh ia melewati tangga sambil memesan taxi online lalu kembali menelfon ARTnya. “Mbok, bawa Jessy ke Nasional Hospital. Saya sudah telfon taxi online. Jadi kita ketemu di rumah sakit.” “Tapi Mbak, saya takut...” suara itu terdengar ragu. Devi menarik napas panjang lalu bicara dengan nada keras. “Nurut apa kata saya Mbok!