BAB 3
Tak berselang lama dengan kendaraan roda dua milik Denjaka keluar halaman meninggalkan padepokan, Bumi datang mengendarai sepeda motor kesayangannya, memarkirkannya di samping pintu masuk sembari menoleh ke belakang, menatap heran motor Denjaka yang sempat berpapasan dengan dirinya. "Jaka mau pergi ke mana itu, Nduk?" tanya Bumi yang belum turun dari kuda besi miliknya, bertanya kepada Wintang yang masih berdiri di ambang pintu, melepas kepergian sang suami dengan panjatan doa yang tidak ada putus-putusnya, berharap Allah subhanahu wata'ala senantiasa melindungi suami tercintanya dimanapun berada. "Ke rumah Mbah Tarjo, Mas," jawab Wintang sembari berjalan turun menapaki satu persatu beberapa deretan anak tangga, menghampiri Bumi yang baru saja datang, menyambutnya dengan ciuman tangan yang amat begitu takzim. "Tumben," kata Bumi penuh rasa heran. "Ono opo toh?" tanya Bumi penasaran. "Kurang tahu, Mas. Tadi Mbah Tarjo datang minta tolong supaya Kang Mas Jaka mau menolong Winingsih," jawab Wintang apa adanya. "Winingsih? Winingsih sopo?" tanya Bumi mengernyitkan dahi. "Itu loh, Mas .... Anak gadisnya Mbah Tarjo," balas Wintang. "Mbah Tarjo yang suka jual rebung di pasar kemis itu loh." Lanjut Wintang lagi. "Ooo ...." balas Bumi ber 'oh' ria meski sebenarnya ia sama sekali tidak mengerti apa-apa. “Seperti tahu saja,” ledek Wintang, menggoda kakaknya yang bisa ia tebak sama sekali tidak mengetahuinya. “Tahu! Kang Masmu ini tahu,” jawab Bumi, berusaha menutupi ketidak tahuannya. “Payah. Pak gubernur, tapi tidak kenal sama rakyatnya sendiri,” ledek Wintang lagi terkekeh lucu melihat Bumi yang gelagapan, menutupi ketidak tahuan sang kakak. “Ya kali Kang Masmu ini disuruh menghafal seluruh warga yang jumlahnya ribuan?” balas Bumi. “Wis ah, aku mau ketemu keponakan.” Lanjut Bumi, berjalan pelan meninggalkan Wintang. “Mana Cah Ayu kesayangan Pak De?” tanya Bumi, menoleh ke arah Wintang yang berada tepat di belakangnya, berjalan beriringan. “Ada di kamar. Sedang menemani Kang Masnya,” jawab Wintang. “Oh ya, piye keadaan Pandu?” tanya Bumi lagi. “Huuuf!” Tak langsung menjawab, Wintang malah menghembuskan nafas dengan kasar, berusaha membuang sesak yang memenuhi dadanya. Sebagai seorang ibu, dada Wintang sudah dipenuhi kesedihan tiada tara sejak lama. Semenjak anak pertamanya memejamkan mata dan hanya bisa berbaring di atas tempat tidur tanpa bisa melakukan apapun, hatinya sudah hancur. Namun, Wintang tak ingin menyerah begitu saja, meski saat ini ia hanya bisa pasrah kepada Allah subhanahu wata'ala, Wintang memaksakan diri untuk tetap tegar, berusaha mengupayakan kesembuhan bagi sang putra. Wintang tahu betul, jika dirinya kalau oleh perasaannya, maka kakinya tak akan bisa menopang langkahnya lagi, mencari cara demi kesembuhan Pandu Sang Mandala, bocah laki-laki yang seharusnya saat ini sudah masuk ke sekolah dasar dan disibukkan dengan rutinitas belajar serta bermain bersama teman sebayanya. “Ya seperti itu, Mas. Tidak ada perubahan,” jawab Wintang hampir putus asa. Menyadari beban yang ditanggung adik kesayangannya begitu berat, Bumi hanya bisa merangkul Wintang dengan hangat, berusaha memberi kekuatan serta dukungan sebisa yang ia bisa. “Sing sabar. Gusti Allah tahu keluargamu ini kuat, makanya diberi ujian seperti ini,” kata Bumi, berusaha menyemangati. “Bu! Ibu!” Masih berjalan pelan sampai di depan teras, menyambut kedatangan kakaknya, tiba-tiba saja Wintang dikejutkan dengan suara teriakan Widuri yang terdengar melengking, lengkap dengan deru langkah kaki kecil yang sepertinya sedang berlari terburu-buru menghampiri Wintang dan juga Bumi. Benar saja, gadis kecil itu muncul dengan deru nafas yang terengah-engah, langsung memeluk erat Wintang begitu saja. Kedua mata gadis itu masih terlihat sembab, terlalu lama menangisi kepergian sang ayah membuat kedua kelopak matanya menjadi bengkak. “Ada apa, Nduk?” tanya Wintang yang heran dengan sikap Widuri yang seperti sedang ketakutan. Tidak memberi jawaban apa-apa, tubuh Widuri bergemetar hebat, lengkap dengan keringat dingin yang membanjiri pori-pori kulitnya. Menangkap ada sesuatu yang tidak beres dari raut wajah sang keponakan, Bumi segera berjongkok, mensejajarkan tubuhnya dengan Widuri yang masih memeluk erat salah satu pangkal kaki milik Wintang. "Enek opo, Nduk? Sini cerita sama Pak De,” kata Bumi, berusaha menenangkan keponakan kecilnya. Tak lupa, Bumi juga membelai lembut pucuk kepala Widuri, berharap bocah kecil itu sudi menjawab pertanyaan yang ia lontarkan. “Pak De,” pekik Widuri dengan suara bergetar, melepaskan pelukannya dari Wintang, beralih merangkul erat leher milik Bumi. “Tenang sayang, nggih …. Ada Pak De di sini,” kata Bumi, masih berusaha menenangkan Widuri, membawanya ke dalam gendongan. “Kang Mas Pandu, Pak De,” ucap Widuri lirih, tepat di telinga Bumi masih sambil terisak. Rumah kediaman Mbah Tarjo memang lumayan jauh, tepatnya ada di ujung desa. Untuk bisa sampai, Denjaka harus melajukan kendaraan kuda besi miliknya melewati jalan yang ada di tepi hutan lumayan cukup rindang. Jalanan setapak yang licin juga menjadi rintangan. Salah sedikit saja menempatkan roda motor di permukaan jalan setapak yang sisi lainnya adalah tepi jurang, maka sudah bisa dipastikan, bukannya sampai ke tempat tujuan, yang ada Denjaka serta motornya akan masuk terperosok sampai ke dasar jurang. Syukur-syukur hanya lecet dan dan patah tulang, kalau naas menimpa, bisa saja Denjaka dan Mbah Tarjo langsung pindah alam dalam seketika. “Berhenti saja, Mas Den. Si mbah tak melaku saja.” Mbah Tarjo yang merasa ngeri melihat lintasan ban yang ia tunggangi buka suara, meminta di turunkan dan memilih jalan kaki saja. “Endak usah, Mbah. Bismillah, mboten nopo-nopo,” balas Denjaka, mencoba meyakinkan. Namun, nyali Mbah Tarjo tak sebesar itu. Tak kuasa menahan takut yang kian menggebu, Mbah Tarjo mempererat rangkulan tangannya, melingkarkannya secara sempurna ke pinggang milik Denjaka, memastikan bahwa dirinya tak akan tertinggal apalagi terpental sembari memejamkan kedua matanya rapat-rapat. “Bismillahirrohmanirrohim,” lirih Denjaka, menyerahkan semuanya kepada Allah Sang Pencipta. Sadar betul jika Mbah Tarjo sedang menaruh harap nyawa pada dirinya, Denjaka mulai melajukan kendaraannya pelan-pelan dan penuh keyakinan. Denjaka sangat waspada serta penuh kehati-hatian. Tentu saja, Denjaka sudah memperhitungkan semuanya dengan matang, sehingga ia begitu yakin bahwa motornya bisa melintas dan selamat sampai tujuan atas takdir dan kehendak yang telah Allah tetapkan. “Berdoa, Mbah. Jangan lupa berserah diri kepada Gusti Allah,” kata Denjaka, meminta Mbah Tarjo tak hanya gemetar ketakutan saja. “Si Mbah wedi, Mas Den,” jawab Mbah Tarjo tak dapat menyembunyikan ketakutan yang saat ini bersemayam di dalam hatinya. Suara Mbah Tarjo terdengar bergetar. Seluruh tubuhnya juga gemetaran, menggigil seperti orang kedinginan, lengkap dengan keringat dingin yang bercucuran keluar. Kalau tidak ingat dengan keadaan sang putri kesayangan yang membutuhkan bantuan, sudah pasti Mbah Tarjo ogah keluar kampung menemui Denjaka dengan medan jalan seperti ini. Apa lagi mengendarai sepeda motor, berjalan kaki saja, melewati jalan setapak yang licin ini saja Mbah Tarjo sudah merasa sedap-sedap ngeri sebelumnya.Bab 58Berada dalam ambang keraguan, Ali dibuat bingung untuk memutuskan. Di satu sisi, keadaan Widuri tak kunjung membaik. Ia harus berjaga-jaga untuk segala kemungkinan yang akan terjadi dan harus terus berada di dekat Widuri untuk mengawasi sedikit saja perubahan situasi yang tidak boleh terlambat disadari.Akan tetapi, di sisi lain Denjaka juga sedang tidak baik-baik saja. Hanya dengan melihat dari jarak yang tidak begitu dekat, Ali sudah bisa menangkap dengan firasatnya bahwa sesuatu hal yang lebih besar baru saja terjadi. Ali semakin cemas sekarang. Ia merasa tidak yakin akan bisa mengatasi ini semua sendirian, tanpa ada bantuan dari saudara kembar serta kakak seperguruannya seperti waktu dahulu kala. Dengan keadaan yang tidak lagi sama, Ali benar-benar pesimis akan hasil yang belum tentu seperti apa yang ia kira.Di samping Ali, Bumi berhasil menangkap dengan jelas guratan kekhawatiran yang tergambar jelas pada setiap kerutan di wajah Pak
Bab 57Tring!Menyambut kedatangan Denjaka yang hanya tinggal beberapa langkah lagi sampai ke tempat di mana ia menunggu tanpa rasa gentar sedikit pun, Pandu memejamkan kedua matanya sebentar, kemudian membukanya kembali, memamerkan kedua manik mata miliknya yang kini sudah berubah warna menjadi merah menyala sembari menyeringai, memperlihatkan siung di giginya yang mendadak tumbuh.Bruak!Belum apa-apa, Denjaka yang sebelumnya telah siap dengan segala serangan yang ia bawa, kini terpental jauh ke belakang, gagal mencapai target yang telah menjadi sasaran serangannya kali ini.“Aaaa!” Denjaka mengerang. Dipeganginya dada miliknya yang terasa sakit akibat benturan keras yang ia dapatkan.“Pandu …,” ucap Denjaka lirih, dengan suara serak parau penuh berbagai macam emosi. Di tengah kekalahannya yang belum apa-apa, Denjaka berusaha mengangkat sedikit badannya, menatap lurus ke arah Pandu, mencari tahu apa yang sebenarnya te
Bab 56Tak kuasa menerima serangan yang Pandu berikan, Denjaka memilih menutup kedua kelopak matanya rapat-rapat. Jika ia memang harus tumbang, Denjaka memutuskan untuk menerimanya dengan lapang dada.Bruak!Tak lama berselang setelah pandangannya mendadak gelap tak menangkap bayangan apa-apa, suara kencang terdengar jelas, dentuman tabrakan yang diserudukkan oleh sapi hitam dengan tanduk panjang dan runcing, serta memiliki taring di sela-sela bibirnya, berbeda dari sapi pada umumnya.Suara itu menggema. Bisa dipastikan, apapun yang diterjang sapi yang saat ini sedang Pandu tunggangi sudah pasti akan membuat objek yang menjadi sasarannya akan terpental jauh, terlempar entah ke mana.Anehnya, Denjaka sama sekali tak merasakan apa-apa. Jangankan rasa sakit, bahkan kedua kakinya yang tanpa kuda-kuda sama sekali tidak berpindah tempat sedikit pun, masih berada di tempat semula.Merasa pemasaran atas kesakitan yang tak kunjung ia rasa
Bab 55Anehnya, tanpa Denjaka sadari, kekuatannya kembali pulih seutuhnya setelah sang putri kesayangan jatuh tumbang, seolah menggantikan.Kini, sudah tidak ada alasan lagi untuk dirinya merutuki dirinya sendiri yang kerap kali membantu orang lain namun sama sekali tidak bisa melakukan apa-apa untuk anaknya sendiri.Dengan langkah penuh semangat, Denjaka berjalan cepat. Ia sudah sangat tidak sabar untuk segera sampai dan mencari tahu apa yang saat ini sedang menimpa sang putri.Sesampainya di tempat tujuan, di mana semua orang sedang dalam perasaan sama, sama-sama mengkhawatirkan Widuri yangs emakin lama semakin hampir terpejam sempurna, melihat Wintang menangis hancur tak kuasa menghadapi semuanya sendirian, Denjaka menghampiri, mengambil Wintang dari pelukan Cantika, menggantikannya, memberikan bahu yang sejak awal memang dibutuhkan oleh Wintang untuk bersandar di tengah kerasnya hidup yang mengombang-ambing langkahnya."Sayang ...," ucap D
Bab 54 "Pak Lek!" teriak Wintang, berlarian menuju ke ruang depan, di mana Ali, Bumi, dan juga Cantika masih ada di sana.Sementara Mbah Tarjo, sebelumnya ia buru-buru keluar tanpa sempat berpamitan. Tidak ingin ketahuan jika dirinya sedang mimisan, dan akan memancing kecurigaan dari semua orang, Mbah Tarjo sengaja menutupinya sebisa mungkin, memastikan darah yang sudah membuat baju bagian dadanya menjadi basah sama sekali tidak terlihat oleh siapa-siapa.Sebenarnya, kepulangan Mbah Tarjo yang tampak jelas begitu tergesa-gesa sempat mengundang tanya Bumi dan juga Cantika. Apa lagi Winingsih kedapatan memapah langkah sang ayah, menopang kedua kaki tua yang dipaksakan untuk berjalan agar tidak tumbang. Namun, sama sekali tidak menaruh rasa curiga pada laki-laki tua pemilik wajah melas itu dibiarkannya lolos begitu saja.Mendengar teriakan Wintang bersama deru langkah yang tidak biasa, Ali bangkit dari duduknya. Meski belum melihat semua dengan mata
Bab 53Tinggal satu langkah lagi, segala usahanya akan segera dipermudah. Membayangkan segala mimpinya akan segera terwujud, hati Mbah Tarjo merasa bungah. Saking senangnya, Mbah Tarjo sampai lupa untuk menjaga sikapnya, nyelonong masuk begitu saja tanpa berbasa-basi kepada Wintang, sekedar mengucapkan terima kasih.Sebenarnya, Wintang sama sekali tidak keberatan. Dia buka orang yang gila hormat, apa lagi Mbah Tarjo jauh lebih tua di atasnya. Hanya saja, atas sikap Mbah Tarjo yang sangat berbeda dari yang biasa selalu ditampilkan, Wintang mengernyitkan dahi keheranan.Akan tetapi, Wintang tak berburuk sangka, hanya mengira Mbah Tarjo terlalu bersemangat, ingin segera mengobati kekhawatirannya kepada Denjaka. Sebab, yang Wintang tahu, Mbah Tarjo begitu dekat dengan suaminya itu, sudah dianggap seperti orang tuanya sendiri oleh Denjaka.“Saya permisi, Mbak,” ucap Winingsih, mewakili ayahnya yang nyelonong masuk begitu saja.Mendapatkan kera