Berduyun-duyun para gadis belia duduk melingkar. Mengitari sebuah nampan bulat berisi nasi yang dikelilingi lauk pauk sederhana. Mereka berpakaian longgar dan berkerudung lebar. Nayya dan Gina bergabung dengan Maryam yang melambaikan tangan ke mereka.“Kita makan sama-sama, ya.” Senyum ramah terurai dari bibir Maryam.Mempersilakan Nayya dan Gina untuk mencuci tangan di kobokan. Mangkuk bulat berisi air dan potongan jeruk nipis.Nayya dan Gina saling bersitatap. It’s okay. Mereka sudah terbiasa makan sepiring berdua dari kecil. Tidak masalah makan lesehan dan memakai tangan. Namun, karena ada Maryam yang duduk dengan takzim di depan mereka membuat suasana menjadi sedikit canggung.Nayya memperhatikan sekelilingnya. Para santriwati terlihat menikmati hidangan sederhana di dalam nampan. Diiringi obrolan sesama kelompoknya. Kelihatannya seru.“Ya, beginilah kehidupan di pondok pesantren. Jangan kaget! Ka
“Kita mau ke mana, Mas?” tanya Nayya sembari memegangi lututnya. Sudah sepuluh menit ia berjalan kaki membuntuti Rafan. Lebih tepatnya, dipaksa untuk ikut. Seharusnya kalau sedang berhalangan salat begini, ia masih meringkuk di kamar. Menambah durasi tidurnya.Rafan bilang akan mengajak Nayya ke tempat yang pasti disukai sang istri. Namun, ini rahasia. Namanya juga surprise. Mereka berdua menyusup ke kebun belakang. Melewati jalan setapak. Ditemani cahaya samar-samar senter yang dibawa Rafan. Hari masih terlalu gelap untuk dijajaki. Udara pun membuat tubuh sedikit menggigil.“Mas, enggak asyik ah.” Nayya menggaruk pipinya. Gatal karena gigitan nyamuk. Kakinya sudah minta istirahat.“Dikit lagi kok.” Rafan berusaha meyakinkan.Sayup-sayup suara tertangkap gendang telinga Nayya. Ia tahu ada suara binatang yang kedengarannya tidak asing. Bukankah itu suara sapi?“Mas, bau apaan nih?”
"Jangan panik, kita diam dan berdoa!" Nayya menahan napas, melantunkan doa apa saja. Sesuai yang terlintas di kepalanya, sampai-sampai doa makan pun ikut terbawa. Semua santriwati menurut, tidak ada yang bergerak. Mereka membaca doa-doa pengusir bahaya seperti yang telah diajarkan di pesantren. Ular hitam sebesar lengan manusia melintas. Tepat di depan mereka. Napas Nayya naik turun. Keringat dingin sudah menghinggapi badannya. Setelah ular sudah menjauh, Nayya menarik napas dalam-dalam. Lega. Tubuh wanita itu menggelosor ke bawah, jatuh terduduk. "Astaghfirullah, Ustazah kenapa?" tanya Dije sambil memegangi lengan Nayya. Nayya masih mengatur napas. Ia memegangi dadanya. Air mata jatuh menetes ke pipi mulusnya. "Kakiku mendadak lemes. Aku enggak pernah lihat ular sebesar itu sebelumnya," ujar Nayya kalut. "Ust, sebaiknya kita bergegas sekarang. Sebelum ularnya balik lagi," kata salah satu santriwati. Dije membantu memapah Nayya. "Enggak papa, biar aku sendiri aja," tolak Na
Bukan karena suhu dingin dari hawa gunung yang membuat gadis dengan julukan perawan Depok itu merasakan gigil di tubuhnya. Namun, ia tengah dilanda ketakutan. "Gin, gue jadi khawatir sama kondisi lo, deh. Kita bilang sama Mas Rafan buat antar lo ke dokter, ya?" tawar Nayya penuh perhatian.Alih-alih mengiyakan permintaan Nayya, Gina menggeleng. Gadis itu memeluk dua lututnya."Gue kena sindrom kali, ya, Nay," ucap Gina."Maksudnya?""Setiap kali ngelihat Pak Kardi, gue jadi menggigil gini," terangnya lebih lanjut."Lo sindrom sama Pak Kardi?"Gina mengangguk cepat. "Kita sampai kapan sih, Nay, di sini?" "Gue juga belum tahu, Gin. Tergantung Mas Rafannya. Besok ke tempat mertua Gue ikut?" "Ikut." Respons dari Gina yang secepat kilat."Oke, nanti gue bilang sama Mas Arkan."***Rafan sudah memberitahu pada Nayya semalam bahwa hari ini tidak ada jadwal mengisi ceramah. Untuk itu, pria yang dipanggil ustaz itu mengajak sang istri untuk berkunjung ke rumah orang tuanya saat fajar tiba.
"Mas, ada yang mau aku tanyakan." Nayya tiduran di pangkuan Rafan, tempat ternyaman menurut Nayya. Mereka sedang berada di dalam kamar. Rafan membelai pipi sang istri dengan lembut dan penuh kasih sayang. Sebenarnya Nayya sedari tadi sudah menahan geli dan ingin menyingkirkan tangan suaminya dari pipi. Namun, ia tidak rela melepas belaian lembut sang suami by. Wanita itu berusaha keras menahan rasa geli dan bersikap biasa saja."Tapi janji jangan marah, ya?""Kamu selalu deh, bikin penasaran orang aja. Ngomong sekarang, nggak?" Rafan menarik hidung istrinya. Nayya sampai bangun dan bersin karena hidungnya ditarik sama Rafan. "Sayang, ih, hidung aku jadi gatel tahu kalau ditarik-tarik gitu.""Ya udah bilang cepet!" Sekarang Rafan memencet-mencet pipi Nayya dengan gemas."Aku udah kayak squishy, deh, dipencet-pencet melulu." Bibir Nayya tertekuk. Protesnya diabaikan. Suaminya malah semakin menjadi dan asyik meremas-remas pipinya."Habisnya punya istri nggemesin banget. Jadi, ya, gini
Ibu mertua Nayya begitu dekat dengan mantan menantunya. Tentu saja Nayya merasakan kecemburuan di dalam hati. Kehadiran wanita yang pernah masuk dalam kehidupan suaminya membuat hati Nayya menjadi kacau. Kini dia terpaksa harus berbaring di atas ranjang. Kondisi fisik Nayya mendadak down sejak pertemuannya dengan mantan sang suami."Nay, udah dong. Kenapa harus dipikirin, sih? Mas Rafan itu milik kamu seutuhnya, wanita itu cuma mantan." Gina tengah menghibur sahabatnya itu. "Justru itu, Gin. Kenapa coba udah mantan tapi masih berkunjung ke rumah mertuaku? Aneh 'kan?" Hati Nayya yang mudah layu teramat nelangsa. Saat lagi sedih-sedihnya, orang yang tidak diharapkan kehadirannya justru datang mengetuk pintu kamar Nayya."Permisi. Saya bikinkan susu buat Mbak Nayya. Diminum, ya. Susu sangat baik buat kesehatan." Wanita yang menjadi alasan Nayya terpuruk saat ini meletakkan gelas berisi susu ke meja kecil di samping ranjang."Makasih banyak, Mbak. Tapi sepertinya teman saya lagi butuh s
"Maaf, Nayya lupa meminumnya. Susunya keburu dingin." Rafan memang luar biasa. Ia selalu bisa membaca keadaan. Rafan mengambil gelas berisi susu dan melewati mantan istrinya begitu saja. Hal itu cukup membantunya memiliki alasan untuk kabur dari sana. Rafan tidak mungkin tetap tinggal sementara ia dikepung wanita dari masa lalu dan wanita yang akan menemani di masa depannya. "Mama kenapa ke sini, sih? Aku lagi kenalan sama Umma Nayya," protes Hanun pada sang ibu. Hati Iin tiba-tiba terasa perih. Seperti teriris oleh silet tajam. Wanita bernama Nayya itu betul-betul keterlaluan. Setelah mendapatkan mantan suaminya, ia juga akan merebut hati sang putri. "Hanun, ayo keluar! Kita sarapan sekarang!" perintah Iin dengan ketus. "Anak cantik sekarang sarapan dulu, ya. Katanya Hanun Qadira adalah anak yang kuat." Nayya membujuk Hanun dengan baik. "Baik, Umma. Aku mau sarapan dulu biar kuat, ya." Hanun tersenyum simpul. Dada Iin terasa panas melihat sang putri begitu ramah pada orang y
Ketika mentari hangat datang menyapa, Nayya berjemur di halaman belakang. Ia meregangkan otot-otot tubuhnya dengan berolahraga kecil seperti lari di tempat dan menggerak-gerakkan tubuh. Butiran-butiran embun menguap melewati fase kondensasi ketika cahaya matahari mulai berkilauan.Rafan sudah pamit pergi ke desa tetangga untuk mengisi kuliah subuh di sebuah masjid. Saat melintasi ruang makan, Nayya mendengar ada suara Abah dan Ummi yang sedang ngobrol. Tercium aroma wangi kopi bubuk yang mambaui hidung wanita itu. Nayya berniat pergi ke kamar Gina untuk membangunkan sahabatnya itu. Karena Gina suka tidur lagi setelah salat Subuh.Langkah kaki Nayya terkunci saat ia tidak sengaja mendengar namanya disebut-sebut oleh kedua mertuanya itu."Menantu kita bukan lagi Iin, Bu. Kamu harus bisa menempatkan diri. Siapa yang berhak kamu perlakukan sebagai menantu. Nak Nayya pasti sangat sedih melihatmu terlalu mengistimewakan mantan istri Rafan itu." Musa menyeruput kopi hitam dalam cangkir jad