Share

Berhenti Mencintai

“Secepat itu kamu memutuskan untuk berpisah, Hana? Setelah semua yang kita lalui.”

Aku meletakkan lengan Hana di dada. Hanya agar dia yakin, jika keputusannya salah. Kita masih bisa bersama dan akan selamanya begitu. Namun, sekali lagi ia hanya menggeleng pelan. 

Pelan sekali, tetapi kenapa begitu menyiksa di hatiku.

“Hana, please. Kita bisa memperbaiki semuanya. Kau tahu aku akan belajar jadi suami yang lebih baik lagi?”

“Tapi, bagaimana kalau prosesnya gagal? Bukankah, sangat mungkin bagi seseorang untuk gagal? Bukankah kita telah mencobanya selama 3 tahun dan bagaimana hasilnya?”

“Aku tahu, semua memang salahku. Sudah kubilang hukum saja aku, tetapi jangan pernah pergi.”

Sekuat tenaga Hana berusaha bangun, hanya untuk mengusap wajahku.

“Semakin ke sini, aku sadar terlalu banyak perbedaan di antara kita.”

“Bukankah semua manusia memang berbeda? Tuhan menciptakan kita berbeda untuk saling melengkapi, kamu yang bilang begitu padaku.”

“Iya, tapi ternyata semua itu keliru. Perbedaan di antara kita terlalu terjal. Lihat saja, aku hanya lulusan SMA sudah menjadi kemuliaan bagi gadis desa sepertiku bisa menjadi pasanganmu.”

“Jangan bicara seperti itu Hana, aku tidak suka.”

“Suka atau tidak suka kenyataannya begitu.”

“Kamu membenciku?”

“Enggak.”

“Lalu, kenapa pergi?”

“Keadaan yang memaksa kita, aku enggak bisa egois. Bagaimana kamu akan bersikap jika suatu hari bukan aku yang terbaring di sini, tetapi anak-anak kita? Apa yang akan kamu lakukan?”

Aku bahkan tak pernah membayangkan hal mengerikan itu.

“Hubungan kita sudah tidak bisa dipertahankan lagi Abang, maka jalan terbaik hanya perpisahan.”

“Bagaimana kalau aku tidak akan pernah mengucap talak? Bukankah itu artinya kita akan tetap sama-sama.”

Masa bodo jika dia akan beranggapan aku egois. Sungguh, baru kali ini aku begitu takut kehilangan Hana. Aku bahkan tak dapat membayangkan bagaimana nasibku tanpa kalian. Kuakui selama ini aku terlalu mementingkan diri sendiri. Namun, apakah aku tak layak mendapatkan kesempatan kedua?

“Abang sadar Hana, selama ini hanya peduli dengan kehidupan sendiri. Tapi, percayalah ini semua sudah cukup. Abang ingin berubah. Kamu tahu ‘kan, rumah baru kita hampir selesai. Kita akan tinggal di sana. Hanya tinggal finishing. Bukankah kamu menginginkan rumah yang luas dan hijau. Ayolah Hana, tetaplah di sini.”

“Abang sudahlah, seiring berjalannya waktu aku berpikir jika pernikahan kita memang sudah salah sejak awal.”

“Kamu menyerah?”

“Abang tahu, awalnya aku pikir jika bersamamu aku akan mendapatkan kehormatanku. Nyatanya, kamu malah merendahkanku, padahal kamulah yang membuatku terlihat rendah.”

“Hana, tolong jangan bahas masalah itu.”

“Oke, lupakan saja. Tapi, bagaimana dengan luka yang terlanjur membekas di hatiku. Abang tahu, sejak saat kau menarik pakaianku, aku selalu belajar memperbaiki diri. Bahkan, sampai hari ini.”

“Hana, maafkan aku. Abang benar-benar enggak tahu, kalau perkataan kemarin menyakitimu begitu dalam.”

“Enggak apa, bukankah Abang sudah biasa tidak tahu apa pun.” 

Hana hanya tersenyum tipis.

“Aku mengantuk sekali, bisakah Abang meninggalkanku sendiri. Bukankah aku harus cepat pulih, setidaknya itu akan membuat Mamah senang.”

“Tapi, bagaimana dengan perasaanku. Kamu enggak ingin melihatku senang juga.”

“Abang akan bahagia dengan Sawa. Berpisah itu lebih baik, dari pada bertahan, tapi enggak punya arti,” kata Hana. 

Sesekali dia tampak menguap. Sejujurnya aku masih ingin bicara banyak hal dengannya. Sungguh aku tak pernah ingin bersamanya sekuat ini.

Aku tak ingin meninggalkannya sedetik pun. Aku takut, takut jika dia dibawa pergi begitu saja, sama seperti anak-anakku.

Namun, sayangnya Pak Ramdan justru menarikku ke luar.

“Ditunggu ayahmu di luar!” katanya.

Aku mendekat untuk tahu apa yang ingin mereka bicarakan. Namun, ternyata Ayah malah mengajakku untuk pulang. Tak ada yang kami bicarakan. Entah masing-masing sibuk dengan pemikirannya sendiri. 

“Ka, istirshat! Kasih mereka ruang sebentar. Berdoa aja semoga, ada jalan terbaik buat kita semua,” kata Ayah.

Aamiin,” kataku sekaligus mengakhiri pembicaraan.

Hari ini aku memilih untuk pulang ke rumah. Namun, baru saja minta berhenti, Mamah lagi-lagi membuka suara.

“Menginap saja di rumah? Kenapa juga kamu pilih buat tidur sendirian?” 

Aku hanya diam, memilih berlalu dan pergi. Namun, sayup-sayup sempat terdengar di telinga jika Ayah menasihati istrinya, untuk diam dan jangan terlalu banyak ikut campur.

Aku yakin, hubungan mereka sedang tidak baik-baik saja, tetapi hubunganku bahkan sedang ada di ujung tanduk.

Esok hari, karena banyak pekerjaan yang mendesak terpaksa aku harus bersiap pergi ke kantor. Aku sudah berusaha untuk pulang lebih awal, tetapi nyatanya sampai larut malam aku masih saja tertahan di kantor. 

Aku memilih untuk bermalam di rumah sakit menunggu Hana jauh lebih membuatku tenang, meski nyatanya di sana aku tak akan disambut dengan baik. Tak apa, setidaknya masih bisa melihat dia dari jauh saja sudah cukup.

Waktu berlalu setiap hari, aku bermalam di rumah sakit. Hanya untuk menemani Hana, meski sampai sekarang pun Pak Ramdan masih bersikeras melarangku untuk masuk.

Entah kenapa, rasanya sejak ia mengucap kata pisah. Aku malah tak bisa menjauh darinya sama sekali. Setiap waktu selalu dihantui rasa takut, jika di kemudian hal itu menjadi nyata.

Benar saja dugaanku. Sampai sana, aku bahkan tak diperkenankan untuk masuk. 

Tepat saat azan subuh berkumandang, barulah Pak Ramdan keluar dari ruangan. Hanya di waktu salat, aku bisa bertemu Hana. Aku tahu pria itu melihatku yang berdiri sambil mengulurkan tangan, hendak mengajaknya bersalaman. Namun, ia berlalu begitu saja seolah aku ini tak tampak. 

Kebetulan sekali hari ini aku datang kembali, tepat saat azan magrib, jadi bisa langsung bertemu dengannya.

Tak mau membuang kesempatan, aku segera masuk ke dalam. Rupanya Hana sudah bangun. Ia melihatku dengan tatapan heran, tetapi kemudian kembali fokus melantunkan zikirnya, saat itu sepertinya Hana baru saja menunaikan salat.

Selesai dengan kewajibanku, aku mendekatinya yang terus saja menyibukkan diri.

“Sayang.”

Hana hanya menatapku.

“Mau makan enggak?”

“Enggak.”

“Hmm, ada yang sakit enggak atau mau minum? Abang ambilkan, ya?”

“Kenapa ke sini?”

“Ya, nemenin kamu.”

“Aku enggak butuh ditemani.”

“Na.”

“Bahkan, kalau pun Abang datang setiap hari. Itu enggak akan membuat keputusanku berubah.”

“Kenapa, Hana? Kita masih saling mencintai ‘kan?”

“Apa itu cinta? Aku sudah lupa bagaimana rasanya dicintai.”

“Apa maksudmu?”

“Pernah enggak, Abang ingin tahu, ketika aku sakit dan harus menjaga kedua bayi kita sendirian? Pernah enggak iba atau setidaknya sedikit saja merasa penasaran, bagaimana menenangkan mereka saat aku bahkan kesulitan untuk bangun? Abang enggak pernah melakukan semua itu.”

“Aku salah, Hana.”

Sungguh saat ini, aku bahkan tak sanggup mengangkat kepala.

“Kamu tahu, hari di mana kamu mengucap kata murahan padaku. Maka detik itu juga, aku berhenti mencintaimu. Pergilah, bukankah sekarang tidak ada alasan lagi bagi kita untuk bersama?”

Belum reda sesak atas kalimat Hana barusan, ponselku terus saja berdering. Siapa lagi kalau bukan dari Mamah. Hanya dia yang biasa melakukan panggilan berkali-kali padaku.

Ada 10 panggilan tak terjawab, entah ada apa?

Tahu, jika pesannya baru saja terbaca olehku. Ia malah mengirim voice note.

[Raka, bisa enggak kamu ceraikan saja Hana? Demi kebaikan kita semua. Kamu tahu, sekarang Ayah malah menalak Mamah hiks, hiks. Mamah harus bagaimana? Tolong bantu Mamah bujuk Ayah, Mamah enggak mau dicerai, hiks.]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status