Bab pertama hari ini ... Bab Utama : 1/2 Bab Extra Author : 0/1 Bab Bonus Gems sudah mencapai 6 Bab malam ini jadi author akan mencicilnya ya ...
“Yang mulia ...” Suaranya serak, seperti bisikan yang keluar dari dada berlubang. “Aku ... tak menyangka Anda akan turun langsung ke Nagapolis. Suatu kehormatan besar bisa menyambut Anda di sini.”Axel tidak menjawab. Ia hanya berdiri di ambang, diam seperti bayangan yang kehilangan arah, namun auranya menembus udara seperti ujung pisau yang ditekan ke kulit.Dan dalam diam itu, hawa dingin menyusup perlahan—dingin yang bukan sekadar suhu, melainkan sensasi kematian yang menggigit hingga tulang. Si pria tua menggigil, napasnya mengepul meski tak ada salju. Ia tahu … keberadaan Axel di tempat ini bukan pertanda baik.Dewa Tanpa Wajah melangkah masuk.Tirai kabut menutup pintu di belakangnya, perlahan, hingga suara dari luar sepenuhnya lenyap. Lantai kayu warung tua itu berderit pelan di bawah langkah Axel. Setiap gerakannya nyaris tak bersuara, namun tekanan spiritual yang ia pancarkan membuat dinding-dinding retak mengelupas, dan lampu gantung di langit-langit berkedip-kedip seperti n
Sementara itu, di waktu yang sama...Udara malam di Distrik Hitam menggantung berat, seperti asap racun yang tak kunjung menghilang. Kabut keunguan melayang rendah, menyelimuti setiap sudut jalanan berbatu dan memutar cahaya lampu jalanan menjadi nyala suram. Bau logam, debu, dan sesuatu yang seperti darah lama menempel di hidung siapa pun yang berani masuk terlalu dalam ke wilayah ini.Derap langkah penjaga kota terdengar dari kejauhan, menggaung samar di antara bangunan reyot. Tapi suara itu tak pernah menyentuh bagian terdalam dari Distrik Hitam—tempat ini bukan milik mereka. Di sini, hukum lain berlaku. Hukum yang ditulis dengan darah, dijaga oleh bayangan, dan dijalankan oleh makhluk yang tak lagi bisa disebut manusia.Di lorong sempit yang dipenuhi coretan sihir terlarang dan simbol kultus kuno yang terbakar samar dalam cahaya ungu, sesosok bayangan bergerak perlahan. Ia tak berjalan, lebih tepatnya meluncur—tanpa suara, tanpa jejak. Jubah hitamnya panjang, menyentuh lantai denga
Helena menarik napas dalam-dalam, membiarkan aroma campuran alkohol, asap dupa, dan debu kuno memenuhi paru-parunya. Dadanya naik turun pelan, bukan karena lelah, tapi karena sebuah kebenaran berat baru saja menyelinap masuk ke dalam kesadarannya.“Jadi ini bukan sekadar tentang liontin,” bisiknya, nyaris tak terdengar namun tajam seperti serpihan kaca. “Bukan juga tentang Kevin atau garis darah Drakenis. Ini ... tentang kebangkitan naga leluhur.”Di hadapannya, wanita bertopi bulu hanya mengangguk perlahan. Ujung bibirnya melengkung samar saat ia meneguk cairan pekat dari gelas berkabut, suara kristal beradu ringan memecah keheningan. Bau alkohol tajam langsung menguar, mengaburkan sedikit batas antara masa lalu dan masa kini.“Kau harus memilih, Helena,” katanya dengan suara rendah yang nyaris seperti gumaman mantra. “Bersembunyi terus selama sisa hidupmu, menunggu dunia melupakanmu … atau menyalakan api pertama sebelum Tian Long membuat segalanya menjadi abu.”Helena menunduk, menat
Helena menahan napas. Nama itu—Elder Tian Long—jatuh seperti petir dalam benaknya, menggema lebih nyaring daripada suara pria-pria itu. Tidak. Ini bukan hanya tentang Kevin atau tentang liontin. Ini jauh lebih dalam ... lebih kelam.Ia menunduk, menyembunyikan kilatan emosi yang sempat melintas di matanya. Tak boleh ada celah, bahkan untuk sejenak. Lalu, tanpa suara, ia berbalik dan menyelinap ke jalur kecil di sisi kanan gang, menyusuri lorong sempit yang mengarah ke bar Red Smoke—sarang informasi paling berbahaya sekaligus paling berguna di Distrik Hitam.Bangunan tua itu berdiri seperti benteng arkaik, seluruh dindingnya dipenuhi ukiran rune yang berpendar redup—mantra peredam suara, anti-pelacak, dan jaring ilusi untuk membingungkan pengintai spiritual. Aroma asap herbal dan logam panas menyambutnya bahkan sebelum ia menyentuh pintu.Di balik pintu kayu lapuk itu, rahasia berpindah tangan seperti permainan kartu kematian. Tak semua yang masuk bisa keluar dalam keadaan utuh—tapi Hel
Nagapolis, Distrik Hitam – Tengah MalamKabut tipis mengambang seperti roh penasaran, menyusup di antara celah-celah bangunan tua dan menyelimuti jalanan berbatu yang basah oleh sisa hujan. Udara lembap membawa aroma logam karat, obat-obatan murahan, dan darah yang hampir mengering—bau khas Distrik Hitam yang tak pernah tidur, tak pernah benar-benar suci.Lampu neon berkedip-kedip, nyalanya pucat dan sakit seperti napas terakhir dari kota yang kelelahan. Cahaya merah jambu yang nyaris mati memantul di genangan air kotor, menciptakan ilusi cahaya yang menari di antara bayangan. Di lorong-lorong sempit yang menghubungkan ruko-ruko tua, kedai obat terlarang, dan kios pasar gelap, suara tawa dan bisik-bisik persekongkolan saling bertindih seperti jaring laba-laba yang tak terlihat.Helena melangkah perlahan di antara keramaian yang tak pernah benar-benar ramah. Jubah gelapnya menjuntai hampir menyentuh tanah, kerudungnya menutupi sebagian besar wajahnya. Tapi tak ada yang benar-benar luput
Di tengah pelataran, Claudia berdiri dengan tubuh tegang, menggenggam lembaran dokumen yang ujung-ujungnya sudah kusut karena cengkeraman terlalu erat. Ambisi Kevin sungguh di luar dugaannya dengan menantang dewa.“Lalu bagaimana dengan urusan Paviliun Xarxis?” tanya Claudia, suaranya nyaris ditelan hembusan angin. “Mereka belum menerima kematian putra kembar pemimpin mereka … yang tewas di tanganmu. Sekarang mereka menyebutmu dengan nama yang tak bisa dicabut—Penghancur Kembar Suci.”Kevin berdiri membelakangi gerbang utama, tubuhnya bersandar ringan pada salah satu tiang batu yang terukir naga. Matahari pagi menyinari sisi wajahnya, membentuk garis-garis tajam pada rahangnya dan bahu lebarnya. Saat dia membuka mata, sorotnya setajam cahaya pedang yang menyayat kabut.Udara pagi yang mendingin, membawa aroma batu basah dan rempah dari kebun herbal Paviliun Dracarys. Angin kencang menggoyangkan tirai bambu, membuat suara gesekannya terdengar seperti bisikan masa lalu.Kevin berdiri dia
Jari-jari Kevin gemetar saat ia menyambar gulungan tua itu dari tangan Claudia. Kertasnya kasar dan berdebu, mengeluarkan aroma khas naskah kuno—seperti kayu terbakar yang dilupakan waktu. Ia membukanya dengan cepat namun hati-hati, dan lembaran pertama langsung membuatnya terpaku.Sketsa kasar itu terlihat seperti digambar dengan darah dan bara. Seorang pria bertubuh raksasa berdiri tegak di atas tumpukan mayat, daging dan besi terjalin dalam gambaran yang begitu nyata hingga hampir terasa hidup. Di tangannya, sebuah pedang besar—hampir setara dengan tinggi tubuh manusia dewasa—menjuntai ke bawah, meneteskan sesuatu yang tampak seperti tinta hitam ... atau darah.Kevin menelan ludah. Suaranya nyaris tenggelam ketika ia bergumam, “Voltron ...”Meski hanya satu kata, bisikan itu seakan mengguncang udara. Hawa dingin merayap dari sela-sela halaman berbatu, naik menelusup hingga ke tulangnya. Nama itu membawa kilasan ingatan asing ke dalam benaknya—gambar-gambar samar tentang medan perang
Kilatan tajam muncul di mata Kevin. Ia menoleh pelan, seolah mencatat setiap kata dalam benaknya."Jika dia memang terlibat dalam semua ini ..." katanya, suaranya nyaris seperti bisikan petir, "... maka aku akan menyeretnya keluar dari sarangnya."Baron berbalik cepat. “Jangan gegabah, Kevin! Raisa bukan lawan yang bisa kau anggap remeh. Bahkan Elder Tian Long yang pemimpin utama Sekte Infinity Power tidak bisa mengendalikan iblis ini. Mereka bukan sekadar organisasi, mereka bagian dari konspirasi yang jauh lebih dalam … bahkan sampai ke insiden Paviliun Drakenis.”Kevin diam, namun matanya tak lagi menunjukkan keraguan."Jika mereka terlibat dalam kehancuran keluargaku ... maka cepat atau lambat, aku akan menghadap mereka. Aku tak peduli seberapa kuat atau beracun wanita itu. Aku tidak akan mundur."Angin berhembus kencang melalui jendela kecil. Jubah Kevin berkibar, seolah menegaskan bahwa badai sesungguhnya akan segera datang.Dan di kejauhan … dalam kegelapan malam yang pekat, mata
"Tidak … tidak mungkin! Helena sudah tiada!" bisiknya dengan suara lebih keras, matanya melebar. "Dia mati di tanganku sendiri ... di antara darah dan reruntuhan. Aku yang memastikan napas terakhirnya!"Tapi aura itu … aura lembut yang menyelusup ke dalam relung jiwa, yang tak bisa disalahartikan … terasa begitu nyata."Apa… roh penasaran? Hantu? Tapi kenapa setelah sekian lama, rasanya masih sama... seperti ada bagian dari dirinya yang belum sepenuhnya pergi…”Seketika, suara berat dan berwibawa memotong lamunannya.“Kevin.”Suara Baron Vasper terdengar tegas, menyadarkan Kevin dari pusaran pikirannya. Kevin menoleh cepat, seakan tertangkap basah dalam nostalgia."Maaf, Paman," katanya buru-buru, menata kembali ekspresinya yang sempat goyah.Baron mengamati Kevin dengan tatapan lembut namun penuh pemahaman. Ia tahu Kevin menyimpan banyak luka, dan tak semuanya bisa sembuh hanya dengan waktu.Kevin menarik napas dalam-dalam, lalu menatap Baron dengan sorot mata yang kembali tajam dan t