Suatu saat aku terbangun dalam mimpiku, tetapi aku terbangun bukan di dunia asliku. Jiwaku tertahan di dimensi lain, tepat di masa kerajaan. Aku berada dalam tubuh seorang pria bernama Darius seorang panglima kerajaan yang ditakuti. Ia memiliki seorang istri yang sangat cantik, namun selama ini diperlakukan dengan kejam, seolah wanita itu hanya peliharaan yang tak punya jiwa. Raka, yang sebelumnya hanya manusia biasa dari dunia modern, kini harus menanggung dosa masa lalu tubuh yang ia huni, di saat semua orang di sekelilingnya memandangnya dengan ketakutan dan kebencian. Namun sesuatu yang tak pernah ia duga mulai tumbuh: rasa iba, kagum, dan cinta terhadap sang istri yang dulu selalu disakiti. Sayangnya, kesempatan menebus kesalahan tidak datang begitu saja musuh kerajaan, pengkhianatan, dan misteri siapa dirinya yang sebenarnya mulai mengancam nyawanya… dan jiwa aslinya yang mungkin tak bisa kembali pulang. Apakah Darius akan menjadi monster seperti pemilik tubuh sebelumnya… atau menjadi pahlawan yang mengubah takdir kerajaan?
View MoreKesunyian menelan semuanya saat kelopak mataku perlahan terbuka dan untuk sejenak aku bahkan lupa siapa aku. Langit-langit yang kulihat bukan atap kamarku yang retak, bukan lampu neon kosanku yang biasa berkelip di tengah malam. Yang kulihat adalah ukiran rumit dari emas dan batu giok, membentuk pola naga dan bunga lily, memantul lembut oleh cahaya mentari yang menetes dari jendela kaca patri.
Aku hanya bisa menatap ke atas, diam, seolah setiap detik yang berlalu mempertebal jarak antara aku dan kenyataan. Udara yang kuhirup wangi seperti dupa dan mawar kering terlalu megah, terlalu asing, hingga paru-paruku sendiri menolak percaya. Rasanya seperti paru-paruku yang mungil dan ringkih dipaksa menerima udara kerajaan yang berat dan agung, membuat dadaku sesak tanpa alasan.
Aku mencoba bergerak, tapi tubuh ini… berat. Seolah bukan milikku. Lengan yang kuangkat kekar dan kokoh, bukan lengan kurusku yang biasa memeluk bantal di pagi hari. Kulitnya lebih gelap, keras seperti diukir, dan saat aku menggenggamnya sendiri terasa seperti sedang memegang tangan orang asing. Di jari tanganku melingkar cincin besar bertatahkan rubi, memantulkan cahaya merah menyala seperti bara api. Batu itu memercikkan kilau kecil ke dinding, seolah mengolok-olok ketakutanku. Bulu kudukku meremang.
“Apa ini… mimpi?” bisikku pelan, tapi suaraku terdengar lebih berat, dalam, dan dingin dari yang kukenal. Suara itu bukan milikku, ia memantul di dinding seperti gema dari gua yang dalam, membuatku menggigil.
Rasa sakit tiba-tiba menyengat pelipisku, seperti ada tangan tak terlihat menampar kesadaranku. Nyeri itu menyebar ke seluruh tengkorakku, membuat penglihatanku berputar sesaat. Napasku memburu. Ini… bukan mimpi. Semua terasa terlalu nyata, terlalu kasar untuk sekadar khayalan tidur.
Pintu kayu besar di sisi ruangan berderit pelan, dan seseorang masuk. Suara itu begitu halus, tapi cukup untuk memecah keheningan yang menjeratku. Langkahnya ringan, nyaris tanpa suara, namun cukup untuk membuat dadaku menegang.
Seorang perempuan… begitu cantik hingga dadaku seperti diremas. Rambutnya keemasan, jatuh lembut di bahunya, kulitnya pucat seperti porselen, namun wajahnya… ketakutan. Matanya menunduk dalam, seolah hanya melihat lantai. Tubuhnya kaku, siap lari kapan saja. Jemarinya meremas ujung gaunnya yang berkilau lembut di bawah cahaya pagi. Ada kelembutan di gerakannya, tapi juga kegetiran yang dingin, seperti bunga yang mekar di musim salju.
“Yang Mulia… apakah Anda membutuhkan sesuatu?”
Suaranya lirih, nyaris pecah. terdengar seperti bisikan seseorang yang berharap tidak sedang membangunkan harimau. Ia menunduk lebih dalam seolah bayangan tubuhku saja cukup membuatnya gentar.
Aku menatapnya dan entah mengapa, hatiku mencelos. Ada luka yang tak terlihat, tertanam dalam tatapannya yang kosong. Luka yang seolah berasal… dariku. Tatapan itu bukan sekadar takut, tapi juga pasrah seperti seseorang yang telah berhenti berharap dunia bisa menjadi lembut.
Tiba-tiba potongan kenangan yang bukan milikku menghantam pikiranku seperti gelombang pecah: tangan ini memukulnya, melemparkannya ke lantai, suara teriakannya yang melengking ketakutan, malam-malam penuh tangisan tertahan di bawah satu atap. Setiap gambarnya menghantam dadaku seperti palu, membuat perutku mual. Aku… monster. Atau lebih tepatnya, tubuh ini… adalah monster. Dia adalah Elira. Istriku. Atau lebih tepatnya… istri dari pria bernama Darius, bangsawan kejam yang kini kutempati tubuhnya. Nama itu muncul begitu saja di kepalaku, seperti bisikan asing yang menggores batok kepala dari dalam. Darius. Nama yang terdengar berat, sombong, dan dingin seperti pedang yang diselubungi beludru.Jantungku berdebar keras. Napasku memburu. Aku ingin bicara, ingin menjelaskan bahwa aku bukan orang itu, bahwa aku bahkan tak tahu bagaimana bisa berada di sini tapi lidahku kelu. Kata-kata menumpuk di tenggorokan tapi tertahan oleh rasa takut. Karena di matanya, aku adalah bayangan dari pria yang pernah menghancurkannya.
“Elira…” suaraku pecah, bergetar. “Aku…”
Ia menegang, seolah suara itu adalah cambuk. Bahunya tersentak pelan. Ia tak menoleh. Tubuhnya seperti kaca tipis yang bisa pecah hanya karena satu getaran kecil.
Aku menunduk dalam hati, lalu menarik napas perlahan. Mungkin aku tak bisa memohon maaf… tapi setidaknya aku bisa berjanji. Sebuah janji yang mungkin hanya bisa kudengar sendiri, tapi cukup untuk membuatku tetap berdiri di dunia yang bukan milikku ini.
“Mulai hari ini…” bisikku dalam hati, menatap punggungnya yang rapuh, “kau tidak akan menangis lagi karena aku.”
Elira membungkuk pelan, gerakannya kaku seperti boneka porselen yang takut pecah, lalu berjalan mundur keluar. Setiap langkahnya bagai jarum menusuk dadaku. Pintu tertutup perlahan, meninggalkanku sendiri… bersama keheningan dan bayangan asing di cermin besar di seberang ranjang.
Aku berdiri perlahan. Sosok yang menatap balik dari balik cermin membuat darahku membeku: rahang tegas, mata tajam, sorot angkuh dan gelap. Bukan Raka. Bukan siapa pun yang kukenal.
Aku mengangkat tangan dan bayangan itu mengangkat tangannya bersamaan. Gerakannya elegan, tapi dingin. Tidak ada jejak kehidupan yang kukenal di sana, hanya kulit asing yang membungkus jiwaku.
Aku terkekeh pendek, putus asa. Suara tawaku terdengar retak, seolah dinding pun menolaknya. Tubuh ini bukan milikku… tapi mulai hari ini, aku harus menjadi pria baru.
Untuk Elira.
Untuk menebus semua luka yang pernah ia tanggung. Dan untuk itu… Aku harus membunuh Darius.
Bukan tubuhnya tapi jiwanya, yang masih mengintai dalam tatapan setiap orang. Yang masih hidup di ketakutan mereka, di luka-luka yang ia tinggalkan. Aku harus menghapus Darius dari dunia ini, bukan dengan kematian, tapi dengan menjadi sesuatu yang sepenuhnya berlawanan dari dirinya, hingga suatu hari nanti, saat Elira menatapku, ia tidak lagi melihat monster, tetapi seseorang yang layak dia percaya.
***Istana masih bergetar saat kami kembali dari menara timur.Lonceng peringatan telah lama berhenti berdentang, tapi udara belum kembali tenang. Para pengawal berjaga di setiap sudut lorong dengan mata tajam, tangan menempel pada gagang pedang. Pelayan berlarian pelan, membisikkan rumor seolah ketakutan itu bisa menular lewat udara.Beberapa menatapku dari balik pilar, sorot mereka waspada, curiga. Seolah malam ini membuktikan bahwa “Serigala” memang belum mati.Mereka tidak tahu yang melawan tadi bukan Darius. Itu aku Raka yang hanya tidak ingin wanita itu terbunuh di depan mataku.Elira berjalan di sampingku, langkahnya kecil dan lambat. Gaunnya robek di ujung, dan ada bercak darahku di lengan tipisnya. Tangannya menggenggam erat kain gaunnya sendiri, tapi bahuku sesekali merasakan sentuhan ringan dari bahunya yang goyah.Dia masih gemetar. Tapi tidak menjauh dariku.Itu hal kecil. Tapi untuk Elira… itu berarti banyak.Aku menoleh, menatapnya sejenak. “Kau tidak terluka?”Ia menggelen
Angin malam mencambuk wajahku saat aku melesat menembus lorong-lorong istana yang gelap. Batu-batu tua memantulkan gema langkahku, berat dan cepat, seperti dentuman genderang perang yang datang dari dada sendiri.Setiap jengkal udara terasa beku. Dan dari kejauhan… samar-samar terdengar logam beradu, teriakan pendek, lalu hening lagi.Suara kematian.Aku memacu langkah, jubah hitamku berkibar liar. Obor di dinding berkedip tertiup hembusan angin dari kecepatan lari.Bayangan Darius yang dulu haus darah menari-nari di tepian pikiranku, mengejekku:"Mereka takut padamu… buat mereka takut lagi."Aku menggertakkan gigi. Malam ini… aku tak punya pilihan.Tangga spiral menara timur menjulang bagaikan usus naga batu. Setiap anak tangganya dingin, sempit, dan bergetar ringan di bawah telapak kakiku. Aku menapaki satu per satu, cepat tapi senyap, napasku tertahan.Di anak tangga ke-13, tubuh seorang pengawal tergelimpang. Mata membelalak kosong. Darah menggenang di bawah dadanya, robek dan ber
Langit malam masih bertabur bintang saat aku melangkah menyusuri lorong istana. Batu-batu tua di bawah kakiku memantulkan suara langkah yang berat, namun kosong… seperti gema dari seseorang yang bukan aku.Dinding-dinding berhiaskan obor perlahan meredup, meninggalkan bayangan panjang yang merayap di sepanjang karpet merah gelap. Tidak ada suara. Tidak ada teriakan. Tidak ada amarah.Hanya keheningan. Keheningan yang menempel erat di setiap jejakku, seperti kain kafan yang membungkus masa lalu.Para prajurit yang berjaga melirik dari balik helm baja saat aku lewat. Mata mereka berkilat cemas dari celah topeng logam.“Dia berubah,” bisik salah satu dengan suara setipis embusan napas.“Serigala tidak menjadi domba hanya karena diam,” balas yang lain, lebih pelan, namun tajam.Aku pura-pura tak mendengar. Tapi kata-kata itu menempel di tengkukku seperti duri.Mereka menunggu aku meledak. Mereka menunggu Darius kembali muncul.Dan itu… membuat setiap langkahku terasa seperti berjalan di a
Langkahku menggema di lorong batu istana, diapit pilar-pilar raksasa dan jendela kaca patri yang memantulkan cahaya seperti mata-mata diam. Di bawah kakiku, karpet merah darah membentang lurus ke ruang dewan kerajaan, seperti lidah seekor naga yang menuntunku masuk ke perutnya.Udara dingin dan berat.Setiap pengawal yang berdiri di sepanjang lorong menunduk begitu dalam saat aku lewat. Tapi dari sudut mata mereka… ada rasa lain di balik hormat itu, lebih tepatnya itu seperti rasa Takut.Ketakutan yang dalam, seperti pisau yang menancap dalam dan sulit untuk ditarik kembali.Dua pintu mahoni raksasa menjulang di depanku. Ukirannya menggambarkan sejarah kerajaan perang, penaklukan, darah. Aku mendorongnya pelan. Engselnya berderit berat, seolah menjerit menolak kehadiranku.Ruangan bundar terbuka lebar di depanku, berkubah tinggi berhias lukisan para leluhur yang memandang dari atas, diam namun menekan. Di tengahnya, meja bundar raksasa dari marmer hitam mengilap, dikelilingi para bang
Lorong-lorong istana membentang panjang, dingin, dan sunyi, tapi tidak pernah benar-benar kosong. Ada bisik-bisik yang menempel di dinding batu, tatapan samar dari balik pilar, bayangan yang memanjang saat aku lewat. Aku tidak berjalan sendirian.Aku berjalan di antara rasa takut yang hidup.Para pelayan membeku ketika aku mendekat. Mereka menunduk begitu dalam, seperti sedang menghindari tatapan seekor binatang buas. Tidak ada yang berani mengangkat kepala, apalagi menatap mataku. Nafas mereka tertahan, gerak mereka membeku sampai aku benar-benar lenyap dari pandangan. Mereka tidak melihatku sebagai manusia. Mereka melihatku sebagai momok yang bisa mencabut hidup mereka kapan saja.Dan mungkin… dulu memang begitu.Aku ingin berkata, “Aku bukan Darius yang kalian takuti.”Tapi kata-kata tidak akan menghapus bekas luka di punggung mereka, atau bayangan ketakutan di mata mereka. Luka berbicara lebih keras daripada suaraku. Dan luka… ada di mana-mana.“Yang Mulia.”Suara berat itu datang
Elira berdiri membeku di dekat pintu, seolah setiap helaan napasku bisa berubah menjadi cambuk yang siap mencambuknya. Ia diam, tapi seluruh tubuhnya menjerit ketakutan. Ada jarak tak terlihat di antara kami bukan ruang, bukan udara, tapi ketakutan. Ketakutan yang begitu kental hingga membuat udara di ruangan ini terasa membeku.Dan aku tahu, ketakutan itu bukan salahnya. Itu warisan kelam dari Darius… dari tubuh ini. Dosa yang sekarang menjeratku tanpa aku minta.“Elira…” ucapku pelan, mencoba menyusun senyum yang mungkin terlihat canggung di wajah garang ini. “Kau… baik-baik saja?”Matanya membulat sekejap. Ia menoleh cepat, seperti rusa yang mencium bau serigala, lalu memastikan tidak ada orang lain di ruangan. Bahunya menegang seperti kawat yang ditarik. Ia menunduk dalam, begitu dalam hingga helaian rambut keemasannya jatuh menutupi wajahnya seperti tirai.“A-aku baik, Yang Mulia,” suaranya gemetar, retak di ujungnya.“Maaf… jika aku telah mengganggu.”Kata-kata sederhana. Tapi r
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments