Share

Bab 7

 Sementara sejenak kami berhenti memikirkan cara lain untuk menyeberang. Hari tertawa dengan mata berbinar. “Ini jauh lebih baik daripada menaiki truk, teman-teman.” Katanya melangkah menuju jembatan.

 “Hentikan bro.” kata Rudi berteriak.

 “Ayolah!” kata Hari. “Ayo kita pergi.” Dia sudah berada di awal jembatan, di mana penyangga kayu dibangun di atas tanah dengan tali membentang sebagai penopang.

 “Tidak.” Dimas berkata dengan gelisah. “Ada jembatan lain yang lebih baik di atas sana.” sambil menunjuk arah sebelah kiri dari tempatnya berdiri.

 Saya berkata, “Ya benar. Ada jembatan besar di sana, sekitar lima ratus meter dari sini.”

 “Jadilah seperti laki-laki kawan.” Hari berteriak. “Itu berarti kita harus berjalan lebih dari lima ratus meter menyusuri sungai di sisi ini dan kemudian lima ratus meter kembali di sisi lain, hanya untuk memempuh jarak tidak lebih dari tiga puluh meter di seberang jembatan ini. Ini akan memakan waktu lebih dari satu jam. Kita bisa menyeberangi jembatan dan sampai ke tempat yang sama dalam waktu kurang dari sepuluh menit.”

 “Tetapi itu jauh lebih baik, daripada kita melewati jembatan ini dan kemungkinan terburuknya kita akan terjatuh, maka kita tidak akan pernah sampai seberang,” kata Dimas. Dia tidak menatap Hari, dia melihat ke bawah ke sungai.

 "Hentikan omong kosongmu! Dasar kau kucibg penakut." kata Hari. Dia memanjat salah satu sisi penyangga jembatan dan berpegangan pada penyangga kayu. Dia masih tergantung di atas tanah, dengan sungai dua puluh meter di bawahnya dan hanya membanyangkan hal itu sudah membuatku merasa mual.

 “Lihat betapa kuatnya ini.” kata Hari. "Ini tidak akan membuatmu mati." Dia kemudian melompat ke tanah, menyeka telapak tangannya kemudian naik kembali ke sisi penyangga yang lain dan melakukan lagi seperti sebelumnya.

 “Bagaimana kalau jembatannya putus saat kita berada di tengah? Jembatan ini terlihat sangat rapuh dan sepertinya tidak pernah digunakan dalam waktu yang lama.” kata Dimas. "Mungkin kita tidak akan mati, tapi itu sudah cukup untuk membuat kita minimal cacat seumur hidup. Dan itu jauh lebih mengerikan daripada mati."

 “Apakah kamu benar-benar takut?” tanya Hari. “Kamu bisa pergi kesana jika kamu mau, tapi aku akan menyeberangi jembatan ini. Aku akan menunggumu di seberang sana!”

 “Mungkin ada cara lain yang lebih baik.” Kataku. “Kita bisa menyeberang secara bergantian. Saat satu orang sampai seberang, kemudian yang lain bisa menyeberang menyusulnya.”

 “Ya itu ide yang bagus menurutku.” Hari sangat senang dengan kemenangannya.

 "Ya benar, aku juga setuju dengan ide Deni." kata Rudi. Dia hanya menatapku senang, kemudian berbalik ke Dimas. “Aku menantangmu, Dimas. Kau bisa menolaknya kalau kau terlalu pengecut.”

 “Baiklah. Jangan pernah kalian menyesalinya, setidaknya aku sudah berusaha memperingatkan.” Kata Dimas pasrah. “Siapa yang akan pergi terlebih dulu?”

 “Biarkan Hari yang pertama.” kata Rudi. "Setelah dia di seberang kita bisa memutuskan salah satu di antara kita selanjutnya."

 “TIDAK!” teriak Hari.

 Dimas berdeham dan berkata. “Apa maksudmu ‘tidak’? Kau yang mengusulkan ini.” katanya dengan kesal. "Apa kau yang sekarang mejadi pengecut?" balasnya mengejek.

 “Aku menghargai keberanianmu Dimas, dan aku akan membiarkanmu bersikap seperti laki-laki dengan menjadi orang yang pertama melakukannya.” Kata Hari.

 “Oke aku setuju.” kata Rudi. “Tapi kami ragu apakah dia punya nyali.”

 “Oke, aku tunjukan pada kalian semua.” Kataku Dimas geram.

 Kami melewati ke jembatan satu per satu, dari mulai Dimas, lalu Rudi, lalu Hari, dan aku terakhir karena akulah yang menyatakan keputusannya.

 Ketika menyeberang, Anda harus berjalan melihat ke bawah, untuk memastikan Anda meletakkan kaki Anda dengan benar di atas kayu. Saya melihat teman-temanku sudah sampai di sisi lain jembatan, dan saya merasa senang untuk mereka.

 Saya melihat sungai saat tiba giliran saya, terlihat batu-batu besar di bawah sana, saya berhenti untuk meliatnya dan beralih untuk melihat ke atas sesaat menghela nafas. Saya mulai melangkah dengan penuh perhitungan, ketika saya hampir setengah jalan, saya berhenti lagi dan melihat ke atas lagi. Sampai akhirnya saya berhasil menyusul mereka di seberang, dengan sangat berhati-hati.

  Saya membungkuk dan menyentuh tanah. Merasakan getaran sangat keras, meskipun tidak mengeluarkan suara. Itu adalah getaran jantung saya sendiri yang berdetak beberapa kali lipat lebih cepat dari biasanya. Saya tidak pernah merasa takut seperti saat itu. Seluruh tubuhku terasa berhenti bekerja. Kakiku terasa seperti air tumpah. Mulutku terbuka meskipun aku tidak membukanya, itu terbuka dengan sendirinya. Saya tidak bisa bergerak, tapi saya bisa merasakan segala sesuatu di dalam diri saya dan berusaha mengatur nafas saya kembali.

 Seumur hidup, saya tidak pernah merasa ketakutan seperti saat itu. Itu adalah untuk pertama dan terakhir kalinya saya merasakan sensasi antara hidup dan mati sampai saat ini.

 "Baiklah kita beristirahat sepuluh menit disini." kata Rudi memberikan botol minuman kepadaku.

 "Tidak Rud." bantah Dimas. "Tujuan kita hanya seratus meter di depan sana. Kita bisa beristirahat disana sebelum mendirikan tenda."

 "Bagaimana menurutmu Deni?" tanya Rudi.

 "Aku setuju dengan Dimas." jawabku sambil menyeka keringat.

 Ketika akan melanjutkan perjalanan, kami baru menyadari ada sesuatu yang salah. Hari tidak ada di tempat terakhir dia berdiri. Dia benar-benar menghilang. Sejenak kami terdiam saling memandang satu sama lain, kemudian mulai berteriak panik memanggil namanya dan memutar melihat ke segala arah.

 "Aku sangat yakin, Hari tadi berdiri telat di belakangku." kata Rudi dengan panik.

 "Ya, aku juga dapat memastikan dia sudah menyeberangu jembatan." Kataku. "Aku benar-benar yakin melihatnya."

 Belum hilang kepanikan kami, masih terus berteriak mencari ke segala arah. Tiba-tiba muncul sosok bayangan hitam dari balik sebuah pohon besar beberapa puluh meter dari tempat kami berdiri. Karena saat itu sudah gelap, kami tidak dapat melihat dengan jelas sosok apa itu. 

 Ketika sosok hitam itu perlahan mendekat, kami bertiga secara naluri bergerak mundur, tubuh kami gemetar tidak karuan, mata kami terbelalak, sangat jelas kami ketakutan setengah mati.

 "Kalian berteriak seperti anjing menggonggong, itu sangat mengganggu konsentrasiku." kata sosok itu dengan kesal, yang tidak lain adalah Hari.

 "Kau...kau benar-benar Hari?" kata Dimas yang masih panik.

 "Apa kau bercanda? Jelas ini aku." kata hari sambil menyalakan senter dan menyorotkan ke mukanya.

 "Apa yang kau lakukan, bangsat?" Teriak Rudi meluapkan kekesalannya. "Kau membuat kami ketakutan."

 "Hah, memang dasarnya kalian pengecut. Hahaha." Jawab hari sambil tertawa puas. "Aku tidak dapat lagi menahan untuk buak air, perutku sudah terasa mati rasa tadi."

 Mendengar alasan Hari yang konyol dengan nada tidak merasa bersalah, hanya membuat kami semakin geram dengannya. Tanpa basa-basi lagi kami menjitaki kepalanya untuk sekedar melampiaskan ketakutan kami.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status