Sementara sejenak kami berhenti memikirkan cara lain untuk menyeberang. Hari tertawa dengan mata berbinar. “Ini jauh lebih baik daripada menaiki truk, teman-teman.” Katanya melangkah menuju jembatan.
“Hentikan bro.” kata Rudi berteriak.
“Ayolah!” kata Hari. “Ayo kita pergi.” Dia sudah berada di awal jembatan, di mana penyangga kayu dibangun di atas tanah dengan tali membentang sebagai penopang.
“Tidak.” Dimas berkata dengan gelisah. “Ada jembatan lain yang lebih baik di atas sana.” sambil menunjuk arah sebelah kiri dari tempatnya berdiri.
Saya berkata, “Ya benar. Ada jembatan besar di sana, sekitar lima ratus meter dari sini.”
“Jadilah seperti laki-laki kawan.” Hari berteriak. “Itu berarti kita harus berjalan lebih dari lima ratus meter menyusuri sungai di sisi ini dan kemudian lima ratus meter kembali di sisi lain, hanya untuk memempuh jarak tidak lebih dari tiga puluh meter di seberang jembatan ini. Ini akan memakan waktu lebih dari satu jam. Kita bisa menyeberangi jembatan dan sampai ke tempat yang sama dalam waktu kurang dari sepuluh menit.”
“Tetapi itu jauh lebih baik, daripada kita melewati jembatan ini dan kemungkinan terburuknya kita akan terjatuh, maka kita tidak akan pernah sampai seberang,” kata Dimas. Dia tidak menatap Hari, dia melihat ke bawah ke sungai.
"Hentikan omong kosongmu! Dasar kau kucibg penakut." kata Hari. Dia memanjat salah satu sisi penyangga jembatan dan berpegangan pada penyangga kayu. Dia masih tergantung di atas tanah, dengan sungai dua puluh meter di bawahnya dan hanya membanyangkan hal itu sudah membuatku merasa mual.
“Lihat betapa kuatnya ini.” kata Hari. "Ini tidak akan membuatmu mati." Dia kemudian melompat ke tanah, menyeka telapak tangannya kemudian naik kembali ke sisi penyangga yang lain dan melakukan lagi seperti sebelumnya.
“Bagaimana kalau jembatannya putus saat kita berada di tengah? Jembatan ini terlihat sangat rapuh dan sepertinya tidak pernah digunakan dalam waktu yang lama.” kata Dimas. "Mungkin kita tidak akan mati, tapi itu sudah cukup untuk membuat kita minimal cacat seumur hidup. Dan itu jauh lebih mengerikan daripada mati."
“Apakah kamu benar-benar takut?” tanya Hari. “Kamu bisa pergi kesana jika kamu mau, tapi aku akan menyeberangi jembatan ini. Aku akan menunggumu di seberang sana!”
“Mungkin ada cara lain yang lebih baik.” Kataku. “Kita bisa menyeberang secara bergantian. Saat satu orang sampai seberang, kemudian yang lain bisa menyeberang menyusulnya.”
“Ya itu ide yang bagus menurutku.” Hari sangat senang dengan kemenangannya.
"Ya benar, aku juga setuju dengan ide Deni." kata Rudi. Dia hanya menatapku senang, kemudian berbalik ke Dimas. “Aku menantangmu, Dimas. Kau bisa menolaknya kalau kau terlalu pengecut.”
“Baiklah. Jangan pernah kalian menyesalinya, setidaknya aku sudah berusaha memperingatkan.” Kata Dimas pasrah. “Siapa yang akan pergi terlebih dulu?”
“Biarkan Hari yang pertama.” kata Rudi. "Setelah dia di seberang kita bisa memutuskan salah satu di antara kita selanjutnya."
“TIDAK!” teriak Hari.
Dimas berdeham dan berkata. “Apa maksudmu ‘tidak’? Kau yang mengusulkan ini.” katanya dengan kesal. "Apa kau yang sekarang mejadi pengecut?" balasnya mengejek.
“Aku menghargai keberanianmu Dimas, dan aku akan membiarkanmu bersikap seperti laki-laki dengan menjadi orang yang pertama melakukannya.” Kata Hari.
“Oke aku setuju.” kata Rudi. “Tapi kami ragu apakah dia punya nyali.”
“Oke, aku tunjukan pada kalian semua.” Kataku Dimas geram.
Kami melewati ke jembatan satu per satu, dari mulai Dimas, lalu Rudi, lalu Hari, dan aku terakhir karena akulah yang menyatakan keputusannya.
Ketika menyeberang, Anda harus berjalan melihat ke bawah, untuk memastikan Anda meletakkan kaki Anda dengan benar di atas kayu. Saya melihat teman-temanku sudah sampai di sisi lain jembatan, dan saya merasa senang untuk mereka.
Saya melihat sungai saat tiba giliran saya, terlihat batu-batu besar di bawah sana, saya berhenti untuk meliatnya dan beralih untuk melihat ke atas sesaat menghela nafas. Saya mulai melangkah dengan penuh perhitungan, ketika saya hampir setengah jalan, saya berhenti lagi dan melihat ke atas lagi. Sampai akhirnya saya berhasil menyusul mereka di seberang, dengan sangat berhati-hati.
Saya membungkuk dan menyentuh tanah. Merasakan getaran sangat keras, meskipun tidak mengeluarkan suara. Itu adalah getaran jantung saya sendiri yang berdetak beberapa kali lipat lebih cepat dari biasanya. Saya tidak pernah merasa takut seperti saat itu. Seluruh tubuhku terasa berhenti bekerja. Kakiku terasa seperti air tumpah. Mulutku terbuka meskipun aku tidak membukanya, itu terbuka dengan sendirinya. Saya tidak bisa bergerak, tapi saya bisa merasakan segala sesuatu di dalam diri saya dan berusaha mengatur nafas saya kembali.
Seumur hidup, saya tidak pernah merasa ketakutan seperti saat itu. Itu adalah untuk pertama dan terakhir kalinya saya merasakan sensasi antara hidup dan mati sampai saat ini.
"Baiklah kita beristirahat sepuluh menit disini." kata Rudi memberikan botol minuman kepadaku.
"Tidak Rud." bantah Dimas. "Tujuan kita hanya seratus meter di depan sana. Kita bisa beristirahat disana sebelum mendirikan tenda."
"Bagaimana menurutmu Deni?" tanya Rudi.
"Aku setuju dengan Dimas." jawabku sambil menyeka keringat.
Ketika akan melanjutkan perjalanan, kami baru menyadari ada sesuatu yang salah. Hari tidak ada di tempat terakhir dia berdiri. Dia benar-benar menghilang. Sejenak kami terdiam saling memandang satu sama lain, kemudian mulai berteriak panik memanggil namanya dan memutar melihat ke segala arah.
"Aku sangat yakin, Hari tadi berdiri telat di belakangku." kata Rudi dengan panik.
"Ya, aku juga dapat memastikan dia sudah menyeberangu jembatan." Kataku. "Aku benar-benar yakin melihatnya."
Belum hilang kepanikan kami, masih terus berteriak mencari ke segala arah. Tiba-tiba muncul sosok bayangan hitam dari balik sebuah pohon besar beberapa puluh meter dari tempat kami berdiri. Karena saat itu sudah gelap, kami tidak dapat melihat dengan jelas sosok apa itu.
Ketika sosok hitam itu perlahan mendekat, kami bertiga secara naluri bergerak mundur, tubuh kami gemetar tidak karuan, mata kami terbelalak, sangat jelas kami ketakutan setengah mati.
"Kalian berteriak seperti anjing menggonggong, itu sangat mengganggu konsentrasiku." kata sosok itu dengan kesal, yang tidak lain adalah Hari.
"Kau...kau benar-benar Hari?" kata Dimas yang masih panik.
"Apa kau bercanda? Jelas ini aku." kata hari sambil menyalakan senter dan menyorotkan ke mukanya.
"Apa yang kau lakukan, bangsat?" Teriak Rudi meluapkan kekesalannya. "Kau membuat kami ketakutan."
"Hah, memang dasarnya kalian pengecut. Hahaha." Jawab hari sambil tertawa puas. "Aku tidak dapat lagi menahan untuk buak air, perutku sudah terasa mati rasa tadi."
Mendengar alasan Hari yang konyol dengan nada tidak merasa bersalah, hanya membuat kami semakin geram dengannya. Tanpa basa-basi lagi kami menjitaki kepalanya untuk sekedar melampiaskan ketakutan kami.
Kami sudah sampai di tempat yang kami tuju. Udara penuh dengan serangga penggigit yang seukuran pesawat terbang, tapi sejuk dan suasana terasa luar biasa keren.Setelah selesai mendirikan tenda, kami duduk di bawah pepohonan untuk minum dan makan beberapa cemilan bekal kami. Kami berada di sana beru sekitar lima belas menit ketika Dimas harus pergi ke semak-semak untuk ketiga kalinya, yang menyebabkan banyak lelucon ketika dia kembali.“Apakah efek ketakutan jembatan itu telah merusak organ vitalmu, Dim?” celetuk Hari.“Tentu saja tidak. Itu sama sekali tidak membuatku takut, kau harus tahu itu.” jawab Dimas dengan tatapan anehnya.“Apakah kamu yakin, Dimas?” sahut Rudi ikut menyindir.“Tentu saja. Bahkan aku mendahuluimu menyeberang, itu adalah buktinya. Aku mengalahkanmu, bro.” kata Dimas membalasnya."Sialan!" Rudi mengumpat, kemudian menoleh k
Setelah kami semua merasa cukup kenyang, Rudi membuka ranselnya mengeluarkan beberapa bungkus rokok dan membagikan kepada yang lain. Tidak mau kalah, Hari membuka ransel besarnya juga, yang di dalamnya hampir penuh dengan beer kaleng. Jelas saja membuat kami sangat kaget dan bertanya-tanya saat melihatnya."Dari mana dia mendapatkan beer sebanyak ini?" tanyaku.“Tenanglah!” kata Hari dengan tenang. “Aku menemukannya di lemari ayahku, jadi aku mengambilnya beberapa kaleng.”Kemudian kami bercanda dan mengobrol hingga menghabiskan beberapa batang rokok dan beberapa kaleng beer. Saat mabuk terasa di antara sadar atau tidak, itulah saat yang paling ditunggu-tunggu, yaitu ocehan sampah tanpa arah."Aku tahu tentangmu dan orang tuamu. Mereka tidak peduli denganmu. Kakakmu adalah orang yang mereka sayangi. Itu seperti ayah Hari. Ketika kakak Hari masuk penjara dia mulai memukulinya. Ayahmu tidak memukulmu, ta
Seberapa keras kami mencoba memejamkan mata, namun belum bisa tertidur, otak kami terlalu sibuk dengan pikiran kami masing-masing yang melayang entah kemana. Kemudian selama sekitar setengah jam Hari duduk dengan gelisah, dan kami satu per satu mengikutinya duduk, kemudian mulai mengobrol lagi. Jenis pembicaraan yang tidak akan pernah Anda ingat ketika Anda melewati usia lima belas tahun dan menemukan gadis-gadis.Kami berbicara tentang memancing dan olahraga, dan tentang musim liburan yang sekarang hampir berakhir. Hari menceritakan tentang saat dia berada di salah satu pantai selatan dan beberapa orang yang kepalanya terbentur saat bermain ombak dan hampir tenggelam.Kami juga berdiskusi panjang tentang guru kami dan gadis-gadis di sekolah. Kami tidak membicarakan Sigit Purnomo, tapi aku memikirkannya. Ada sesuatu yang mengerikan tentang cara kegelapan datang ke hutan. Tidak ada lampu mobil untuk menerangi kegelapan, tidak ada suara ibu yang mem
Ketika yang lain tidur nyenyak sepanjang sisa malam. Saya terkadang terjaga dan terkadang setengah tertidur. Malam itu jauh dari sunyi, dengan teriakan burung, tikus, dan serangga, tapi tidak ada lagi teriakan yang lainnya.Akhirnya saya benar-benar terbangun dan menyadari ada sesuatu yang berbeda. Butuh beberapa saat untuk mengetahui apa itu, meskipun bulan sudah mulai terbenam, aku bisa melihat tanganku bertumpu pada celana jeansku. Jam tanganku menunjukkan pukul lima kurang seperempat. Saat itu fajar.Aku berdiri dan berjalan beberapa meter ke dalam hutan. Aku menggeliat dan mulai merasakan ketakutan malam sebelum meluncur pergi. Itu adalah perasaan yang tidak baik.Saya memanjat sebuah pohon yang tidak terlalu tinggi dan duduk di salah satu batang yang bercabang, berputar dan menangkap ranting. Aku tidak terburu-buru untuk membangunkan yang lain. Hari baru terasa terlalu indah untuk dibagikan.Entah berapa lama aku duduk
Aku tahu lebih banyak tentang lintah sekarang daripada dulu, tapi, meskipun aku tahu mereka kebanyakan tidak berbahaya, saya merasakan kengerian yang sama tentang mereka sampai sekarang seperti yang saya rasakan sejak hari itu di kolam renang. Anda tidak merasakan mereka datang ke tubuh Anda. Jika Anda tidak melihatnya, mereka akan terus memberi makan dirinya sampai tubuhnya bengkak, kemudian mereka jatuh dari tubuh Anda atau mereka benar-benar meledak. Setelah kami menarik diri ke tanah kemudian Hari mulai berteriak saat dia melihat dirinya sendiri. Dia mulai menarik lintah dari tubuhnya yang telanjang, dan terus berteriak. Dimas yang masih di menyelam dalam kolam memecahkan air ketika muncul di permukaan dan menatap kami dengan bingung. “Apa yang salah dengan dia?” “Lintah!” Hari menjerit, menarik dua kakinya dan melemparkannya sekuat yang dia bisa. “Ya Tuhan, Ya Tuhan, Ya Tuhan!” Dimas mulai menangis. Dia b
Awan mulai berkumpul di langit sekitar pukul dua siang, tetapi pada awalnya tidak ada dari kami yang mengira akan turun hujan. Lagi pula, hujan tidak turun sejak awal April. Tapi seiring waktu berjalan gumpalan awan hitam mulai terbentuk di langit selatan, dan mulai bergerak perlahan ke arah kami. Akhirnya kami harus menerima bahwa akan turun hujan. Pada jam antara dua dan tiga kualitas cahaya di hutan hari mulai berubah. Itu sama panasnya seperti sebelumnya, tapi kami tahu, burung-burung juga tahu, mendung tampaknya muncul entah dari mana dan memenuhi langit dengan tangisan mereka membasahi bumi. Cahaya menjadi kurang jelas dan bayangan kami menjadi kurang jelas. Matahari sudah mulai berlayar masuk dan keluar dari awan yang menebal, dan langit selatan berubah menjadi cokelat. Kami menyaksikan awan petir yang sangat besar mendekat dan mengancam daratan. Terkadang kilat menyambar di dalam awan dan mengubah warna abu-abu muda menjadi biru keunguan. Kemudian kami me
Kami semua terlonjak kaget dan Dimas berteriak. Dia mengakui kemudian bahwa dia mengira, sesaat, bahwa suara itu berasal dari anak laki-laki yang sudah meninggal di depan kami.Di sisi terjauh dari area berawa, dari sisi tempat kami berdiri, di mana hutan menyembunyikan salah satu ujung jalan, Tomi, Sandi, Dedi dan Jarot berdiri bersama disana.“Sialan!” kata Sandi. “Itu adikku dan teman-temannya.”Rudi menatap mereka dengan mulut terbuka. Bajunya yang basah karena kehujanan masih terikat di pinggangnya. Ranselnya, yang sekarang berwarna merah tua karena hujan, tergantung di punggungnya yang telanjang.“Apa yang kau lakukan, Dimas? Pergilah!” teriak Sandi. "Kami yang menemukannya. Tidak akan ada masalah. Kami akan melaporkannya.”“Tidak! Kalian tidak bisa berbuat sesuka hati kalian.” kataku. Aku tiba-tiba marah pada mereka. Saya bertekad bahwa kali ini orang y
Tuhan, betapa indahnya suara itu! Suara yang dapat menciptakan kepanikan orang-orang yang mendengarkannya. Itulah yang ada dalam pikiranku ketika Rudi mengarahkan tembakannya ke atas. Dedi jatuh terjungkal ke belakang karena sangat kaget. Sandi melompat ke udara. Jarot mengangkat kedua tangannya dan melemparkan pisaunya ke lumpur. Sedangkan Tomi, yang dari tadi menatap lurus ke arahku, beralih dan menatap Rudi. Mulutnya membuat O lagi. Bola matanya melotot dan tampak takjub. “Apa kau telah mencuri pistol itu?” kata Tomi. "Aku yakin, orang tuamu benar-benar akan menyakitimu karena hal itu." "Itu tidak seberapa bagiku, dibandingkan dengan apa yang akan kau dapatkan, jika kamu terus mendesakku," kata Rudi menyeringai. Wajahnya sangat pucat dan matanya berkilat, kemudian dia menurunkan pistol bersama dengan tangannya memgarahkan moncongnya ke bawah. “Yang harus kalian semua pahami, Dedi dan Sandi pada awalnya tidak ingin datang. Dan kami t