Tersentak, dua sosok yang berpikir takkan ditemukan justru ketahuan. Mereka mendelik kaget pada rupa menawan di belakang sana dengan langkah angkuhnya.“R-Robert!” pekik Evelin. “Bagaimana bisa?!” gadis itu gemetaran. Cristhian terkejut, nama yang di dengar tak asing dan membuatnya berdiri di depan sang pujaan. Sebagai pelindung, jika terjadi apa-apa.Tersenyum. Perlahan guratan itu melebar membentuk seringai. Membelah wajah untuk memperlihatkan seberapa menakutkan sosok yang berjalan dan akhirnya berdiri tenang sejarak lima meter dari mereka.“Lari dan terus lari. Mau sampai kapan? Sudah kukatakan bukan? Pengkhianatan harganya mati,” dan ia pun melemparkan kalung perak tepat di hadapan mereka.Terbungkam.Evelin terbelalak, kakinya gemetar pelan dan mencoba melangkah ke depan.“Evelin!”Cegatan Cristhian diabaikan karena perasaan sudah hancur tak tertahankan. Sang gadis muda, akhirnya meraung keras mendapati kalung yang terbuang di hadapan. Sesak di dada di mana itu ternyata merupaka
Gadis itu terperangah saat mendengar suara serak di sampingnya. Sontak saja ia bangkit dan memasang kuda-kuda aneh sebagai bentuk perlawanan.“Kakak kenapa? Kaget begitu,” tanya sang pemuda.“Kakak? Kau siapa?! Seenaknya saja memelukku!”Wajah berkerut bingung pun tersirat di rupa asing itu. “Apa ini? Masa Kakak tidak kenal aku. Aku Lucius, adikmu.”“Adik? Kau gila?! Aku tidak mungkin punya adik sepertimu!”“Oh, ayolah, Kak. Jangan bercanda begitu. Tunggu! Atau jangan-jangan kau hilang ingatan? Masa iya? Kuda itu tidak mungkin menendang kepalamu sekeras itu!” paniknya dengan tangan memegang wajah sang gadis muda.“Brengsek! Berani-beraninya kau menyentuhku!” marahnya sambil mengunci lehernya.“Agh! Lepaskan aku! Apa yang kau lakukan, Kak?! Kau gila?! Kau mau membunuhku!” rontanya mencoba membebaskan diri dari cekalan perempuan itu.“Katakan dengan jujur! Kau siapa?! Kenapa kau mengaku sebagai adikku?! Sekali lagi kau berbohong kupatahkan lehermu!”“Kau benar-benar gila sialan!” sontak
Terbungkam. Seolah-olah dia tahu apa saja yang ingin ditanyakan Evelin. Bahkan jeda untuk bersuara juga tidak diberikan.“Kakak dan aku saling memanggil dengan nama panggilan, Luc. Sehingga takkan ada yang tahu kalau kita berasal dari Tenebris. Bagaimanapun juga, perjuangan untuk bisa hidup sampai saat ini tidaklah mudah. Ada banyak yang dikorbankan dan itu neraka. Kuharap cepat atau lambat ingatanmu kembali, Lucia.”Terdiam. Sentuhan yang ditorehkan Lucius ke pipi Evelin menusuk kesadarannya. Tak terlihat kasih sayang sebagai saudara, dan entah kenapa sensasi anehnya mengingatkan pada sosok tidak diharapkan.Robert.Dan Lucius terasa agak mirip dengannya.“Bersiaplah, karena siang ini kita harus bekerja.”Selesai mengatakan itu, sang pemuda pun pergi meninggalkannya. Menjelang waktu yang ditentukan, keduanya sudah bersiap dengan pakaian bak pengelana. Dihiasi jubah gelap sebagai luaran, Evelin tertegun menyaksikan penampilan adiknya.“Kenapa kau menutup mata kirimu?”“Karena kita uni
Tiba-tiba, hunusan pedang kasar pun diarahkan ke Lucius. “Ugh!” geram sang pemuda akibat serangan yang menekan.“Berani-beraninya kau membunuh komandan, Bocah!” hardik Kaizer.Tapi justru seringai yang diberikan Lucius. “Selamat tinggal, Pangeran,” ia pun memutar tubuh dan memberikan tendangan ke perut lawan.“Yang Mulia!” teriak prajurit lainnya.Dan tanpa keraguan Lucius menarik lengan Lucia. Mengejutkan gadis itu juga musuh-musuhnya.“Berhenti!” teriak sosok yang memakai zirah putih tadi.Tapi terlambat. Lucius juga Lucia, melompati tebing yang ternyata aliran sungai menantinya. Sungguh mereka tak bisa berkata-kata akibat keberanian keduanya.“Mereka kabur,” Kaizer berujar santai.“Terus? Apa yang harus kita katakan pada Raja? Pembunuh tangan kirinya kabur. Begitu?” sosok berzirah putih menatap jengkel lawan bicara. Laki-laki yang beradu pedang dengan Lucius tadi hanya diam. Sorot matanya, masih memandangi aliran sungai di bawah sana. Deras, namun ia yakin dua orang itu baik-bai
“Darkas?”Lucius hanya tersenyum menanggapi keheranan sang kakak. Wajar jika Evelin bingung. Jika Darkas kerajaan musuh, kenapa adik anehnya itu setuju menjalankan misi darinya? Padahal saat membahas Orion, ucapannya seolah-olah ingin menguliti mereka.“Jika mereka yang menghancurkan Tenebris, kenapa kam—”“Karena kita miskin,” potongnya tiba-tiba. “Tak peduli gelar apa yang kita miliki, itu tidak menolak kenyataan kalau sekarang kita cuma dua bersaudara miskin. Apa yang bisa diharapkan? Bahkan singgasana ayah untuk dipamerkan juga tidak ada. Jika bisa menjilati salah satu dari mereka dan mendapatkan uang, apa salahnya? Kita juga bisa mengadu domba lainnya.”Evelin terdiam. Ucapan Lucius memang mengejutkan tapi ada benarnya. Di posisi mereka, yang bisa dilakukan hanya menerima semua uluran di depan mata. Entah itu pekerjaan berdarah atau bantuan kemiskinan.Tapi saat mendengarnya langsung, aneh tetap merasuki hati. Mungkin Evelin sudah menerima kenyataan yang ada. Di mana sosoknya mer
“Serang!” teriak laki-laki itu.Dan puluhan prajurit Orion yang bersamanya pun langsung bergerak maju dengan beringas.“Sial, Luc!” gadis itu menoleh pada saudaranya. “Ayo kita bantai mereka,” seringai Lucius tiba-tiba.Sang pemuda pun maju sambil menarik salah satu pedang di pinggang. Evelin yang menyaksikan itu terperangah. Masih ragu dengan keputusan gila adiknya.“Dasar!” umpatnya.Tak ada pilihan, mereka diserang. Bertarung atau mati musuh-musuhnya pasti takkan memberikan ampunan. Tanpa keraguan pedang yang tak bersegel pun ditariknya. Sepertinya, keputusan akhir memang hanya mengamuk saja.Lucius sudah duluan melancarkan serangan brutal pada lawan. Pola bertarung serampangan miliknya, jelas mengusik Atlea. Ini pertama kali baginya melihat ksatria asing terlebih pembunuh bayaran bergerak seperti itu.Tak begitu menarik untuk ditiru namun berhasil membunuh lawan dalam sekali tebasan. Membuatnya yakin kalau rumor eksekutor berdarah tanah gelap pantas disandang dua orang di depannya
Hening.Semua berisik seolah ditelan penampakan di luar dugaan. Mata merah layaknya ukiran berlian abadi, merona di netra seorang Lucius.Semua pandangan yang menyaksikan, merasakan desiran aneh ketika menatapnya. Seakan tersihir agar mendekat pada sosoknya.Sayangnya raut berbeda ditampilkan Atlea. Bahkan jika dia terpengaruh, tapi fokusnya luar biasa. Segera ia alihkan pandangan sekilas dan melirik dingin musuhnya.“Jadi mata aneh itulah yang ada di balik penutup. Kau, apa kau seorang penyihir? Menilik kemampuanmu, aku tak yakin kau sekadar pembunuh bayaran biasa. Kau bangsawan bukan?” Perlahan Lucius mengangkat tangannya. Menyisir poni yang menutupi mata kanan sehingga semakin angkuh perawakan.Segaris lekukan tipis membentuk senyuman. Dan suaranya mendingin berbeda dengan sebelumnya. Lucia yang masih setia memandangi, merasakan hawa tak biasa. Seakan kematian berdiri tepat di depannya.“Luc—”“Siapa pun aku, apa pedulimu?” Lucius malah memotong ucapan Lucia. “Bahkan kalau pun k
Senyum merekah terpatri. Begitu indah rasanya, sangat pantas dipamerkan laki-laki bermata aquamarine itu. Rambut perak dengan poni menyentuh alis rapi membingkai wajah, ditambah ukiran rupa selayaknya dewa, sungguh menggoda untuk mencuci mata.Namun sorot mata sayu yang menajam itu mengernyitkan dahi penontonnya. Merasa penasaran akan jawaban karena tak kunjung dilontarkan.“Pangeran?”“Aku menginginkan utusan itu.” Behella Nel Markaz terdiam. “Aku menginginkan utusan itu, Paman. Bisakah kau bawakan padaku?” sorot matanya memancarkan ambisi.Sang wakil Raja hanya terkekeh menanggapi. Mendekat, namun langkahnya tertuju pada kuda di belakang sana. Di mana hewan itu sibuk mencari makan di dekat pinggiran sungai.“Apa yang kamu inginkan? Mereka cuma pembunuh pinggiran.”Siez berpaling, melirik Behella lewat sudut mata. Seringai melebar di bibirnya dan itu jelas tak terlihat di pandangan adik ayahnya.Lagi pula, cerita yang dilantunkan wakil raja Darkas menjadi hiburan tersendiri baginya.