Berbulan-bulan Lisa menjalani pengobatan baik medis juga rukiah, akhirnya membuahkan hasil. Ia sudah jarang ketakutan lagi, bahkan dirinya sudah bisa tidur secara teratur. Kyai Ilham membangun benteng dengan meningkatkan pengajian rutin di luar jam pesantren. Tentunya, untuk mencegah datangnya serangan gaib. Tidak ada yang tidak mungkin saat semua dipasrahkan pada Gusti Allah, semua kehidupan di pesantren kembali normal. Beberapa minggu yang lalu, saat tengah melaksanakan wirid di kamar pribadinya, Kyai Ilham dikejutkan oleh angin yang tiba-tiba masuk ke kamarnya. Jendela kamar itu terbuka lebar hingga gordennya melambai tertiup angin. .Lamat-lamat beliau mendengar suara kereta kencana. Kyai Ilham tahu, siapa yang akan mengusiknya malam ini. Bibir sang Kyai tak henti melafalkan kalimat zikir, meminta pertolongan pada Allah agar senantiasa dilindungi. Sedari siang memang perasaannya tidak enak. Kyai Ilham sampai meminta Andi dan Lisa untuk wirid malam dan tidak boleh lepas dari Wud
Aku dan Mas Andi sudah bersiap-siap untuk pergi ke suatu tempat. Ya, aku sudah membiasakan diri memanggilnya 'Mas'. Kami mengenakan pakaian lengkap berwarna hitam yang khas untuk menuju ke tempat ini. Tidak ada perbincangan sama sekali yang mampu terucap dari bibirku, lantaran ini semua benar-benar mendesak dan terjadi begitu cepat.“Udah selesai? Kita langsung berangkat sekarang.” Mas Andi berjalan lebih dulu menyalip langkahku yang masih berhenti di tempat. Lamat-lamat aku mengiyakan dan melangkah pula ke arahnya. Motor hitam besar milik Mas Andi telah terparkir beberapa waktu lalu.“Kamu tau jalannya?” tanyaku spontan. Pria itu mengangguk dengan ragu-ragu.“Kurang tau sebenarnya Karena aku enggak ikut ke sana waktu itu.”“Jadi gimana?” Sejurus saling berbicara seperti ini, tiba-tiba langkah seseorang mendekat kemari. Kulihat matang-matang ada seorang wanita paruh baya muncul dari pintu utama.“Bu Nyai? Mau ke mana?” tanyaku sembari mengernyit. Aku seolah tak paham melihat penampila
Lisa berjalan tergopoh-gopoh. Ia melangkah dari rumah sakit, untuk sampai ke rumah. Aroma obat dan bekas infus yang selama ini menemani waktunya perlahan masih bisa dirasakan dan begitu menyeruak di indra penciuman yang dirasakan olehnya. Keadaan saat ini sangat membuat Lisa sadar bahwa keberadaannya di tempat ini memang kerap sekali memakan waktu yang panjang.Derap langkah kakinya menyertai keberadaan dan perjalanan. Sesekali bau-bau obat khas tempat umum berbaur obat-obatan tersebut lekat menusuk hidungnya. Lisa terus melangkah tanpa memikirkan apa pun.“Kamu yakin mau pulang? Kondisinya belum stabil, loh.” Andi, seorang pemuda yang memiliki wajah tampan itu terlihat berjalan menghampiri. Ia pun juga baru tiba dari rumah setelah melewati beberapa perjalanan beberapa saat lalu.“Iya, aku udah mendingan, kok. Kamu tenang aja.” Lisa menghela napas. Senyum yang lekat terlihat dari sudut bibir mungilnya membuat sosok lawan bicara ikut mengedarkan senyum balik. Pergerakan mereka saat ini
Lisa turun dari kendaraan roda empat perlahan. Setelah menjalani perawatan intensif beberapa waktu di rumah sakit, akhirnya ia diperbolehkan pulang.Pulang? Bahkan ia sendiri tidak mempunyai rumah yang bisa disebut sebagai tempat tinggal. Lebih tepatnya kembali ke pesantren karena tempat inilah Lisa bernaung selama beberapa waktu belakangan ini. Tentu ia bisa menyebutnya rumah, sebab sang ayah juga tinggal di sini.Bagi seorang anak, arti pulang bukanlah ke rumah, tetapi kepada orang tua. Karena orang tua itu sendiri adalah rumah ternyaman bagi anak-anaknya, termasuk Lisa yang merasa ayah adalah rumah satu-satunya. Senyuman hangat teman-teman di pondok menyambut kepulangannya. Kata dokter ... Lisa terbaring koma selama hampir dua bulan. Ditambah masa penyembuhan yang hampir satu bulan. Berarti total lama berada di rumah sakit selama tiga bulan. Tidak bisa dibayangkan bagaimana repotnya Kyai dan Bu Nyai dalam mengurus Lisa. Rasanya ia tidak punya muka untuk kembali ke sana, tapi apa
Tidak bisa dibayangkan bagaimana repotnya Kyai dan Bu Nyai dalam mengurus Lisa. Rasanya ia tidak punya muka untuk kembali ke sana, tapi apa daya Lisa tidak punya pilihan.Bu Nyai menuntun gadis itu menuju kamar. Bukan kamarnya dulu saat awal datang ke sini, tetapi kamar yang ditempati kemarin. Yaitu kamar di rumah utama Kyai Ilham. Kamar di mana ia mengalami hal aneh malam itu, hingga masih ingat sakitnya jeratan di leher. Mungkin itu juga yang menyebabkan Lisa harus berada di rumah sakit dalam waktu yang tidak sebentar.“Jangan pikirkan apa pun. Kamu harus cepat sehat, ada orang-orang yang sedang menunggu kamu. Jangan kecewakan mereka.”Lisa tersenyum. Tentu rasa rindu juga sama pada sang ayah. Gadis itu jadi tidak sabar menemuinya. Namun, kata Bu Nyai nanti dulu, kondisinya saat ini sedang tidak bisa berjalan jauh. Sampai di sini dengan selamat saja sudah syukur Alhamdulillah.Bu Nyai meninggalkan kamar setelah Lisa terbaring dengan selimut yang menutup sampai bagian dada. Suara deb
Seorang pemuda baru saja kembali dari sebuah tempat. Baju dan celananya sedikit terkena lumpur basah, tidak banyak, hanya di bagian ujung celana dan lengan baju.Dia segera membersihkan diri setelah sampai di rumah, kemudian pergi ke pesantren untuk menemui seseorang.“Assalamualaikum,” sapanya setelah berada di depan sebuah ruangan. Menunggu sang empunya mempersilakan dirinya masuk.“Waalaikumsalam.” Seseorang membuka pintu, memperlihatkan wajah tua tapi penuh wibawa.“Andi, silakan masuk.”Kyai Ilham, pemilik ruangan itu mempersilakan pemuda yang tak lain adalah Andi untuk masuk. Pemuda itu sudah mengatakan sebelumnya bahwa hari ini akan datang dengan maksud khusus.Kyai Ilham sedikit penasaran, karena baru kali ini Andi datang dengan maksud lain selain berkunjung atau memeriksa kesehatan para santri dan penghuni lainnya. Dengan senang hati dia menyambut kedatangan Andi.Dua cangkir teh terhidang di meja sebelum mereka memulai pembicaraan yang hanya diketahui oleh sebelah pihak.“Ad