Bagian 34
PoV Haris
Teka-Teki Kematian Amalia
Aku seketika itu merasa manusia paling tol*l di muka bumi ini. Bagaimana bisa aku lengah sampai tak mengetahui bahwa Fitri telah masuk ke dalam jeratan Mama? Sesaat aku berpikir. Ya, bisnis telah melalaikanku. Uang yang Mama dan Papa gelontorkan untukku membangun bisnis tepat setelah kelulusanku dari universitas, nyata sudah membuatku terlena.
Kusadari, waktuku kini tersita habis untuk mengembangkan bisnis keluarga yang semakin menggurita. Uang hasil penjualan video yang telah dikumpulkan oleh Papa, kini memang telah berhasil kami sulap menjadi kafe-kafe yang tersebar di beberapa daerah. Tak hanya kafe, usaha yang tengah naik daun seperti makanan atau minuman kekinian pun, ikut kami geluti meski setiap tahunnya akan tereliminasi ketika peminat mulai sepi. Namun, us
Bagian 352 in 1 (PoV Haris & Gita)PoV HarisTeka-Teki Kematian Amalia II Malam itu, Fitri sengaja kutahan di dalam kamar. Tak ada gedoran di depan pintu kamarku. Aman, pikirku. Mama dan Papa ternyata seakan tak peduli dengan kami berdua. Entah apa yang tengah mereka bahas di kamar selanjutnya. Aku enggan peduli. Barang-barang yang dikemasi itu entah apa maksudnya. Mau ke mana Mama malam-malam begini? Kabur? Namun, ke mana? Aku enggan peduli. Yang penting, Fitri sudah berada di sampingku saat ini. Gadis itu telah tertidur beberapa jam yang lalu. Lelah dia menangis. Menceritakan kronologi pelecehan yang kerap Mama lakukan beberapa bulan belakangan ini. F
PoV GitaBERADA DI NERAKA DUNIA Berjam-jam lamanya aku hanya bisa menangis dan berteriak. Tanpa makanan dan air. Bahkan, saat kebelet pipis pun, aku terpaksa harus menahannya sebab terkunci di kamar ini dari luar. Kejam! Kedua mertuaku benar-benar menjadikanku bagai hewan peliharaan yang dikurung di dalam kandang. Mereka benar-benar memperlakukanku secara tidak manusiawi, tanpa aku pernah tahu salahku di mana. Apa maksud mereka menyekapku begini? Apa untungnya bagi mereka? Bahkan aku sama sekali tak tahu tujuanku di bawa ke negara singa ini. Aku benar-benar menyesal telah menolak permintaan Bapak untuk menyuruh Arman menjemputku. Sesalku sangat besar sampai-sampai aku ingin mati saja s
Bagian 362 in 1PoV HarisTeka-Teki Kematian Amalia III Hari-hari berat kami lalu hanya berdua di sini. Astuti mendadak minta berhenti. Alasannya ingin fokus mengurus orangtua di kampung yang sudah sakit-sakitan. Aku tak bisa menahannya lebih lama lagi. Membiarkan Astuti pulang dengan menaiki bus, kurasa itu adalah solusi terbaik. Aku juga enggan dia mengetahui tentang perihal apa yang sebenarnya tengah terjadi di dalam rumah ini. Hampir sebulan Papa dan Mama berada di Singapura. Tanpa sebuah kabar apa pun. Terakhir dia hanya meneleponku pada pagi di mana Fitri menjadi histeris dan mengamuk sebab mengetahui mamanya pergi tanpa pamit. Di sini, aku berusaha menenangkan Fitri yang kadang kala menangis meraung minta dibawa ke Singapura untuk berjumpa dengan Mama.&n
Bagian 37PoV HarisTeka-Teki Kematian Amalia IV “Omong kosong! Tidak mungkin. Jangan bohongi kami, Pa!” Aku berteriak. Sosok Fitri sampai terkejut dan menyambar ponsel dari tanganku. “Halo? Papa, ada apa? Mama di mana, Pa? Aku ingin bicara pada Mama!” Fitri ikut histeris. Gadis itu sampai turun dari tempat tidur dan berdiri dengan posisi satu tangan yang berada di belakang pinggang. “Meninggal?!” Fitri berteriak. Dia menatap ke arahku dengan wajah syok. Matanya sampai membeliak. Dia berkali-kali menggelengkan kepalanya. Sigap, aku menangkap gadis itu. Memeluknya erat, membawanya kembali ke sisi ranjang. Ponsel sampai terlepas dari genggaman F
Bagian 382 in 1PoV HarisTeka-Teki Kematian Amalia V Sore itu juga, Papa mengirimkan gambar-gambar yang sangat membuatku tercengang luar biasa. Gila, pikirku dalam hati, hebat sekali dia membuat semua ini menjadi seperti sangat nyata. Scan surat keterangan kematian dari rumah sakit swasta ternama di Singapura, beberapa potret mendiang Mama yang terbaring di atas tempat tidur dengan wajah yang sangat pucat, beserta foto jenazah yang telah dikafani rapi dalam sebuah peti jenazah, semua telah masuk melalui pesan WhatsApp ke nomorku. Semua seperti sangat nyata, seolah memang Tuhan telah mencabut nyawa Mama. Namun, hati kecilku entah mengapa masih saja menyangkali semua bukti yang disuguhkan oleh Papa. Mama masih hidup, begitu benakku. Aku yakin 100% bahwa dia masih ada di Singapura sana dalam keadaan sehat wal afiat. A
PoV GitaCahaya Harapan Jay telah keluar dari kamar dengan membawa serta piring sisaku makan. Dia hanya meninggalkan gelas yang masih berisi setengah air putih saja di nakas. Aku pun langsung bangun dan duduk bersandar di tempat tidur sembari memeluk kaki. Kutarik napas dalam sembari menyisir seisi ruangan. Mencari-cari di mana kira-kira Irfan dan Amalia menyembunyikan kamera pengintai di kamar ini. Namun, mataku tak mampu menemukan sebuah kamera yang selayaknya dipasang di rumah-rumah. Pasti bukan kamera sebesar itu, pikirku. CCTV yang mereka gunakan bisa saja lebih kecil dan ditempatkan di sudut yang tak terduga. Sudahlah, sepertinya tak ada guna bagiku untuk mencari di mana kamera pengintai yang belum tentu memang di pasang di sini. Sekarang, yang harus k
Bagian 39PoV HarisTeka-Teki Kematian Amalia VI “Fitri … tapi aku memiliki seseorang lain yang kusukai.” Ucapanku sontak membuat mata Fitri semakin meredup. Mimiknya terlihat kecewa. Gadis itu pun menyeka sisa bulir air mata bekas tangisannya barusan. “B-baiklah, Mas.” Gadis itu tertunduk lesu. Nada bicaranya bagai kuntum layu yang tak lagi memiliki niat untuk mekar mengembang. Sebenarnya, aku menyesal karena sudah membuat harapan gadis tersebut pupus. “Namun, silakan menyukaiku. Buat aku bisa menyukaimu balik dan melupakan kenangan masa laluku, Fit.” Kuusap rambut legam milik Fitri. Perlahan, gadis cantik dengan kulit kapas itu mengangkat kepalanya. Matanya berkaca lagi, sedang bibir merah mudanya bergetar.
PoV GitaKedatangan Polisi “Raise hands! (angkat tangan!).” Salah satu lelaki bertubuh tinggi dengan senjata laras panjang tersebut berteriak dengan suara yang keras. Dua di antara mereka meringsek maju dengan gerakan yang sangat cepat. Menyergap kedua orang aneh yang telah menyekapku selama hampir 24 jam di kamar ini. Jantungku serasa mau lepas dengan mata yang semakin basah akibat tangis haru, cemas, dan bahagia yang bercampur menjadi satu. Aku terbaring tengkurap di atas kasur dengan kedua tangan yang berada di atas. Namun, bisa kulihat dengan jelas, betapa bengis dua lelaki berkulit langsat dengan seragam kepolisian Singapura yang berwarna serba hitam tersebut memborgol tangan milik Papa dan Amalia. Wajah kedua pasangan suami istri tersebut langsung pucat pasi.