"Dasar bedebah sialan." Alaric mendesis pelan, dengan sebelah tangan di kepala dan tangan yang satunya lagi memegang ponsel yang diarahkan ke wajahnya. "Kenapa kau tidak bilang kalau tujuanmu dan Anna sama?" "Tentu saja karena aku ingin mengerjaimu," jawab Levi diikuti dengan tawa keras yang jelas-jelas saja mengejek. "Sialan." Alaric tidak behenti mengumpat. "Sekarang aku menyesal mengangkat panggilan videomu." "Apa pun yang terjadi, kau pasti akan mengangkatnya." Levi masih saja tertawa. "Kau tidak lupa kalau semalam kau itu mabuk kan? Sopirku sampai mengantarmu pulang loh." Alaric kini menggeram marah. Dia rasanya masih ingin memaki, tapi ada hal yang jauh lebih penting untuknya. "Apakah kau bertemu dengan Anna? Atau mungkin kau punya cukup banyak waktu untuk mengunjungi rumahnya?" "Hei, kau pikir tempat ini kecil?" Levi memutar bola matanya dengan gemas. "Sudah pesawat kami berbeda, aku juga datang ke sini untuk bekerja. Aku sibuk tahu." "Kau kan punya waktu luang sa
Langkah Anna terlihat cepat ketika melintasi koridor penjara. Dia tentu saja sudah ingin pulang dan segera menelepon sang suami untuk mengkonfirmasi sesuatu. Namun, Anna tidak ingin melakukannya di area rumah sakit. "Nona Anna?" Seseorang tiba-tiba saja menghampiri, saat perempuan yang disebut namanya itu keluar dari pintu utama penjara. "Maaf, tapi aku tidak mengenalimu." Tentu saja Anna akan menghindar sebisa mungkin. "Aku tahu kau mungkin akan khawatir, tapi aku bukan orang jahat. Aku datang menjemputmu atas perintah ...." "Oh, apakah Megumi?" Tiba-tiba saja Anna memotong ucapan lelaki di depannya. "Apakah kau salah satu ... teman dekatnya?" "Ya." Lelaki tadi menganggu. "Lebih tepatnya hanya seorang sopir dari teman dekat Nona Megumi, jadi mari biar aku antar kau." Kening Anna berkerut mendengar ucapan lelaki di depannya. Terdengar meyakinkan, tapi dia juga sedikit ragu. Biar bagaimana, dia sudah pernah diculik dan tidak ingin hal itu terulang lagi. "Biar aku menghubu
"Aku sedang membayar," jawab Anna memaksakan senyum. "Tapi aku melihat kau sedang menelepon." Pak sopir yang menghampiri, langsung membantah. "Memangnya aku tidak boleh menelepon?" tanya Anna berusaha untuk tenang. Petugas kasir yang merasa bingung, hanya bisa memperhatikan dua orang yang sepertinya sedang berdebat itu. Dia sebenarnya ingin menyela dan segera meminta bayaran, tapi situasi tidak begitu mendukung. "Sayangnya, kau tidak diizinkan untuk menelepon." Ekspresi ramah sang sopir, kini berubah menjadi lebih kaku. Dia bahkan tidak segan untuk merampas ponsel Anna. "Hei, itu ponselku." Tentu saja Anna berusaha untuk mengambil kembali miliknya. Sayang sekali, sepertinya sang sopir sudah kehabisan kesabaran dan memilih untuk menodongkan pistol. "Bersikap baiklah, atau kau akan tahu akibatnya," ucapnya terlihat sedikit kesal. Mau tidak mau, Anna mengangkat kedua tangan tanda menyerah. Bahkan petugas kasir minimarket pun melakukan hal yang sama. "Sekarang, jalan di de
"Sepertinya kau sudah melupakanku ya?" ucap Fritz dengan senyum miring yang membuat lawan bicaranya gemetar. "Padahal rasanya, aku sudah memberitahumu dengan jelas bukan?" "Layani aku atau mati," lanjut Fritz dalam desisan pelan. Anna sampai perlu menjauhkan wajahnya, karena wajah pria tua yang berbicara dengannya itu terlalu dekat. Wajah yang terlalu dekat itu, membuat Anna makin ketakutan saja. Dia bahkan nyaris mengigit lidah sendiri karenanya. "Kenapa kau malah gemetar?" tanya Fritz yang kini membelai wajah perempuan di depannya, kali ini membuat Anna berjengit pelan. "Apa kau takut?" "Menurutmu?" tanya Anna setelah menelan liur sebanyak dua kali, berusaha sekuat tenaga untuk terlihat biasa saja. "Apa kau pantas ditakuti?" "Tentu saja," balas pria tua itu, menepuk pipi sanderanya dengan pelan. "Sudah seharusnya semua orang patuh dan takut padaku." "Sayang sekali, tapi aku tidak," balas Anna makin mengeraskan kepalan tangannya, demi memupuk sedikit saja keberanian. "Bag
"Untuk sementara ini, aku akan membiarkanmu istirahat. Tapi besok, kau harus bekerja keras, agar aku bisa menghancurkan Alaric." Kalimat Fritz terngiang-ngiang di kepala Anna. Demi apa pun, dia sama sekali tidak menyangka kalau pria tua yang dulu dijodohkan dengannya adalah iparnya. Sekarang, Anna tahu kenapa dia merasa familiar dengan foto keluarga sang suami. "Padahal mereka sama sekali tidak mirip," gumam Anna yang kini sudah bisa bebas mondar-mandir di dalam kamar. "Dari segi tampang dan sifat, mereka sama sekali tidak mirip." "Tapi masalahnya sekarang bukan itu, Anna. Sekarang masalahnya adalah kau harus segera kabur." Kini Anna mendekat ke arah jendela untuk melihat keadaan. Kabur lewat jendela jelas bukan sesuatu yang aman. Selain karena kamarnya berada di lantai tiga, Anna bisa melihat ada penjaga yang lalu-lalang di bawah jendela kamarnya. Mereka tidak terlihat membawa senjata, tapi tetap saja berbahaya. Pilihan berikutnya jelas adalah pintu kamar, tapi itu juga jel
"Maaf, aku membutuhkan pembalut. Apa kalian punya yang cukup panjang dan bersayap?" tanya Anna menggunakan telepon interkom yang tergantung di dekat pintu. "Sekalian saja bawakan aku pakaian dalam baru dan lebih banyak cokelat, air, juga camilan." Setelah mengatakan apa yang dia inginkan, Anna berjalan menuju jendela lagi. Hari kini sudah mulai makin malam, tapi untungnya penerangan masih bagus. Setidaknya, Anna masih bisa melihat penjaga yang sedang bertugas. "Aku membawakan yang kau minta." Seorang perempuan berbeda dari yang pertama kali, masuk dengan wajah masam. "Lalu tolong tahu dirilah sedikit." "Apa ada masalah?" tanya Anna dengan kedua alis yang terangkat. "Bukankah si Tua Bangka Fritz itu membebaskan aku melakukan dan meminta apa pun, selagi aku ada di dalam kamar ini." "Itu benar, tapi setidaknya tahu dirilah," hardik pelayan perempuan tadi, sama sekali tidak menyembunyikan amarahnya. "Jangan hanya karena kau adalah mainan baru dan masih disayang, lantas kau berniat
"Dia meminta pembalut?" tanya Fritz dengan sebelah alis terangkat. "Memangnya ada masalah dengan itu?" "Bukankah Tuan ingin memanfaatkan tubuh Nona Anna?" tanya asisten Fritz dengan kedua alis yang terangkat. "Kau tidak mungkin melakukannya saat dia sedang mendapat tamu bulanan bukan?" "Kenapa memangnya? Tidak boleh?" Si tua Fritz malah balas bertanya. "Itu jelas bukan hal yang sehat, Tuan." Kini si asisten makin mengerutkan kening. "Memangnya kau pikir apa gunanya karet pengaman?" Kini giliran Fritz yang menaikkan kedua alis. "Lagi pula kau pikir kenapa sampai sekarang aku masih sehat, walau sudah meniduri banyak lelaki dan perempuan? Aku tidak pernah melewatkan menggunakan proteksi." "Jadi kau berhentilah membicarakan masalah kesehatan dan lakukan sesuai rencana. Masukkan obat ke dalam apa pun yang dimakan oleh Anna dan beritahu aku kalau obatnya sudah bekerja." "Aku akan meminta orang-orang agar memantau CCTV di kamar itu lebih seksama." Mau tidak mau, si asisten menurut
"Tunggu dulu, Nona." Seorang lelaki, menghalangi seorang perempuan yang memaksa masuk melewati pagar. "Kau tidak bisa masuk seenaknya.""Apa yang kau maksud dengan tidak bisa masuk seenaknya?" tanya Megumi dengan mata melotot. "Aku ini datang dengan undangan pemilik rumah, aku ini pacarnya.""Kami mengerti kau mungkin pacar Tuan." Lelaki yang lain mencoba untuk menjelaskan dengan lebih pelan. "Tapi biar bagaimana, sekarang ini Tuan kami sedang tidak bisa diganggu. Jadi mungkin ....""Omong kosong." Megumi malah mendorong lelaki yang baru saja bicara. "Kalau kau tidak ingin aku dan mobilku masuk, maka biarkan aku masuk sendiri saja. Aku bisa jalan kaki, walau nanti kakiku bisa lecet.""Nona, kami mohon." Lelaki kedua kembali mencoba dengan lembut."Kalau kau tidak ingin celaka, mungkin lebih baik kau pergi saja." Berbeda dengan lelaki kedua, lelaki pertama memilih cara yang lebih kasar. "Kau bahkan tidak mau membiarkan kami melapor pada Tuan.""Oh, kau berani kurang ajar padaku
"Tunggu dulu, Nona." Seorang lelaki, menghalangi seorang perempuan yang memaksa masuk melewati pagar. "Kau tidak bisa masuk seenaknya.""Apa yang kau maksud dengan tidak bisa masuk seenaknya?" tanya Megumi dengan mata melotot. "Aku ini datang dengan undangan pemilik rumah, aku ini pacarnya.""Kami mengerti kau mungkin pacar Tuan." Lelaki yang lain mencoba untuk menjelaskan dengan lebih pelan. "Tapi biar bagaimana, sekarang ini Tuan kami sedang tidak bisa diganggu. Jadi mungkin ....""Omong kosong." Megumi malah mendorong lelaki yang baru saja bicara. "Kalau kau tidak ingin aku dan mobilku masuk, maka biarkan aku masuk sendiri saja. Aku bisa jalan kaki, walau nanti kakiku bisa lecet.""Nona, kami mohon." Lelaki kedua kembali mencoba dengan lembut."Kalau kau tidak ingin celaka, mungkin lebih baik kau pergi saja." Berbeda dengan lelaki kedua, lelaki pertama memilih cara yang lebih kasar. "Kau bahkan tidak mau membiarkan kami melapor pada Tuan.""Oh, kau berani kurang ajar padaku
"Dia meminta pembalut?" tanya Fritz dengan sebelah alis terangkat. "Memangnya ada masalah dengan itu?" "Bukankah Tuan ingin memanfaatkan tubuh Nona Anna?" tanya asisten Fritz dengan kedua alis yang terangkat. "Kau tidak mungkin melakukannya saat dia sedang mendapat tamu bulanan bukan?" "Kenapa memangnya? Tidak boleh?" Si tua Fritz malah balas bertanya. "Itu jelas bukan hal yang sehat, Tuan." Kini si asisten makin mengerutkan kening. "Memangnya kau pikir apa gunanya karet pengaman?" Kini giliran Fritz yang menaikkan kedua alis. "Lagi pula kau pikir kenapa sampai sekarang aku masih sehat, walau sudah meniduri banyak lelaki dan perempuan? Aku tidak pernah melewatkan menggunakan proteksi." "Jadi kau berhentilah membicarakan masalah kesehatan dan lakukan sesuai rencana. Masukkan obat ke dalam apa pun yang dimakan oleh Anna dan beritahu aku kalau obatnya sudah bekerja." "Aku akan meminta orang-orang agar memantau CCTV di kamar itu lebih seksama." Mau tidak mau, si asisten menurut
"Maaf, aku membutuhkan pembalut. Apa kalian punya yang cukup panjang dan bersayap?" tanya Anna menggunakan telepon interkom yang tergantung di dekat pintu. "Sekalian saja bawakan aku pakaian dalam baru dan lebih banyak cokelat, air, juga camilan." Setelah mengatakan apa yang dia inginkan, Anna berjalan menuju jendela lagi. Hari kini sudah mulai makin malam, tapi untungnya penerangan masih bagus. Setidaknya, Anna masih bisa melihat penjaga yang sedang bertugas. "Aku membawakan yang kau minta." Seorang perempuan berbeda dari yang pertama kali, masuk dengan wajah masam. "Lalu tolong tahu dirilah sedikit." "Apa ada masalah?" tanya Anna dengan kedua alis yang terangkat. "Bukankah si Tua Bangka Fritz itu membebaskan aku melakukan dan meminta apa pun, selagi aku ada di dalam kamar ini." "Itu benar, tapi setidaknya tahu dirilah," hardik pelayan perempuan tadi, sama sekali tidak menyembunyikan amarahnya. "Jangan hanya karena kau adalah mainan baru dan masih disayang, lantas kau berniat
"Untuk sementara ini, aku akan membiarkanmu istirahat. Tapi besok, kau harus bekerja keras, agar aku bisa menghancurkan Alaric." Kalimat Fritz terngiang-ngiang di kepala Anna. Demi apa pun, dia sama sekali tidak menyangka kalau pria tua yang dulu dijodohkan dengannya adalah iparnya. Sekarang, Anna tahu kenapa dia merasa familiar dengan foto keluarga sang suami. "Padahal mereka sama sekali tidak mirip," gumam Anna yang kini sudah bisa bebas mondar-mandir di dalam kamar. "Dari segi tampang dan sifat, mereka sama sekali tidak mirip." "Tapi masalahnya sekarang bukan itu, Anna. Sekarang masalahnya adalah kau harus segera kabur." Kini Anna mendekat ke arah jendela untuk melihat keadaan. Kabur lewat jendela jelas bukan sesuatu yang aman. Selain karena kamarnya berada di lantai tiga, Anna bisa melihat ada penjaga yang lalu-lalang di bawah jendela kamarnya. Mereka tidak terlihat membawa senjata, tapi tetap saja berbahaya. Pilihan berikutnya jelas adalah pintu kamar, tapi itu juga jel
"Sepertinya kau sudah melupakanku ya?" ucap Fritz dengan senyum miring yang membuat lawan bicaranya gemetar. "Padahal rasanya, aku sudah memberitahumu dengan jelas bukan?" "Layani aku atau mati," lanjut Fritz dalam desisan pelan. Anna sampai perlu menjauhkan wajahnya, karena wajah pria tua yang berbicara dengannya itu terlalu dekat. Wajah yang terlalu dekat itu, membuat Anna makin ketakutan saja. Dia bahkan nyaris mengigit lidah sendiri karenanya. "Kenapa kau malah gemetar?" tanya Fritz yang kini membelai wajah perempuan di depannya, kali ini membuat Anna berjengit pelan. "Apa kau takut?" "Menurutmu?" tanya Anna setelah menelan liur sebanyak dua kali, berusaha sekuat tenaga untuk terlihat biasa saja. "Apa kau pantas ditakuti?" "Tentu saja," balas pria tua itu, menepuk pipi sanderanya dengan pelan. "Sudah seharusnya semua orang patuh dan takut padaku." "Sayang sekali, tapi aku tidak," balas Anna makin mengeraskan kepalan tangannya, demi memupuk sedikit saja keberanian. "Bag
"Aku sedang membayar," jawab Anna memaksakan senyum. "Tapi aku melihat kau sedang menelepon." Pak sopir yang menghampiri, langsung membantah. "Memangnya aku tidak boleh menelepon?" tanya Anna berusaha untuk tenang. Petugas kasir yang merasa bingung, hanya bisa memperhatikan dua orang yang sepertinya sedang berdebat itu. Dia sebenarnya ingin menyela dan segera meminta bayaran, tapi situasi tidak begitu mendukung. "Sayangnya, kau tidak diizinkan untuk menelepon." Ekspresi ramah sang sopir, kini berubah menjadi lebih kaku. Dia bahkan tidak segan untuk merampas ponsel Anna. "Hei, itu ponselku." Tentu saja Anna berusaha untuk mengambil kembali miliknya. Sayang sekali, sepertinya sang sopir sudah kehabisan kesabaran dan memilih untuk menodongkan pistol. "Bersikap baiklah, atau kau akan tahu akibatnya," ucapnya terlihat sedikit kesal. Mau tidak mau, Anna mengangkat kedua tangan tanda menyerah. Bahkan petugas kasir minimarket pun melakukan hal yang sama. "Sekarang, jalan di de
Langkah Anna terlihat cepat ketika melintasi koridor penjara. Dia tentu saja sudah ingin pulang dan segera menelepon sang suami untuk mengkonfirmasi sesuatu. Namun, Anna tidak ingin melakukannya di area rumah sakit. "Nona Anna?" Seseorang tiba-tiba saja menghampiri, saat perempuan yang disebut namanya itu keluar dari pintu utama penjara. "Maaf, tapi aku tidak mengenalimu." Tentu saja Anna akan menghindar sebisa mungkin. "Aku tahu kau mungkin akan khawatir, tapi aku bukan orang jahat. Aku datang menjemputmu atas perintah ...." "Oh, apakah Megumi?" Tiba-tiba saja Anna memotong ucapan lelaki di depannya. "Apakah kau salah satu ... teman dekatnya?" "Ya." Lelaki tadi menganggu. "Lebih tepatnya hanya seorang sopir dari teman dekat Nona Megumi, jadi mari biar aku antar kau." Kening Anna berkerut mendengar ucapan lelaki di depannya. Terdengar meyakinkan, tapi dia juga sedikit ragu. Biar bagaimana, dia sudah pernah diculik dan tidak ingin hal itu terulang lagi. "Biar aku menghubu
"Dasar bedebah sialan." Alaric mendesis pelan, dengan sebelah tangan di kepala dan tangan yang satunya lagi memegang ponsel yang diarahkan ke wajahnya. "Kenapa kau tidak bilang kalau tujuanmu dan Anna sama?" "Tentu saja karena aku ingin mengerjaimu," jawab Levi diikuti dengan tawa keras yang jelas-jelas saja mengejek. "Sialan." Alaric tidak behenti mengumpat. "Sekarang aku menyesal mengangkat panggilan videomu." "Apa pun yang terjadi, kau pasti akan mengangkatnya." Levi masih saja tertawa. "Kau tidak lupa kalau semalam kau itu mabuk kan? Sopirku sampai mengantarmu pulang loh." Alaric kini menggeram marah. Dia rasanya masih ingin memaki, tapi ada hal yang jauh lebih penting untuknya. "Apakah kau bertemu dengan Anna? Atau mungkin kau punya cukup banyak waktu untuk mengunjungi rumahnya?" "Hei, kau pikir tempat ini kecil?" Levi memutar bola matanya dengan gemas. "Sudah pesawat kami berbeda, aku juga datang ke sini untuk bekerja. Aku sibuk tahu." "Kau kan punya waktu luang sa
"Bagaimana mungkin kau malah meneleponku untuk datang menjemputmu? Memangnya kau tidak punya teman atau keluarga lagi?" Seorang perempuan mengeluh dengan kedua tangan di pinggang. "Aku punya teman, tapi rasanya tidak enak juga merepotkan mereka," ucap Anna dengan senyum lebar. "Apalagi, papaku kan pernah membuat masalah di tempat mereka. Aku jadi tidak enak." "Lalu aku?" Perempuan yang lebih tua dari Anna itu kembali bersuara, kali ini dengan tatapan melotot. "Aku bahkan tidak akrab denganmu dan kau malah meminta tolong padaku? Lagi pula, dari mana kau tahu nomor teleponku?" "Aku rasa sekarang kau pasti sudah tahu siapa suamiku kan?" Alih-alih menjawab, Anna malah balik bertanya. "Menurutmu, bagaimana cara kami mencari tahu data orang?" "Ya. Ya." Perempuan teman bicara Anna memutar bola matanya karena gemas. "Aku rasa, kau hanya akan jadi makin besar kepala kalau aku bicara. Jadi ayo." "Terima kasih ya, Megumi." Setelah mengucapkan rasa terima kasihnya, Anna dengan senang