Ruang rawat inap dengan fasilitas VIP, terdiri dari dua kamar. Satu kamar yang terdiri dari sofa-sofa berbahan bludru lengkap dengan televisi besar, di tengah-tengah terdapat meja lengkap dengan buah-buahan serta beberapa botol air mineral. Di situlah sekarang Rangga berasa, memainkan ponselnya. Sedangkan ruangan satunya di mana Jessy terbaring lemah, di sampingnya Devi duduk terus memandangi wajah pucat putrinya. Tepat di sebelah Devi terdapat ranjang dengan bantal dan selimut yang masih tertata rapi. Terdengar lamat-lamat suara Rangga sedang bicara dengan seseorang, meminta di antarkan makanan dan juga pakaian. Hal itu hanya membuat kedua alis Devi mengkerut; pria itu masih sama seperti dahulu, keras kepala. Bisik hati Devi. Tubuh yang letih satu paket dengan perut yang kosong kini telah mengusai tubuh Devi. Meskipun atas nakas, di sebelahnya terdapat buah-buahan entah mengapa ia tidak berselera makan. Bahkan jika diingat sejak mendapatkan kabar Jessy di rumah sakit, setetes air
Mata Jessy masih terlihat sayu, dengan lingkar hitam kecoklatan. Tubuhnya lunglai, hanya saja senyuman di bibirnya masih sama, merekah sempurna seperti mawar yang baru mekar. Siapa pun yang melihat tawa dan senyum itu pasti akan ikut mesem bahagia.Dan kebahagiaan itu bukan saja menular ke Devi dan Rangga tapi pada semua yang ikut adil dalam merawat Jessy. Termasuk dokter dan para suster. Berkali-kali memuji bagaimana bocah itu melawan racun dalam tubuhnya, dengan banyak tersenyum ceria tanpa drama rewel. Atau entah, ia hanya anak kecil yang engan merasakan sakit.Jessy pun dengan lahap menghabiskan satu porsi sup dari tangan Rangga, khusus pria itu yang bisa menyuapi bocah itu. Apa bila Devi yang mengambil alih sendok ia menolak membuka bibir. Setelah empat jam terjaga akhirnya Jessy kembali tertidur, kali ini Devi dan Rangga membiarkan bocah kecil itu menutup mata. Karena sebenarnya sejak dua jam lalu bocah itu terus menguap, menahan kantuk. Begitu kuat efek obat yang di berikan A
Ciuman hangat lekat di pipi dan kening Jessy yang mengemaskan, dengan perasaan berat dan terpaksa Devi memberikan tubuh bocah perempuan itu dipelukan seorang pengasuh. “Mama janji nanti mama ke sini lagi jam makan siang.” Sepucuk kertas Devi keluarkan dari dalam tas, kemudian ia berikan pada pengasuh itu. “Saya sudah tulis semua makanan yang tidak boleh dikonsumsi oleh Jessy. Oh ya...jangan lupa kalo ada apa-apa segera hubungi saya.” “Oh iya Buk. Siap.” Pengasuh itu menurunkan Jessy dari pelukannya, karena bocah itu memaksa turun setelah melihat ke dalam ruangan besar di sebarang pintu. Binar mata Jessy benar-benar bersinar cerah ketika melihat sebuah play ground dengan banyak wahana bermain. Terlihat beberapa anak seusia Jessy sedang bermain ke sana kemari ditemani para pengasuh berseragam yang sama. Dan tanpa menunggu lama Jessy langsung berlari masuk ke dalam play ground. Terpaksa pembicaraan Devi dan pengasuh itu hanya sampai di situ. Karena pengasuhi itu harus mengikuti Jessy
Semua tentang Jessy sudah diatur oleh Devi tanpa ikut campur orang lain termasuk baby sister. Karena sejak Jessy masuk rumah sakit waktu itu, Devi benar-benar tidak memiliki keinginan untuk mencari baby sister baru.Bagi Devi jika perusahan dengan karyawan puluhan orang bisa diatur sedemikian rupa. Mengapa seorang bocah yang masih kecil tidak bisa ia urus? Terlebih lagi ia darah daging sendiri pasti semua akan jauh lebih mudah menyesuaikan.Toh dengan jasa day care (penitipan anak) bisa sedikit membantunya. Dan hal itu sudah Devi perhitungkan matang-matang, karena Jessy tidak akan selamanya berada di penitipan anak. Ia akan tumbuh dewasa dan jauh lebih bisa mandiri.Mimpi Devi sebagai orang tua tunggal Jessy, tidak terlalu muluk-muluk. Ia tidak mengidamkan Jessy menjadi bintang kelas atau mewakili sekolah mengikuti olymiade fisika atau matematika. Ia hanya ingin Jessy menjadi sosok perempuan mandiri, mampu beradaptasi dengan dunia yang tak pasti.Oleh sebab itu sejak usia lima tahun J
Jessy terus bertumbuh, dengan wajah berbentuk oval, mata lebar dan hidung mancung. Devi mengakui dalam hati kecil, jika bentuk hidung mancung itu tidak ia miliki bahkan orang tua Devi sendiri memiliki hidung mekar.Jelas. Hidung mancung mata bulat; mengingatkan sosok Goman. Ayah biologis Jessy, tapi perasaan itu tidak berlebihan mendominasi karena Devi mengerti dalam status sosial dan agama sekalipun. Jessy adalah anaknya.Saat ini bocah itu telah duduk di kelas enam sekolah dasar. Bentuk wajah menawan semakin tampak, dengan tubuh tinggi dan badan montok. Jika diperhatikan Jessy sosok paling tinggi di sekolah.Gundukan di dada yang mulai terlihat menonjol. Walaupun gundukan itu tidak sebesar punya wali kelas atau Devi. Akan tetapi dalam dua bulan terakhir setiap kali mandi memandang dan meraba harta berharga itu Jessy benar-benar merasa lain. Padat, berisi dan semakin muncung.Kegelisahan mulai muncul, sebenarnya setelah Jessy berfikir dan menerung ia mengerti jika dada seorang peremp
Jessy bukan benci atau tak suka dengan Pak Yo. Ia hanya sedikit tidak terima dengan keputusan Devi. Selama ini nyaris semua hal dilakukan dengan Devi. Berangkat dan pulang sekolah selalu dengan Devi, kini tiba-tiba hadir Pak Yo secara spontan. Tanpa bicara apa lagi diskusi dengan Jessy. Pria paruh baya itu kini mengantikan peran Devi. Bagi Jessy hal itu sungguh menyebalkan. Bocah itu sulit sekali mengerti mengapa orang dewasa seperti Devi, kadang bertingkah semaunya. Tanpa peduli perasaan orang lain. Dalam diam, Jessy berhasil menyembunyikan kejengkelan yang ia rasa. Ia tetap biasa saja dengan Devi, ia tak bisa marah dengan orang yang telah melahirkan dirinya. Tapi Jessy limpahkan kemarahan kepada Pak Yo. Dengan diam, enggan memasang wajah manis selama nyaris satu bulan. Dan selama itu ia tidak pernah bicara dengan Pak Yo. Justru ia berharap dengan sikap itu, Pak Yo tidak tahan lalu berhenti bekerja. Sayangnya hidup tidak sederhana di senetron yang pernah dilihat Jessy. Pak Yo tidak
Jessy bangun tidur dengan kondisi tubuh sangat segar, badan terasa ringan. Beban di pundaknya terasa jauh lebih ringan setelah ujian nasional berlalu. Kini saatnya ia mulai bersantai setelah melewati tiga tahun di sekolah menengah pertama. Setidaknya sekarang ia memiliki waktu untuk santai sejenak. Melepas buku pelajaran dan materi yang membuat penat di kepala. Dan melakukan beberapa hal yang ia sukai. Entah pergi ke perpustakan sepuasnya atau membeli koleksi ikan. Dan yang paling penting ia harus mempersiapkan semua hal yang diperlukan untuk melanjutkan pendidikan setingkat SMA. Akan tetapi hal itu mudah saja, ia sudah menentukan kemana ia akan melanjutkan sekolah. Jauh-jauh hari sebelum ujian nasional berlangsung. Ia akan melanjutkan ke sebuah sekolah dengan sistem belajar biasa-biasa saja. Artinya ia tidak akan masuk sekolah dengan sistem full day. Enam tahun sekolah dasar dan tiga tahun sekolah menengah pertama. Dengan sistem belajar yang begitu padat. Dipaksa setiap siswa harus
“Ingat, kemana pun pergi selalu kabari Mama.” Devi mencium kening Jessy. “Oh ya, selalu dengan Pak Yo. Jangan pergi dengan taxi online atau sejenisnya.” “Iya Ma,” ucap Jessy dengan nada malas. “Kalau ada waktu mampir ke salon ya.” Devi tersenyum sambil membuka pintu mobil. “Iya Ma.” “Iya. Iya terus. Beneran kabari mama kalau ada sesuatu.” “Iya Ma.” Jessy menarik napas panjang. Devi tak lagi berkata-kata, lalu tancap gas pergi meninggalkan pekarangan rumah. Begitu pula dengan Jessy ia langsung masuk mobil yang di dalamnya Pak Yo sudah siap melaju. Sejak obrolan berat tadi pagi suasana hati Jessy semakin tidak menentu. Ia merasa jika ibunya semakin berlebihan dan tingkat bawelnya semakin meningkat. Kini ia mulai menyadari jika apa yang ia sukai, selalu kebalikan dengan Devi. Dan perbedaan itu benar-benar tidak nyaman untuk Jessy. Bukan hanya bulutangkis dan kulit yang sedikit terbakar matahari tapi Devi semakin ke sini sering komentar dengan baju yang dikenakan Jessy. Jessy meras