Seharian kami berbincang dan mengikuti kegiatan dan pengajian di pesantren. Sampai pada saat malam tiba perbincangan bersama Kyai Ilham menjadi lebih serius tentang kesembuhan Lisa. “Bagaimana Kyai apa Lisa masih bisa diselamatkan?" tanya Pak Darman. Tampak raut wajahnya begitu sedih dan khawatir. Kyai Ilham menoleh ke arahku dan memegang bahuku, ia seperti memberi sebuah tanda yang maksudnya sulit dipahami. Tidak. Jangan katakan jika Lisa tidak bisa diselamatkan. Aku menggeleng perlahan, sementara Kyai Ilham hanya tersenyum. Beliau selalu bersikap misterius. "Salat Isya dulu. Lalu berzikir dulu sebentar. Ambil ini!" ucap Kyai Ilham menyodorkan sebuah tasbih kesayangannya, lalu dengan segera aku mengambilnya.Aku mengangguk dan bergegas pergi mengambil wudu. Melaksanakan salat Isya di kamar para santriwan. Sangat sepi, karena kebetulan mereka masih ada pembelajaran. Kututup salat ini dengan salam dan berzikir sebentar. Namun, saat aku bersila dan melafalkan kalimat zikir, angin ber
"Kita pasti pulang, aku akan mengeluarkanmu sekarang," tegasku melangkahkan kaki mencari di mana bisa membuka kunci sel ini. Keyakinan begitu kuat bahwa sel ini bukan seperti di alam manusia yang bisa dibuka kapan saja. Lantas aku memegangi bagian pintunya dan melafalkan doa, membacakan ayat kursi dan menutupnya dengan takbir. Seketika kekuatan di pintu itu seperti menghilang dan terbuka dengan mudah. "Ayok, Lisa. Cepat!" Lisa keluar dan segera memegang tanganku. Kami berjalan perlahan di menuju tempat ke luar. Dia setengah berteriak saat melihat sosok-sosok manusia yang kutemui ketika masuk ke sini. "Jangan takut, mereka akan mengabaikan kita," ucapku mencoba menenangkannya. Kami melangkah secara perlahan melewati orang-orang yang terlihat seperti mayat hidup. Mereka mengendus bau tubuh kami, tetapi tidak bereaksi apa pun terhadap kehadiranku di sini. Aku memerintahkan Lisa untuk tetap beristigfar dan mengucap asma Allah agar bisa selamat sampai kembali pulang. "Kak, tunggu!" pe
Lisa tersentak dan terbangun dari tidur panjang. Napas gadis itu masih terengah dengan keringat yang mengucur deras dari pelipisnya. Ia menoleh ke arah tubuh pria yang masih belum sadarkan diri. "Alhamdulillah." Darman histeris memeluk putri yang begitu ia rindukan selama ini."Ayah ..." Gadis itu memeluk ayahnya dengan sangat erat. Menumpahkan segala rasa yang berkecamuk dalam hati. Tangisan haru mewarnai pertemuan di antara keduanya. Darman yang mendekap dan menciumi pucuk kepala putrinya itu merasa bersalah atas semua yang tengah ia lakukan selama ini. Mengorbankan cinta dan kasih sayang keluarga hanya untuk bergelimang harta membuat ia jadi seseorang yang gelap mata dan hati."Kamu tidak apa-apa?" tanya Darman melepas pelukannya dan menyentuh kedua pipi Lisa, memastikan bahwa gadis itu baik-baik saja. Lisa hanya mengangguk perlahan. Pria itu kembali menarik tubuh mungil Lisa dan berkata, "Maafkan ayahmu ini, Nak. Maafkan!"Lantunan ayat suci masih terdengar jelas mengisi masjid t
Lisa yang duduk dekat jendela merenung memandangi pepohonan yang menjulang tinggi. Ia masih merasa bingung dan tidak percaya dengan apa yang sudah dialaminya selama ini. Entah sikap apa yang harus ditunjukkan kepada orang tua yang sudah membuat kehidupannya harus mengalami hal-hal di luar logika. Harus membencikah? Atau bahkan harus lebih mencintai?Mobil berhenti di pertengahan jalan. "Andi, itu mobilmu, 'kan?!" ucap Kyai Ilham menunjuk pada mobil berwarna hitam yang terparkir di pinggir jalan. Andi mengiyakan dan turun dari mobil, lantas menghampiri kendaraan yang menemani perjalanannya sampai sini. Ia memeriksa keadaan mobil dan memastikan jika masih bisa dikendarai sampai pulang ke rumah."Tidak terjadi apa-apa?" tanya Pak Darman dengan nada khawatir."Tidak, Pak. Sudah saya bilang, jika harta ini saya titipkan pada Pemberi-Nya," tutur Andi menepuk bahu Darman dengan perlahan.Lisa terlihat keluar dari mobil dan berlari menghampiri Andi. "Boleh aku ikut mobil Kak Andi?" tanya Lisa
Andi mencoba menghampiri pria malang itu, menaruh tangan di bahunya. Darman masih berkata sama, "Aku kaya ... aku kaya ... aku kaya." Nadanya sedikit menurun."Istigfar, Pak. Pak Darman harus kuat demi Lisa," tutur Dokter muda itu, mencoba menenangkan pria yang kini terlihat kosong.Tangisan Darman tiba-tiba terhenti. Ia berlari ke arah ranjang dan mengambil boneka milik Fahmi. Menatap boneka itu dengan mata berbinar, lalu tersenyum dan tertawa dengan bahagia. "Anakku, Fahmi. Bobo dipelukkan ayah, ya," racaunya mengais boneka tersebut."Astagfirullah hal Adzim." Andi menggeleng perlahan. Sementara Lisa terlihat memasuki ruangan. Ia menangis dan memeluk ayahnya dengan erat. Menangis sejadi-jadinya dalam dekapan sang ayah. Dalam kehangatan itu, Lisa mencoba kuat dan tabah menghadapi apa yang terjadi pada keluarganya kini. Kalimat istigfar tak henti ia lantunkan sebagai penguat batinnya kini.Kyai Ilham dan Andi tampak prihatin atas kejadian naas ini. Mereka memandang dua insan yang menj
Sinar jingga keemasan mulai menampakkan hangatnya. Aroma sejuk embun berbaur dengan bunga-bunga yang bermekaran di pagi hari. Memberi semangat untuk tiap jiwa yang hidup. Memberi hidup untuk jiwa yang mati.Kakiku melangkah terburu-buru, menuju sebuah ruangan yang jaraknya lumayan jauh dari kamar tempat tinggalnya.Suara pintu berdecit ketika dibuka, menampakkan sesosok tubuh rimpuh yang tergeletak lemah di kasur tipis nan lusuh. Bau tak sedap menyeruak di setiap sudut ruangan.“Ayah, sarapan dulu, ya? Lisa udah bawa makanan buat Ayah.”Gegas aku duduk di samping kasur yang sengaja diletakkan di lantai beralas tikar purun. Di situlah selama ini Ayah tinggal. Diisolasi agak jauh dari pesantren tempat tinggalku sekarang.Sesekali aku menyeka sudut mata yang selalu saja menumpahkan bening setiap melihat ayah.“Marni, kita kaya! Kita nggak miskin lagi sekarang, anak-anak kita juga nggak akan kelaparan. Nggak akan ada yang bakalan menghina kita lagi. Kita kaya!”Sekian waktu berlalu, kondi
Isi perutku benar-benar ingin keluar. Tidak peduli saat ini sedang berada di mana dan di tempat seperti apa. Berkali-kali berusaha memuntahkan sesuatu, tapi tidak bisa. Kerongkongan seakan tersumbat sesuatu, bahkan sekarang untuk menelan liur pun susah.'Ya Allah, tolong aku.’ Hanya itu yang bisa kuminta dalam hati. Semoga ada pertolongan yang datang.Lama kelamaan aku merasa susah bernapas. Sesuatu yang tadi menghalangi rongga leher kini seperti ikut menutup jalan pernapasanku. Sesak, tatkala tak ada udara yang masuk. Air mata terus membanjiri pipi, berbaur dengan anyir darah yang masih terus menetes dari atas.Aku masih berusaha sekuat tenaga untuk melawan, berulang kali meraup napas. Nyatanya tidak ada hasil sama sekali. Dunia seperti berputar, kini aku tidak bisa merasakan apa pun di seluruh bagian tubuh. Sampai tiba-tiba suara seperti pintu didobrak mengagetkanku. Seiring dengan berhentinya tetesan darah di kepala. Hambatan yang tadi menghalangi jalan napas juga hilang seketika.
Harta satu-satunya yang paling aku cintai di dunia ini terlihat melangkah pelan. Bibirnya tak henti menyeringai, menimbulkan kengerian. Aku membiarkan beliau mendekat, meski sebenarnya bulu kudukku meremang.Tidak dipungkiri, aku merindukan pelukan Ayah, di mana dulu—sebelum perjanjian iblis itu—ia sering mendekapku untuk mengajak salat atau mengantarkanku mengaji. Ya, saat itu aku masih kecil. Meski kami miskin, tetapi aku memiliki keluarga yang hangat. Semua terasa cukup. Melihat Ayah berjalan tergopoh, membuatku bertahan di tempat. Mungkin saja beliau merindukanku, meski Kyai berpesan agar jangan terlalu lama berdekatan karena psikis Ayah dalam keadaan tidak baik. Namun, aku percaya cinta dan rindu bisa menyatukan kami.Kini jarak kami semakin dekat. Aku melihat ada yang berbeda di mata Ayah. Penuh kebencian dan dendam. Hingga akhirnya secara tiba-tiba pria itu mencekikku dan mendorongku hingga tubuhku tersentak sampai dinding. Tanganku berusaha melepaskan cengkeraman Ayah, tetap