Entah bagaimana bisa aku begitu ceroboh hingga memperdengarkan pesan suara dari Mamah dengan volume yang cukup keras. Bukan hanya Hana, bahkan Pak Ramdan ternyata sudah ada di ambang pintu. Entah apa yang akan mereka pikirkan tentang keluargaku.
Tuhan, kenapa aku harus lahir dari Ibu yang tega menghancurkan rumah tangga putranya sendiri?
Sekarang bahkan, rumah tangga mereka harus ikut hancur. Apakah ini balasanmu atas perbuatanku yang membiarkan kezaliman ibu, hingga hubungan yang dibangun dengan susah payah malah kandas begitu saja.
“Pernikahan itu bukan hanya tentang dua orang, tapi dua keluarga besar. Saya enggak akan mengulang kesalahan untuk kedua kalinya. Jangan meminta putriku untuk terus menemanimu, jika kamu bahkan enggak sanggup memberikan rasa aman. Uangmu enggak berguna, meski itu berkali-kali lipat dari apa yang kami miliki. Susul ayah dan ibumu, kurasa mereka lebih butuh kamu!”
“Saya enggak bisa menceraikan Hana, apa pun it
“Astagfirrullah Hana, maafin Abang. Ini semua salah paham. Abang pikir dia kamu.”Hana sama sekali tak peduli dengan apa yang kuucap. Wanita itu melenggang pergi. Pelan ia menaiki anak tangga, satu persatu dengan berpegangan kuat pada pagar pembatas. Bahkan dari belakang, tampak jika ia masih ketakutan.Aku berusaha menyusul mengabaikan Sawa, yang entah bagaimana ceritanya dia bisa berada di sini.Sekarang baru terlihat jelas jika, kening Hana bahkan sudah berkeringat.Ia tampak pucat. Aneh sekali padahal hanya menaiki tangga.“Kamu baik-baik aja, biar aku bantu!” ucapku, sambil memeluk pinggangnya yang saat itu bahkan hampir oleng.“Jangan menolak, atau kamu akan jatuh ke bawah!”“Kenapa mendadak peduli? Lepaskan! Aku sudah terbiasa melakukan apa pun sendirian.”“Akan kulepaskan nanti, setelah kita sampai ke atas.”Untung saja saat itu Hana tak b
“Kalian yang melaporkanku?” teriak Mamah dari lantai atas.Membuat Pak Ramdan dan Hana menghentikan langkahnya. Mereka berbalik, lantas tersenyum menatap kami.“Andai saja Hana, tidak menahan saya, sudah saya laporkan Anda ke polisi saat itu juga!”“Jadi maksud Bapak? Bukan kalian yang melaporkannya? Lalu, siapa?”“Mas Adi,” lirih Mamah.Wajahnya tampak shock. Begitu pun aku. Masih tak menyangka jika ayahku yang akhirnya malah melaporkannya ke polisi.“Ini enggak mungkin Raka, dia tega melaporkan Mamah ke polisi. Bagaimana bisa dia melakukan semua ini? Hiks hiks. Raka, kamu harus bantu Mamah!”Mamah menarik bajuku. Wanita itu menangis sejadi-jadinya.Aku mendekap untuk membuatnya sedikit tenang.“Kamu enggak akan ninggalin Mamah ‘kan, Ka?”Aku hanya mengangguk lantas, Sawa yang berada tak jauh mulai mendekat. Tangannya mengusap
Tuhan, beri tahu apa yang tertulis di takdir kami? Yang kulakukan hanya mencintainya.Setelah menyatukan dua takdir, entah bagaimana garis nasib kita terputus? Aku tak pernah membayangkan jika setelah bersatu, kita akan berpisah.~~“Bawa motornya Bon,” ucapku sambil melempar kunci motor pada Bobon.“Siap,” katanya lantas menangkap kunci motor.Bobon adalah asistenku di kantor. Namun, karena kami memang berteman sejak masa kuliah. Ia bahkan tak keberatan jika harus mengerjakan di luar kewajibannya di kantor.Dibukakannya pintu mobil yang sebelumnya kuminta Bobon untuk membawanya ke arah sana. Setelah, memakaikan sabuk pengamanan pada Hana. Lantas, aku mulai mengendarai mobil itu menuju apartemen.Aku sengaja membawanya ke sana, karena tidak ada orang lain yang punya akses ke sana, selain aku.“Maafkan, aku Hana. Aku tidak tahu, harus bagaimana lagi cara mempertahankanmu, agar teta
“Hiks, kumohon jangan lakukan ini!”Hana bahkan mencengkeram kerah bajunya kuat-kuat. Matanya basah, bahkan sekarang ia terpejam. Seolah yang akan kulakukan adalah sebuah kesalahan.Bagaimana bisa hubungan yang dulunya kau sambut dengan penuh suka cinta dan senyuman termanismu kini, malah berganti duka dan ketakutan.Kenapa? Apa aku begitu mengerikan bagimu?“Buka matamu, Hana!”Bukannya membuka mata, ia malah menggeleng pelan.“Kamu akan menyesal, jika melakukannya.”“Aku telah lama menyesal, Hana. Sejak saat aku meninggalkanmu sendirian di rumah. Aku sangat menyesal melihatmu terkapar sepanjang hari. Aku menyesal, karena enggak ada yang bisa kuperbuat. Aku menyesal Hana, karena aku tidak tahu harus ada di pihak siapa. Aku ingin memberikan keadilan padamu, tapi itu artinya aku harus mengorbankan wanita yang melahirkanku.”Argh!Sungguh saat itu, aku menggebra
“Aku akan menceraikannya, setelah ia sembuh.Pak Ramdan masih saja tak percaya dengan apa yang aku katakan.“Mari kita buat perjanjian, hitam di atas putih!”“Baiklah, tunggu biar saya siapkan semuanya.”“Biar saya saja yang menyiapkan perjanjiannya. Ambilkan materainya di laci Ayah, Bu!”Riswan yang saat itu masih berada di ruangan yang sama. Langsung berinisiatif membantu. Ia juga yang menuliskan perjanjian di antara kami.Di mana dalam waktu 3 bulan aku akan melepaskan Hana, atau sampai Hana benar-benar dinyatakan sembuh oleh dokter.Setelah surat itu selesai di ketik kami semua menandatangan semua itu. Termasuk Riswan dan istrinya juga Bu Sundari sebagai saksi.“Aku masih butuh kartu identitas Hana, untuk mengurus paspor dan visanya.”“Akan saya ambilkan,” ucap Pak Ramdan masih dengan wajah bengisnya.Berbeda dengan Bu Sundari yang sejak surat i
Aku tak mampu menggapaimu, meski telah mendapatkanmu.Ketika cinta ada di antara kita, kenapa pemisah masih tetap ada? Aku bisa melihat cinta di matamu, tapi kenapa seolah itu tak tampak.~~Belum juga aku menjawab pertanyaan Mamah. Hana sudah lebih dulu pergi meninggalkan ruangan ini.“Ayah ....”“Kejar Ka, jangan sia-siakan apa yang sudah Ayah lakukan buat kamu,” bisik Ayah.Ia menepuk pundak, lantas sedikit mendorongku.“Raka, kalau kamu pergi. Kamu bukan lagi anak Mamah.”Langkahku mendadak berat. Aku kembali menengok ke belakang. Menatap wajah Mamah yang sudah basah, tetapi sekali lagi Ayah membantuku.“Jangan berkata sembarangan! Kamu sering kali membuat pilihan yang sulit, kalau ingin semua orang menghormatimu, bukan seperti itu caranya,” ucap Ayah.“Pergilah Ka, biar ini jadi urusan Ayah!”“Raka jangan pergi! Hiks, hiks.
Kau milikku sekarang, tapi esok mungkin tak akan sama lagi. Perlahan jalan kita akan berpisah, kita akan kehilangan satu sama lain. Entah esok kamu masih mencintaiku atau tidak, atau masih mengizinkanku untuk mencintaimu atau tidak. Tapi, aku akan tetap mencintaimu, Hana. Bersama dengan serpihan hatiku yang hancur, aku akan tetap menunggumu untuk kembali membuka pintu hati. ~~ Kami makan dalam diam. Suasana begitu canggung. Sudah lama rasanya, bisa makan berdua dengan Hana seperti ini. Aku sengaja mempercepat makan. “Mau ke mana?” tanya Hana, yang melihatku kembali memaki jaket. “Mau keluar sebentar, tidur duluan aja. Enggak usah nunggu. Hmm, maksudnya aku mungkin pulang arut malam.” “Kenapa?” “Sejak kapan kamu jadi ingin tahu urusanku?” Aku sengaja menaik turunkan kedua alisku, hanya untuk menggodanya. Sampai-sampai, itu membuat Hana menunduk dan terdiam untuk sesaat. “Surat-surat
“Hana, kenapa begini? Harus ada alasan ‘kan?” tanyaku.Setelah kami sampai di bandara bahkan Hana terus saja menghindar. Ia bahkan sengaja mempercepat langkah.“Jangan percepat jalanmu, aku tahu kamu kesakitan. Kenapa sih harus memaksa diri. Kamu bisa bilang kalau ingin jalan duluan!” teriaku masa bodo dengan perhatian orang-orang di bandara. Hana berbalik, tetapi hanya sejenak. Ia kembali meneruskan langkah, meski kali ini lebih pelan.Aku masih mengejarnya, tetapi sedikit memberi jarak. Ingin sekali berada sejajar dengannya. Namun, aku sudah berjanji untuk memperbaiki diri. Mengurangi hal paling dasar, yang membuat Hana membenciku.“Sayang.”Hana bahkan tak bergeming.“Aku tahu kamu mendengarku.”“Jangan panggil aku dengan sebutan itu lagi?”“Kenapa berubah secepat ini. Bukankah kita akan merayakan kesembuhanmu ini. Tapi, ada apa dengan sikapmu. Kenapa be