"Kevin Drakenis! Beraninya kau menampakkan wajah busukmu di sini!" serunya penuh kejijikan. "Bukannya kau telah mati, sampah!"
Kevin mengeraskan tatapannya. "Helena Caraxis! Kau telah membantai keluargaku, mengorbankan adikku demi Darah Iblis Es, dan sekarang kau berdiri di sini, bertingkah seolah tak bersalah?! Kau ini manusia atau iblis, hah?!" Helena tersenyum sinis sebelum melambaikan tangannya. Beberapa pengawal Paviliun bergegas masuk, pedang mereka terhunus. "Habisi dia! Potong tubuhnya dan beri makan binatang buas!" Lima pengawal mengepung Kevin. Salah satu dari mereka melangkah maju, mengayunkan pedangnya dengan cepat. Namun— SRET! Kepala pengawal itu tiba-tiba terlepas dari tubuhnya, jatuh dan menggelinding di atas tanah. Matanya masih terbuka lebar, seolah tak percaya telah mati begitu cepat. Empat pengawal lainnya membeku, tak sempat bereaksi sebelum nasib serupa menimpa mereka. Dalam sekejap, kepala mereka juga terpenggal, darah memancar liar ke segala arah. Kevin hanya berdiri di tengah-tengah mayat, tangannya masih menggenggam pedang berlumur darah. "Bangsat kau, Kevin! Hari ini juga, kau akan mati!" Helena menggeram. Suaranya dipenuhi kemarahan, tapi ada jejak ketakutan di dalamnya. Delapan pengawal utama Paviliun tiba-tiba muncul, tubuh mereka dikelilingi aura yang mengerikan. Semuanya sudah berada di ranah Nascent Soul. Mereka langsung membentuk Formasi Paviliun Caraxis, formasi legendaris yang telah menghabisi banyak kultivator hebat, bahkan yang ranahnya di atas mereka. Mereka mengamati Kevin, mencoba membaca kultivasinya, namun tak menemukan apapun. Mereka mencibir, mengira Kevin tak lebih dari seorang kultivator di tingkatan Pemurnian Qi. Kevin mengangkat tangannya. "Pedang Dewa Ilahi!" Cahaya biru berpendar di genggamannya. Dalam sekejap, pedang besar dengan bilah yang bersinar terang telah berada di tangannya. Udara di sekelilingnya bergetar, seolah menyadari kedahsyatan senjata yang kini ia pegang. "Sekarang, mari kita akhiri semuanya." Di bawah cahaya rembulan yang muram, Kevin Drakenis melangkah ke tengah halaman Paviliun Caraxis. Matanya berkilat tajam, penuh kemarahan yang selama ini dipendamnya. Pedang Dewa Ilahi di tangannya berkilauan, memantulkan cahaya dingin yang menusuk hingga ke tulang. Tanpa peringatan, tubuhnya melesat bagai kilatan petir."Phantom Gods Blast!"
SRET! SRET! SRET! Udara malam diwarnai suara logam bertemu daging, diiringi percikan darah yang melayang seperti kelopak bunga yang jatuh tertiup angin. Dalam hitungan detik, delapan kepala para pengawal Paviliun Caraxis menggelinding di atas lantai batu. Darah mereka membentuk genangan merah pekat yang berkilauan di bawah cahaya rembulan. Helena menegang. Napasnya memburu, dadanya naik turun dengan panik. Tangannya mencengkeram gagang pedangnya erat-erat hingga buku-buku jarinya memutih. Tubuhnya gemetar melihat Kevin yang seharusnya mati lima tahun lalu, kini berdiri di hadapannya dengan kekuatan yang tak masuk akal. “Hanya begini kekuatan Paviliun Caraxis?” suara Kevin terdengar dingin, menusuk hingga ke relung jiwa. Matanya yang penuh kebencian mengunci pandangan Helena, menyalurkan ketakutan yang tak terlukiskan. “Sungguh mengecewakan.” Helena merasakan hawa dingin menjalari tubuhnya. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. “Tidak! Ini tidak mungkin terjadi!” suaranya bergetar. “Kamu bukan manusia, Kevin Drakenis!” Kevin menyeringai. Senyum itu bukan sekadar ejekan, melainkan penghakiman. “Benar katamu,” bisiknya, suaranya bagai angin kematian yang mendesir di telinga Helena. “Aku ini hantu yang akan mencabut nyawamu.” Kevin melangkah pelan, sengaja memperlambat gerakannya untuk membiarkan ketakutan merayapi seluruh tubuh mantan tunangannya. Mata Helena membesar, kepanikan semakin menyesakkan dadanya. Namun, ketakutan itu berubah menjadi keberanian nekat. Dengan pekikan yang melengking, Helena mengayunkan pedangnya ke arah Kevin. “Aku pernah membunuhmu lima tahun lalu! Sekarang, aku juga akan membunuhmu!” Kevin tidak bergerak. Mata emasnya hanya menatap tanpa ekspresi saat pedang itu mendekat. Lalu, dengan satu gerakan sederhana— CEKLIK! Jarinya menjepit mata pedang yang mengarah ke wajahnya. Pedang itu berhenti seketika, tak bisa bergeming meski Helena sudah mengerahkan seluruh tenaganya. “Baru Ranah Heavenly Soul dan sudah berani menyerangku?” Kevin mendengus. “Dasar sampah.” KRAAAK! Pedang di tangan Helena patah seakan terbuat dari kaca. Mata Helena membulat tak percaya, tetapi sebelum ia sempat bereaksi lebih lanjut— BUGH! Telapak tangan Kevin menghantam dantiannya. Rasa sakit luar biasa meledak di dalam tubuhnya, seperti ribuan pisau mencabik-cabik dari dalam. Tubuhnya gemetar hebat. Kekuatan yang ia bangun bertahun-tahun, yang menjadi kebanggaannya, kini lenyap dalam sekejap. Helena terhuyung, kedua kakinya lemas. Mulutnya terbuka, tetapi tak ada suara yang keluar. Dantiannya telah hancur. Ia sekarang hanyalah manusia biasa—tanpa kekuatan, tanpa kebanggaan. “Kau akan mati, Kevin!” Helena akhirnya bisa berbicara, suaranya terdengar putus asa. “Keluarga Caraxis akan memburumu bagaikan binatang buruan... Hahaha!” Tawanya terdengar nyaring, seperti orang yang sudah kehilangan akal sehat. Kevin mengerutkan kening. “Apa aku bilang sudah selesai?” SRET! SRET! Helena terkejut. Sensasi aneh menyelimuti tubuhnya. Saat ia menurunkan pandangannya, dadanya terasa sesak oleh horor yang tak terlukiskan. Kedua tangannya... sudah tidak ada. Hanya sisa pergelangan yang berdarah. “Bangsat kau! Bunuh saja aku!” teriaknya histeris. Kevin menatapnya dengan mata kosong. “Membunuhmu terlalu mudah, Helena Caraxis!” Helena ingin berlari, tetapi tubuhnya tidak bisa bergerak. Sebelum ia sempat berpikir lebih jauh— KRAAAK! KRAAAK!Ledakan pertama mengguncang Desa Langit. Tanah bergetar seperti gempa, atap-atap rumah meloncat dari tempatnya, dan deru teriakan ribuan pasukan sekte kecil memecah udara. Pedang, tombak, panah spiritual, dan mantra terbang memenuhi langit seperti hujan meteor.Kevin hanya sempat menoleh sekali pada Valkyrie, Celestine, dan Kurozan. “Jangan mundur.”Felix melangkah maju, setiap tapak kakinya membuat tanah merekah, memancarkan semburan cahaya emas dari kekuatan dewa dan bayangan hitam pekat dari kekuatan iblis. Dua arus ini tidak saling menolak—mereka berputar melingkar, berpadu seperti yin dan yang, menciptakan aura yang menelan segalanya.“Kekuatan murni dewa membakar roh,” kata Felix tenang, matanya berkilat emas.“Kekuatan iblis menggerogoti jiwa,” lanjutnya, merah darah kini menyala di pupilnya.“Dan aku… punya keduanya.”Ia mengangkat tangannya. Sepuluh Tombak Surga-Neraka tercipta dari pusaran cahaya emas dan kabut hitam, masing-masing berdenyut seperti jantung hidup. Felix meng
Bayangan-bayangan yang sebelumnya hanya samar di pinggir pandangan kini mulai menjelma menjadi wujud nyata. Dari atap rumah-rumah kayu yang mengelilingi Desa Langit, dari sela batang pohon pinus yang berdesir pelan, hingga punggung perbukitan yang membentuk cincin alami di sekitarnya—muncul sosok-sosok berbalut jubah sekte. Jumlah mereka bukan lagi puluhan… melainkan ratusan. Langkah kaki mereka nyaris tak terdengar, namun udara di Desa Langit mendadak terasa berat, seperti diselimuti kabut besi. Niat membunuh yang mereka pancarkan merayap di kulit, membuat napas setiap orang yang menyadarinya menjadi pendek dan terputus-putus.Valkyrie melangkah maju, tubuhnya tegak bagai perisai di antara Kevin dan Felix. Angin sore yang tadinya lembut kini terasa membawa aroma logam dan tanah basah. Matanya menyala tajam, menatap Felix tanpa sedikit pun gentar.“Kau berani membawa perang ke Desa Langit?” suaranya tegas, namun di balik itu terselip nada marah yang dingin. “Bagaimana dengan penduduk
Kabut tipis menyelimuti dataran tinggi berbatu yang menjulang di hadapan mereka, seolah menjadi gerbang alamiah menuju Desa Langit. Kurozan mendarat dengan lembut, cakar-cakarnya meninggalkan bekas cekung di tanah yang keras. Udara di sini menusuk kulit dengan kesejukan pegunungan, namun membawa kesegaran yang jarang ditemui—aroma embun dan bunga liar bercampur dengan hembusan dingin yang mengalir dari puncak jauh di atas sana.Di kejauhan, rumah-rumah kayu beratap jerami berdiri berbaris rapi, dikelilingi ladang bunga beraneka warna yang bergoyang perlahan diterpa angin. Kicau burung gunung terdengar samar, kontras dengan ingatan medan perang yang baru saja mereka tinggalkan—darah, jeritan, dan bau besi yang kini terasa begitu jauh.Begitu kaki Kevin menyentuh tanah, suara langkah cepat memecah keheningan. Dari arah jalan desa, seorang perempuan berlari—rambut panjangnya yang keperakan terayun liar, memantulkan kilau lembut di bawah sinar matahari pucat. Mata peraknya bergetar, menaha
Kevin berdiri tegak di tengah medan pertempuran yang sudah porak-poranda. Batu-batu hitam retak di bawah kakinya, bergetar pelan seakan takut akan sosok yang menginjaknya. Aura kegelapan mengalir dari tubuhnya—bukan sekadar asap atau kabut, tapi pusaran hidup yang menggulung liar, penuh bisik-bisik dari jiwa-jiwa yang telah ia kirim ke kematian.Nafasnya terdengar berat namun terkendali. Setiap tarikan seperti menghisap dingin dari alam neraka, dan setiap hembusan membawa hawa mematikan yang menekan dada siapa pun yang berdiri terlalu dekat.Di tangannya, Pedang Dewa Ilahi bergetar halus. Getarannya bukan sekadar respons logam terhadap energi, melainkan sebuah desahan… seolah pedang itu menyambut niat membunuh tuannya.Tatapan Kevin menusuk tajam, menembus asap kelam dan kabut racun yang melingkari sosok musuhnya—Lexainne, Dewi Wajah Racun. Aura racunnya seperti lautan hijau yang bergelora, namun Kevin berdiri tanpa gentar. Bibirnya bergerak pelan, seperti melafalkan doa… padahal itu a
Awan di langit tercerai berai dicabik oleh kekuatan raksasa. Kurozan, burung raksasa berbulu legam berkilau, mengerjapkan matanya yang menyala seperti bara. Dengan geraman rendah yang bergulung di tenggorokannya, ia melesat dan—KRAAK!—cakar besarnya menghantam mata Naga Seiryu.Raungan menggelegar memecah udara, memantul di antara lapisan awan pekat. Tubuh sang naga raksasa terhuyung, melayang tak terkendali sebelum jatuh menghantam gumpalan awan badai. Butiran es berhamburan, terhempas dari sisiknya yang pecah di beberapa titik.Namun duel belum selesai. Kedua makhluk itu kembali menabrak satu sama lain, sayap mereka memukul udara seperti badai raksasa yang melahirkan pusaran angin mematikan. Suara benturan cakar dan sisik beradu terdengar seperti logam yang digerus oleh petir.Di bawah pusaran pertempuran itu, Kevin berdiri dengan napas berat, Topeng Iblisnya memantulkan kilau kehijauan dari racun yang memenuhi udara. Di sampingnya, Celestine mengepalkan tangan, aura petir di sekeli
Langit di atas Tanah Terlarang Dewa dan Iblis mulai berubah warna, dari biru pucat menjadi ungu kelam yang seperti mengalir di antara awan. Kevin, yang kini mengenakan Topeng Iblis dan dikenal sebagai Arkantra Drago, berdiri di punggung Kurozan bersama Celestine. Angin kencang dari sayap burung raksasa itu memukul wajah mereka, membawa aroma hutan pegunungan dan sisa darah pertempuran sebelumnya.“Kita harus cepat sampai ke Desa Langit,” suara Kevin teredam oleh deru angin. “Aku perlu tahu keadaan Valkyrie… sebelum terlambat.”Celestine mengangguk, jemarinya erat memegang tali kekang Kurozan. Mata gadis itu menyapu cakrawala, tapi tiba-tiba membeku.“Kevin…” ucapnya pelan, matanya menyipit, “…ada yang mengikut kita.”Dari kejauhan, kabut hijau pekat muncul seperti racun yang merambat di udara. Dari dalamnya, suara gemeretak tulang bercampur desir angin beracun terdengar, membuat bulu kuduk berdiri. Lalu muncullah sesosok wanita berkulit pucat kehijauan, matanya berkilau seperti zamrud