Ravena merasakan kemarahan meledak di dadanya. "Cih! Aku tak habis pikir mengapa Kak Kevin bisa begitu jatuh cinta pada wanita sekeji dirimu!" Suaranya penuh penghinaan, tapi tubuhnya gemetar oleh ketegangan.
Helena menyeringai, melangkah mendekat dengan angkuh. "Kau tak bisa menyentuhku, adik ipar ... hihihi! Jadi, buang jauh-jauh niat membunuhmu!" katanya penuh kepuasan. "Masih bersikeras? Baiklah! Potong kaki pengawal ini!"
"Tunggu!" Ravena akhirnya berteriak, matanya memancarkan kepasrahan bercampur kebencian. "Baiklah! Aku akan memberikan Darah Iblis Es! Tapi lepaskan mereka!" Suaranya pecah, nyaris memohon. Tiga pengawalnya telah menjadi keluarganya. Dia tak bisa membiarkan mereka mati dengan sia-sia.
Helena terkekeh, lalu dengan kejam meraih tangan Ravena. Pisau peraknya bergerak cepat, memotong nadi Ravena tanpa ragu. Darah biru es menyembur keluar, mengalir ke dalam wadah yang telah disiapkan.
Helena membutuhkan Ravena dalam keadaan hidup agar Darah Iblis Es yang diambilnya bisa berguna. Kalau Ravena mati saat proses pengambilan darah ini berlangsung maka darah ini tidak ada fungsinya.
Nyeri itu seperti sejuta jarum menusuk tubuhnya, rasa dingin yang menjalar ke seluruh sarafnya. Tubuhnya melemah, kulitnya semakin pucat, tapi matanya masih menyala penuh dendam. "Penuhi janjimu atau aku akan menghantuimu seumur hidupmu!" serunya, napasnya memburu.
Namun, Helena hanya menatapnya dengan seringai penuh kemenangan. "Bunuh mereka semua! Jangan sisakan tubuhnya sedikit pun! Berikan kepada binatang buas!" perintahnya.
Ravena membeku, hatinya merasakan sakit yang mendalam saat melihat tiga kepala menggelinding di lantai, darah membanjiri tanah di sekelilingnya. Pandangannya mulai buram, tetapi suara tawa Helena masih menggema di telinganya.
"Bangsat kau, Iblis!" Ravena memuntahkan kutukannya dengan suara serak, nyaris tak berdaya.
Helena mendekatinya, menatapnya dengan kejam. "Dasar bodoh! Pantas saja Keluarga Drakenis musnah! Kalian memang hanya sekumpulan orang tolol!" katanya, sebelum berbalik sambil membawa botol berisi Darah Iblis Es dengan kepuasan mutlak.
Pria bertubuh besar itu menoleh ke arah tubuh Ravena yang terkulai lemas. "Apa yang harus kita lakukan terhadapnya?"
Helena melambaikan tangannya dengan bosan. "Congkel kedua matanya! Aku tak suka tatapannya yang mengerikan. Setelah itu, penggal kepalanya dan berikan kepada binatang buas!" ujarnya tanpa sedikit pun emosi.
Tiba-tiba, suara menggelegar memenuhi udara.
BRAAAK!
Gerbang besi Keluarga Caraxis terlempar jauh, menghantam algojo yang hendak mencungkil mata Ravena. Debu dan pecahan logam berterbangan, memenuhi ruangan dengan kepanikan.
Sosok itu muncul dari balik kepulan debu. Mata Helena membelalak, tubuhnya kaku seperti melihat hantu.
Dari balik cahaya bulan yang menyorot, berdiri seorang pria dengan sorot mata membara, wajahnya dingin seperti batu, dan aura kematian yang menguar dari setiap gerakannya.
Kevin Drakenis telah kembali.
Kemarahan Kevin Drakenis sudah berada di titik puncak, memenuhi udara dengan aura membunuh yang begitu pekat hingga Paviliun Timur Caraxis terasa seperti tercekik dalam hawa dingin yang menusuk tulang. Matanya, yang biasanya tenang, kini memancarkan api kebencian yang membara.
Di hadapannya, Ravena Xenagon, adik perempuan yang ia lindungi dengan segenap jiwa, kini hanya tinggal tubuh yang kurus yang keelihatan tulang-tulang menonjol. Wajahnya pucat pasi, matanya kosong, tubuhnya gemetar di antara hidup dan mati. Luka-luka yang menganga di kulitnya menjadi bukti kejamnya siksaan yang baru saja ia terima. "Kamu harus mati, bedebah!" raung Kevin, suaranya menggelegar bagai guruh yang memecah kesunyian. Dalam sekejap, ia menghilang dari tempatnya berdiri. Ketika muncul kembali, ia sudah berada tepat di depan algojo yang baru saja mencoba mencungkil mata Ravena. KRAAAK! Suara tulang yang dipelintir dan remuk terdengar begitu nyata, diikuti jeritan kesakitan yang menggema di seluruh halaman. Algojo itu terhuyung, matanya terbelalak ketakutan saat merasakan tangan Kevin mencengkeram wajahnya dengan kekuatan yang tak manusiawi. "Kamu ingin mata adikku? Sekarang, serahkan matamu!" AAARRRGGGH! Teriakan memilukan kembali menggema saat dua jari Kevin menembus rongga mata algojo tersebut, mencabut keluar bola matanya dengan kejam. Darah memuncrat ke mana-mana, menodai tanah dan jubah Kevin yang berkibar tertiup angin malam. "Mampuslah!" Kevin menendang perut algojo itu dengan kekuatan penuh. Tubuh lelaki malang itu terlempar ke udara sebelum jatuh dengan keras, meninggalkan lubang mengerikan di perutnya. Napasnya terhenti seketika. "Kak... Kevin..." Suara lemah itu membuat amarah Kevin sedikit mereda. Ia menoleh dan mendapati Ravena yang terkulai lemah, bibirnya bergetar, matanya mulai kehilangan fokus. "Masih ada Darah Iblis Es dalam tubuhnya... Aku harus bertindak cepat!" batin Kevin. Dengan cepat, ia menghimpun energi spiritualnya, membentuk Rune Penyembuh di udara. Cahaya biru berpendar, menyelimuti luka-luka di tubuh Ravena, menyatukan daging yang robek dan menutup luka dengan kehangatan magis. "Kak Kevin... terima kasih sudah datang... meskipun aku tahu ini hanya imajinasiku saja..." bisik Ravena, suaranya semakin melemah. Jantung Kevin berdetak kencang. Rahangnya mengeras saat ia menggenggam tangan Ravena erat-erat. "Dasar gadis bodoh! Aku tidak akan membiarkanmu mati!" "Siapa yang berani membuat kekacauan di Paviliun Caraxis? Cari mati saja!" Suara nyaring dan tajam itu sangat dikenalinya, memaksa Kevin untuk menoleh. Seorang wanita berdiri di ambang pintu, auranya begitu mengancam. Helena Caraxis. Wajahnya yang cantik tetap angkuh, matanya menyipit begitu mengenali Kevin.Sementara Kevin mengguncang takdir di sisi lain aula, Valkyrie berdiri sendiri di atas lantai batu yang dipenuhi retakan dan genangan darah, berhadapan dengan tiga elder tertinggi dari Sekte Naga Emas.Langkahnya tenang, tapi napasnya sudah membakar udara.Di sekelilingnya, tekanan qi meningkat drastis, membuat obor di dinding bergoyang hebat, seolah enggan menyaksikan pertarungan yang akan meledak sebentar lagi.Dari arah kiri, Elder Varnak—bertubuh kurus dan berkulit abu-abu—mengangkat tangannya yang dililit jubah beracun. Matanya menyala kehijauan, dan dari bawah kakinya, kabut hitam beracun melesat, menyebar cepat seperti racun hidup yang mencari mangsa. Kabut itu bukan hanya menyesakkan—ia menggerogoti qi dan tubuh lawan secara bersamaan, menjadikannya mimpi buruk bagi siapa pun.“Selamat datang di kabut kematian,” gumam Varnak dengan suara mendesis seperti ular.Tapi Valkyrie tidak gentar.Dia melompat ke udara, rambut panjangnya berkibar dalam lengkungan cahaya petir. Tubuhnya
KRAAAK!!!Tubuh naga qi itu terbelah, terpotong dalam ribuan potongan kecil. Energi spiritual mereka menghilang menjadi kabut yang tersedot oleh bilah-bilah pedang Kevin, yang terus berputar seperti badai surgawi.Yuzen mundur satu langkah, wajahnya mulai berubah.“Sialan… kau bahkan... lebih ganas dari legenda mereka…” gumamnya dengan gigi terkatup.Kevin melangkah maju. Setiap jejak kakinya menghapus simbol sihir di tanah. Dia menyipitkan mata, rokok di ujung bibirnya masih menyala perlahan—abu jatuh, membakar lantai batu.“Ini belum selesai,” bisiknya. “Hari ini, seluruh warisanmu akan runtuh. Dan aku akan pastikan... tak ada satu nama pun yang tersisa.”Aula pusat Sekte Naga Emas—yang dulunya megah dengan ukiran naga dan dinding qi spiritual—kini seperti reruntuhan dari medan perang surgawi. Pilar-pilar batu telah tumbang. Obor biru yang tergantung di dinding bergetar hebat, nyalanya menari dalam ketakutan menghadapi satu nama yang mengubah seluruh sejarah malam ini...Kevin Drake
“Kau pikir aku datang ke sini tanpa rencana?” Kevin meludah ke tanah, mengeluarkan rokok baru dari balik jubahnya. Disulutnya rokok itu dengan ujung pedang yang masih menyala api abadi. Di isap perlahan, lalu dihembuskan ke arah Yuzen. “Aku datang... untuk membakar takhtamu. Dan menyebarkan abumu ke neraka terdalam.”Langkah Kevin maju lagi, dan Valkyrie pun muncul dari balik pilar, tubuhnya menyala oleh api phoenix dan petir surgawi.Yuzen meludah darah dan mengangkat kedua tangannya. Di belakangnya, ketiga elder melangkah maju. Aura mereka membumbung—kabut racun, kilatan roh, dan bayangan naga kelam berkumpul jadi satu.“Aku bukan datang untuk membalas dendam semata…” suara Kevin tenang, namun di balik ketenangannya ada amarah yang telah ditempa oleh kehilangan, darah, dan waktu. “Aku datang untuk menghancurkan akar dari semua kebusukan ini. Untuk menghapus namamu dari sejarah... dan dari semua ingatan umat manusia.”Yuzen menyipitkan mata, senyum tipis menyeringai di wajahnya. "Cob
Langkah kaki Kevin Drakenis dan Valkyrie menggema berat di sepanjang lorong utama markas Sekte Naga Emas, seperti gema palu takdir yang mengetuk dinding ruang neraka. Sisa-sisa peperangan dan pembantaian sebelumnya masih terasa di udara—udara yang berat, pekat, nyaris tak bisa dihirup tanpa menelan rasa amis, getir, dan jijik yang mencengkeram lidah.Gerbang utama aula itu—dulunya lambang kejayaan sekte—kini menganga seperti mulut iblis yang haus darah. Relief naga emas di permukaan pintunya telah retak dan menghitam, hangus dilalap api qi. Di atasnya, bendera sekte berkibar pelan, terbakar sebagian, dan mengeluarkan suara sobekan kain seperti jeritan jiwa-jiwa yang dikorbankan.Setiap langkah kaki mereka menjejak di atas lantai batu yang basah oleh darah. Bukan hanya genangan segar, tapi juga lapisan-lapisan darah tua yang telah menjadi kerak—seolah sejarah kekejaman dan penyiksaan tertulis di sana, bukan dengan tinta, tapi dengan sumsum dan air mata. Dupa tua masih membara dari sudu
Langit di atas Pegunungan Darah Iblis masih merah menyala, seakan meniru kobaran qi Phoenix yang membakar halaman utama Sekte Naga Emas. Angin membawa aroma logam—percampuran tajam antara darah segar, daging hangus, dan asap spiritual yang menggantung berat di udara. Getaran qi dan denting senjata masih mengisi atmosfer, menggema dari dinding-dinding batu merah yang kini retak dan berlumur darah.Ribuan cultivator Sekte Naga Emas—dari tingkatan Nascent Soul hingga Void Refining—berlarian membentuk barisan pertahanan terakhir. Suara komando, doa spiritual, dan teriakan penuh kepanikan saling tindih, namun tak bisa menyembunyikan satu kenyataan yang menjulang seperti pedang di tenggorokan mereka: dua sosok berdiri di tengah halaman, seperti dua malaikat neraka yang baru bangkit dari kubur.Kevin Drakenis berdiri tenang di tengah lautan api dan kehancuran. Tubuhnya diselubungi cahaya hitam berkilat seperti malam yang mengamuk, bersatu dengan aura api dari Phoenix yang memeluknya erat sep
Gelombang demi gelombang roh kelaparan mulai bermunculan dari segala arah. Tidak lagi satu—tapi lima… lalu tujuh… lalu belasan makhluk tak berbentuk, masing-masing bervariasi bentuk dan suara...Ada yang melayang terbalik, kepala di bawah, kaki di atas, dengan mulut ternganga lebar dan tawa serak yang mengikis dinding batin.Ada pula yang muncul dari tanah, tangan-tangan patah dengan jari-jari berdarah yang mencoba menarik kaki mereka masuk ke dalam Tanah Terlarang.“Mereka bukan sekadar roh,” bisik Valkyrie. “Mereka adalah parasit yang akan menggerogoti tubuh kita sampai habis.”Kevin mencabut Pedang Dewa Ilahinya. Cahaya ungu kehitaman langsung menyambar sekitar, dan aura qi-nya mengamuk seperti naga yang terusik.“Kalau mereka lapar,” gumamnya, suaranya semakin dalam, “kita beri mereka… kematian terakhir.”Kevin menutup matanya sejenak di tengah jalur penuh bisikan dan erangan jiwa yang tak terlihat. Suara-suara dari lembah ini sudah menembus kedalaman pikirannya—suara tawa retak,