Share

Bab 78

Penulis: Tama Fernandez
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-14 14:12:02

Ini dia. Hari terakhirku.

Pikiran itu datang jernih, tajam, tidak bisa disangkal lagi.

Ciit, ciit, ciit.

Burung-burung pagi mulai berkicau di luar. Suara yang indah, yang biasanya membawa harapan. Tapi pagi ini, suara itu terdengar seperti lagu duka.

Srek.

Ritsleting tenda terbuka. Diana muncul dengan senyum yang dipaksakan.

"Pagi, Margareta. Ayo bangun. Pak Darto sudah siapkan sarapan spesial untukmu."

Margareta duduk perlahan. Setiap gerakan terasa berat, seperti bergerak di dalam air.

"Spesial?"

"Iya. Katanya kamu butuh energi untuk sesi konseling nanti."

Diana mengulurkan tangan, membantu Margareta berdiri. Sentuhan tangannya hangat, tapi ada kekhawatiran di matanya—kekhawatiran untuk orang yang dia anggap sakit mental.

Margareta keluar dari tenda. Udara pagi dingin menusuk kulit. Langit masih berwarna ungu pucat di timur, berubah gradasi menjadi merah jambu, lalu oranye.

Matahari terbit. Indah. Dramatis.

Matahari terakhir yang akan kulihat.

Pak Darto berdiri di dekat api unggun y
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Petaka Di Gunung Rinjani   Bab 82

    Jalur pendakian, sekitar lima ratus meter dari tebing timur. Firman dan Diana sedang duduk beristirahat di atas batu besar, menyeka keringat dari dahi mereka. Pagi yang melelahkan setelah bermalam dengan mimpi buruk.Firman menatap peta yang terbuka di pangkuannya, mencoba mencari rute alternatif untuk turun. Diana duduk di sampingnya, memeluk lututnya sendiri, mata menatap kosong ke depan."Kita harus buat keputusan, Diana," Firman berbicara pelan. "Kalau Margareta tidak membaik, kita harus turun hari ini juga."Diana mengangguk lemah. "Aku tahu. Aku cuma... aku tidak menyangka perjalanan ini akan berakhir seperti ini."Tiba-tiba—"TOLONG!"Suara itu datang dari kejauhan, memecah keheningan pagi. Suara yang penuh kepanikan dan ketakutan.Firman dan Diana langsung berdiri, kepala mereka menoleh ke arah sumber suara."Itu suara Pak Darto!" Diana berteriak, wajahnya memucat."TOLONG! MARGARETA JATUH! DIA JATUH KE JURANG!"Deg.Jantung Firman berhenti berdetak sejenak. Dunia seakan berhe

  • Petaka Di Gunung Rinjani   Bab 81

    Tepi tebing. Angin bertiup kencang. Margareta tergantung di ambang kehidupan dan kematian—secara harfiah. Kakinya melayang di udara kosong, hanya ujung jari tangannya yang mencengkeram tanah berbatu.Pak Darto berdiri tegak di hadapannya, bayangan tubuhnya menutupi matahari pagi. Wajahnya tenang, terlalu tenang untuk seseorang yang akan melakukan pembunuhan."Kamu terlalu pintar untuk kebaikanmu sendiri, Margareta." Suaranya datar, tanpa emosi, seperti menyatakan fakta sederhana.Margareta menatapnya dengan mata yang hampir kehilangan cahaya. Napasnya pendek-pendek, tubuhnya gemetar hebat—kombinasi dari kesakitan fisik, ketakutan, dan kelelahan total."Pak... kumohon..." suaranya serak, hampir tidak terdengar. "Jangan..."Pak Darto menggeleng pelan. "Terlambat. Kamu sudah tahu terlalu banyak. Kamu sudah melihat terlalu jauh."Dia mengangkat kakinya, menekan dada Margareta dengan sepatu boots-nya.Margareta merasakan tekanan itu. Jantungnya berdegup kencang thump thump thump seperti dr

  • Petaka Di Gunung Rinjani   Bab 80

    Margareta menatap tali itu dengan mata terbelalak. Napasnya memburu, dada naik-turun dengan cepat. Setiap insting dalam tubuhnya berteriak untuk lari, tapi kakinya tidak bergerak—terlalu lemah, terlalu ketakutan."Jangan..." suaranya gemetar. "Pak, kumohon..."Pak Darto tidak menjawab. Dia melangkah maju dengan tenang, seperti sedang melakukan pekerjaan rutin. Tangannya menggenggam tali dengan kuat.Margareta mencoba merangkak mundur, tangannya mengais-ngais tanah berbatu kres, kres mencari pegangan apa pun. Punggungnya menekan batu besar di belakangnya. Tidak ada jalan keluar."TOLONG!" Margareta berteriak sekeras yang dia bisa. Suaranya bergema di antara tebing dan jurang, tapi hanya kembali sebagai gema kosong. "FIRMAN! DIANA! TOLONG AKU!"Pak Darto berhenti sejenak, menyeringai."Teriaklah sepuasmu. Mereka terlalu jauh. Mereka tidak akan mendengar." Dia melirik ke arah jalur di kejauhan. "Bahkan jika mereka mendengar, mereka akan pikir kamu sedang mengamuk lagi. Gadis gila yang be

  • Petaka Di Gunung Rinjani   Bab 79

    "Pak... tolong... saya butuh bantuan..." suaranya parau, hampir berbisik.Pak Darto tersenyum. Bukan senyum hangat yang biasa dia tunjukkan. Ini berbeda. Senyum dingin, tanpa kehangatan, tanpa kemanusiaan. Matanya—yang selama ini tampak bijaksana—kini memancarkan kekosongan yang mengerikan."Bantuan?" Pak Darto tertawa pelan. Suara tawanya bergema di antara bebatuan. "Kamu pikir aku akan membantumu, Margareta?"Hening sesaat. Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan lapuk."Tidak ada yang akan membantumu di sini." Pak Darto melangkah lebih dekat, sepatu boots-nya menginjak kerikil kecil kres... kres... kres. "Kamu tahu kenapa?"Margareta menggeleng lemah, air mata mulai mengalir di pipinya."Karena akulah yang membunuh mereka semua." Kata-kata itu keluar dengan tenang, seperti seseorang yang sedang membicarakan cuaca. "Setiap. Satu. Orang."Deg.Jantung Margareta seakan berhenti berdetak. Dunia berputar. Meski dia sudah menduga, mendengar pengakuan langsung dari mul

  • Petaka Di Gunung Rinjani   Bab 78

    Ini dia. Hari terakhirku.Pikiran itu datang jernih, tajam, tidak bisa disangkal lagi.Ciit, ciit, ciit.Burung-burung pagi mulai berkicau di luar. Suara yang indah, yang biasanya membawa harapan. Tapi pagi ini, suara itu terdengar seperti lagu duka.Srek.Ritsleting tenda terbuka. Diana muncul dengan senyum yang dipaksakan."Pagi, Margareta. Ayo bangun. Pak Darto sudah siapkan sarapan spesial untukmu."Margareta duduk perlahan. Setiap gerakan terasa berat, seperti bergerak di dalam air."Spesial?""Iya. Katanya kamu butuh energi untuk sesi konseling nanti."Diana mengulurkan tangan, membantu Margareta berdiri. Sentuhan tangannya hangat, tapi ada kekhawatiran di matanya—kekhawatiran untuk orang yang dia anggap sakit mental.Margareta keluar dari tenda. Udara pagi dingin menusuk kulit. Langit masih berwarna ungu pucat di timur, berubah gradasi menjadi merah jambu, lalu oranye.Matahari terbit. Indah. Dramatis.Matahari terakhir yang akan kulihat.Pak Darto berdiri di dekat api unggun y

  • Petaka Di Gunung Rinjani   Bab 77

    Margareta berbaring kaku di sleeping bag. Matanya terbuka menatap kegelapan atap tenda. Jantungnya berdetak tidak teratur.Thump-thump... thump-thump-thump... thump.Ada sesuatu yang salah malam ini. Udara terasa lebih dingin, lebih mencekam. Seperti ada yang menunggu di luar sana sesuatu yang gelap dan lapar.Wuuush.Angin gunung berhembus, membuat kain tenda bergerak-gerak. Bayangan-bayangan menari di dinding.Lalu dia mendengar suara. Pelan. Berbisik. Datang dari luar tenda."...besok pagi."Suara Pak Darto."Yakin aman, Pak?"Suara Firman.Margareta membekukan. Napasnya tertahan. Telinganya menajam, menangkap setiap kata."Tenang saja. Aku sudah melakukan ini berkali-kali."Krek.Suara langkah kaki bergeser."Sesi besok akan membantu dia... satu cara atau yang lain."Jeda panjang. Margareta membayangkan Firman mengangguk, menerima kata-kata itu tanpa pertanyaan."Terima kasih sudah percaya, Firman. Kamu sahabat yang baik.""Sama-sama, Pak. Yang penting Margareta bisa pulih."Langk

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status