“Sova, seandainya kita mati, bagaimana?” pertanyaan sosok bersurai merah itu membuat laki-laki berambut coklat terang di depannya mengernyitkan dahi. “Kau takut?” Bharicgos terkekeh pelan. Perlahan pandangan diedarkan ke sekitar, sayup-sayup suara gagak menyusup masuk ke telinga. Semakin lama semakin terdengar keras mengiringi langkah keduanya. “Aku hanya bertanya, kenapa jawabanmu malah seperti itu?” “Kita takkan mati dengan mudah. Apa lagi kau Bharicgos, mereka hanya membuang nyawa ke hadapan kita.” Dan ringkik kuda yang terasa jelas mulai menghampiri keberadaan mereka. Tampak di halaman istana Tenebris, kehadiran beberapa prajurit berzirah merah. Semangat yang tercetak di wajah mereka, senjata beserta bendera yang dikibarkan di tangan pun menjadi tanda dimulainya pertarungan keduanya. “Begitu ya, kau benar juga. Terima kasih sudah menghiburku, Sova Aviel Ignatius.” “Sova, padahal kau bilang kita tidak akan mati. Lalu kenapa pedang iblismu ada di bocah ini?” bersamaan dengan o
“Ampuni saya! Aku mohon! Jan-”Hening, kecuali alirah darah menggenangi lantai itu. Seorang gadis muda menatap tenang sosok yang baru saja digorok lehernya. Tangannya yang menutup mulut orang itu agar tak bersuara, mulai terlepas dengan berjalannya waktu kematian.“Aku lapar,” ucapnya sambil melangkah pergi begitu saja.Esok harinya, sebuah siaran di televisi menampilkan berita tentang pembunuhan seorang pengusaha properti di dalam hotel.Mirisnya, CCTV tak merekam sosok mencurigakan yang bisa dituduh sebagai pembunuhnya. Sehingga, berita kematian misterius itu mulai bergema di kota yang penuh hiruk-pikuk dengan pesona modernnya.“Wah! Apa kamu lihat berita itu?” tanya Camila pada Evelin. “Ya.”“Bukankah itu mengerikan? Pelakunya masih belum ketahuan,” Camila memakan sandwich yang baru saja dibuatnya.“Ya, semoga saja bukan kita korban selanjutnya,” celetuk Evelin sambil melakukan sesuatu yang tak te
“Benarkah?” Evelin tampak senang lalu menuruti perkataannya. “Mau minum?” tawar lelaki itu padanya.“Apa ini?” sambil menerima sodoran gelas berisi minuman yang tampak indah di depan mata.“Minumlah, lalu kamu akan tahu bagaimana mencari temanmu dengan cepat.” Tanpa ragu Evelin meminumnya, “ugh! Apa ini?” Lelaki itu tersenyum, “apa aku boleh minum lagi?” “Silakan.”Evelin kembali meminumnya, ia mengambil sendiri dengan lancangnya. Meneguk berulang kali tanpa bisa menghentikan keinginan yang membara.“Bagaimana rasanya?”“Aneh,” ucap Evelin merasa pandangannya nanar.“Kalau begitu hentikan, karena tak menyenangkan jika kamu mabuk begitu saja,” sahut lelaki itu mengambil gelas minuman di tangan. “Tidak! Aku ma—” kalimat Evelin tak dilanjutkan. Suara gadis itu tertahan dengan bibir lelaki yang mengajaknya minum. Evelin hanya mencoba mendorongnya pelan, tapi ia tak bisa apa-apa karena sosok di
Mendengarnya, mata Cristhian turun ke bawah. Melirik apa pun yang bisa dijangkau pandangan. “Sayang sekali, tapi aku tak ingin melupakannya.” Sekarang ia mengelus lembut mahkota kembar sang gadis.Gadis itu terkesiap dengan perlakuan tiba-tiba di badan. Gerak tubuhnya spontan sensual di mata, memaksa lutut laki-laki tersebut naik kembali dan bergerak di antara celah paha. “Hentikan.” Cristhian justru tak mendengarnya. Dada yang membusung di sentuhan malah dipermainkan. “Aku sudah tak sanggup,” tolak Evelin. Tapi raungan desahnya malah semakin membakar suasana.“Tak masalah. Karena aku masih sanggup dan menginginkannya.”Laki-laki itu bangkit, duduk dan memaksa sang pujaan untuk melayani. “Jangan, aku mohon!” Evelin mencoba berdiri, tapi sayang semua sudah terlambat. Senjata bertuan meminta pelukannya.Akan tetapi, mata dingin Cristhian menyelimuti Evelin. Tak ada kalimat kecuali gairah pelan terlontar dari mulutnya. Memaksa apa pun yang ada di tubuh untuk menjajahi sang gadis muda. A
“Aku menyukaimu,” bisik lembut Cristhian, membuat Evelin tersentak dan langsung mendorong dada bidang lelaki itu. Mulutnya sedikit terbuka menyiratkan ketidakpercayaan, bahwa sosok di depannya juga merasakan hal yang sama.“Aku tahu ini terdengar gila. Aku tahu jika aku sudah kurang ajar, tapi aku benar-benar menyukaimu. Aku akan bertanggung jawab menikahimu dan membesarkan anak kita,” jelas Cristhian menyentuh perut Evelin.Tubuh indah gadis itu bergetar hebat, mendengar pengakuan yang takkan pernah terkira olehnya. Tanpa saling mengenal, tanpa mengetahui nama, lelaki di depan mata mengatakan sesuatu yang tak pernah ia bayangkan. Evelin berteriak sejadi-jadinya. Kebimbangan justru muncul memburu isak tangisnya. Tanpa kata yang jelas, gadis itu memukul berulang dada bidang Cristhian, sehingga sang lelaki tersentak kaget. Ia tak tahu apa-apa, hanya melontarkan keinginan, namun dibalas jawaban tak kentara oleh pujaan satu malam.Karena panik dan cemas akan ulah sedih Evelin, laki-laki
“Evelin!” pekik Cristhian saat sadar pisau dihunuskan ke arah dada. “Apa yang kamu lakukan?!” ia berhasil menghindar.Pisau kembali diayunkan ke wajah Cristhian, seketika laki-laki itu menangkap lengannya. Tapi terlambat, sang gadis memutar tubuh dan menariknya dari belakang sehingga ia jatuh tepat di hadapannya. Tanpa jeda Evelin menghunuskan pisau ke arah kepala sang pemuda.“Ev—”TRANG!Suara pisau membentur lantai dan patah. Cristhian berhasil menghindari serangan yang hampir melubangi wajah. Napas tersengal, tapi bukan berarti dirinya akan pasrah begitu saja. Dengan keadaan Evelin masih berdiri, ia langsung memakai tangannya, menghantam kaki gadis itu sehingga badannya jatuh terjerembab.“Uugh,” erangnya. Saat menyadari pisau terlepas dari tangan, ia segera bangkit. Tapi sayang, Cristhian menindih tubuhnya dan menahan bahu Evelin agar tak bisa beranjak.“Apa yang kamu lakukan?!
“Istirahatlah,” lirihnya mengambil selimut dan menutupi tubuh Evelin.Walau matanya bisa melihat dengan jelas undangan dari raga sang gadis, dirinya tak berniat lagi melakukannya. Rasa suka yang Cristhian miliki bukanlah suatu kebohongan. Jika tak menyentuh Evelin memang membuat gadis itu bahagia, maka akan ia lakukan. Dirinya tak ingin menodainya lagi tanpa izin, karena bagaimanapun sekarang sang pujaan mungkin akan mengandung anaknya. Tak lama kemudian, embusan angin malam tiba-tiba membangunkan gadis itu. Matanya mengerjap beberapa kali, hanya terang kamar dibantu cahaya rembulan terlihat olehnya.“Apa yang terjadi?” gumam Evelin menatap langit-langit. Saat akan bangkit, tubuhnya tersentak menyadari tangan masih terikat.Sekarang, justru tali pengikat erat menahannya pada dua tiang ranjang.Dengan tubuh masih berselimut, ia coba meronta membebaskan diri. Masih tak ada hasil, raganya juga terasa lemas, berusaha mengingat kembali apa yang terjadi. Perlahan, bayangan Cristhian membe
“Besok aku akan mempertemukanmu dengan orang tuaku. Begitu selesai kita akan pergi keluar negeri.”“Bertemu orang tuamu?”“Ya.”Dahi mengernyit dan alis mencoba bertaut terlukis di wajah sang gadis. “Buat apa aku bertemu orang tuamu?”“Karena aku akan menikahimu.”Seketika tawa pecah di ruangan. “Ayolah Kak Cris, menikah? Aku masih muda. Dan kabarnya kamu juga sudah bertunangan. Jangan mengumbar lelucon di situasi kita bisa mati begini.”Cristhian berhenti dari aktivitas pencariannya. Melirik gadis itu dan duduk di tepi ranjang.“Jawab saja satu hal, Evelin. Apa kamu tidak bisa membunuhku karena menyukaiku?”Sejenak diam menerpa, beberapa detik kemudian Evelin bersuara. “Aku tidak menyukaimu. Kebetulan saja aku kasihan padamu dan tak jadi membunuhmu. Aku juga malas karena sangat ingin pensiun dari pekerjaan ini,” ocehnya berdrama.Cristhian tersenyum meledek. “Jawab saja ya atau tidak?” Tampang drama retak di muka, Evelin seketika menatap masam.“Tangisanmu sudah menjawabku,” laki-lak