LOGINGadis cacat adalah sebutan untuknya, dia tidak memiliki sihir seperti lainnya. Earwen Freya Laurels gadis yang lahir berbeda dengan putri Raja lainnya. Makian, gunjingan, dan tidak dihargai sudah menjadi makanannya. Puncak penderitaannya adalah ketika sang Ayah menikahkannya dengan King's-orang tertinggi di Esterlens. "Jangan pernah mencintai saya gadis cacat. Karena dicintai oleh kau adalah hal yang menjijikkan!" -Edmund Malviano Windsor. Tinggal bersama sang suami membuat hidup Earwen berubah, banyak hal yang baru diketahui. Masa lalu Edmund dan ramalan sang legenda.
View MoreDi dalam ruang persalinan itu, Kira berjuang sendirian. Ia meringis kesakitan, tangannya hanya mencengkeram tepian ranjang bersalin. Tidak ada tangan yang dapat ia jadikan pegangan. Tidak ada suami yang dapat ia jadikan sandaran. Kaisar—suaminya, tidak hadir di sini, bahkan sejak awal pernikahan, Kai tidak menginginkan Kira, apalagi anak yang dikandungnya.
Tapi, Kira masih merasa semua baik saja, karena setidaknya, sebentar lagi bayi di perutnya akan menemaninya.
“Tolong... sakit...,” erang Kira, air matanya meluruh membasahi pipi.
Dokter dan perawat bersiap di sampingnya. “Tarik napas dalam, Bu Kira. Sedikit lagi... dorong.”
Dengan sisa-sisa tenaga yang dimiliki, Kira mendorong sekuat tenaga. Hingga akhirnya bayi itu lahir.
Namun, sesuatu yang mengerikan terjadi.
Ruangan yang seharusnya dipenuhi tangisan bayi itu kini terasa sunyi. Amat sunyi.
Wajah Kira yang pucat seketika memandangi bayi mungil dalam pelukan dokter. “Kenapa dia tidak menangis?” tanyanya panik.
Dokter dan perawat saling pandang satu sama lain. Lalu dokter memerika kondisi bayi dan berusaha membuat si bayi mengeluarkan tangisan. Detik demi detik berlalu bagaikan berabad-abad bagi Kira.
“Mohon maaf, Bu Kira. Bayi Anda tidak bernyawa saat dilahirkan,” ujar sang dokter dengan penuh penyesalan beberapa saat kemudian.
Dunia Kira hancur dalam sekejap. Tubuhnya menggigil hebat.
Ia menatap kosong ke arah bayi yang tidak sempat ia peluk, tidak sempat ia dengar tangisannya. Hatinya seperti dihantam batu besar yang menghancurkan seluruh harapannya.
“Tidak... tidak mungkin,” gumamnya lirih, menolak kenyataan yang baru saja dokter katakan.
Tangannya terulur dengan gemetar, ingin menyentuh anaknya, ingin membuktikan bahwa semua ini hanya mimpi buruk. Namun, saat jari-jarinya menyentuh kulit mungil itu, tubuhnya benar-benar terasa dingin. Tidak ada kehangatan. Tidak ada napas kecil yang seharusnya terasa.
Tangis Kira pecah. Ia menjerit, merasakan kehilangan yang begitu menyakitkan.
Hingga pandangan Kira tiba-tiba terlihat gelap.
Kira pingsan sebelum ia sempat memeluk bayinya yang terbujur kaku.
Kira baru siuman ketika ia sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Ruangan itu terasa sunyi dan dingin. Kira merasakan hatinya hampa. Tatapannya kosong.
Lantas diraihnya ponsel yang teronggok di atas rak samping ranjang. Mungkin perawat yang sudah membantu menaruh ponselnya di sana, pikir Kira.
Dengan tangan gemetar ia mencari nomor telepon Kai, suaminya. Lalu menghubunginya. Namun, panggilan Kira ditolak tepat didering ketiga. Ia ingin mengabarkan bahwa bayi mereka telah meninggal dunia. Namun, Kira merasa yakin bahwa itulah kabar yang ingin didengar oleh suaminya. Kai tidak pernah menginginkan bayi itu sejak awal.
Kira menjatuhkan ponsel dari telinga begitu panggilannya kembali ditolak untuk kedua kali. Ia tidak memiliki siapa-siapa. Satu-satunya anggota keluarganya adalah ibunya, yang kini sedang terbaring lemah di ruang ICU.
Dulu, Kira terpaksa menikah dengan Kai karena kehadiran bayi dalam kandungannya setelah peristiwa kelam yang terjadi pada suatu malam. Kai menikahinya atas dasar tanggungjawab dan dipaksa oleh sang kakek. Kai merupakan seorang CEO di perusahaan raksasa, sang kakek mengancam akan melengserkan Kai dari jabatannya sebagai CEO jika tidak mau bertanggungjawab atas kehamilan Kira. Tepat di bulan keenam pernikahan mereka, kakek Kai meninggal dunia.
“Anakku... aku harus menemui anakku...,” gumam Kira setelah ia keluar dari lamunannya.
Saat Kira akan turun dari ranjang pasien, ia terkejut saat mendapati ada sesuatu yang basah merembes dari dadanya. Itu adalah ASI. ASI yang seharusnya ia berikan kepada putranya yang belum sempat ia peluk sampai saat ini. Air mata Kira kembali mengalir mengingat kematian putranya.
Ia mencabut jarum infus dari punggung tangannya. Dengan langkah sempoyongan, ia berjalan keluar dari ruang perawatan. Mengabaikan rasa sakit setelah proses persalinan. Kira melangkahkan kakinya di lorong rumah sakit dengan air mata yang terus mengalir.
“Permisi! Tolong menyingkir! Ada pasien yang akan melahirkan!” seru seseorang dari arah belakang Kira diiringi derap langkah kaki yang saling berlari dan roda brankar yang didorong dengan cepat.
Belum sempat Kira menyingkir, salah seorang dari rombongan itu menyenggol Kira hingga Kira terjatuh ke lantai dan memekik kesakitan.
Kira mendongak, menatap nanar ke arah wanita hamil yang akan melahirkan—yang ada di atas brankar tersebut. Hatinya semakin pilu, air matanya mengalir kian deras menahan segala rasa sakit yang menghujam hati dan tubuhnya.
Di saat dirinya kehilangan anaknya yang tak sempat ia peluk, di sisi lain ada wanita yang akan menyambut kelahiran anaknya dengan sukacita, bahkan ditemani suaminya. Terlihat dari tangan wanita itu yang digenggam erat oleh seorang pria.
Perlahan, dengan tubuh yang lemah, Kira bangkit dari lantai. Ia harus pergi menemui anaknya, di ruang jenazah, ruangan yang seharusnya tidak ia kunjungi sebagai seorang ibu yang baru saja melahirkan.
Dengan langkah terseok-seok Kira menyeret langkahnya menyusuri koridor rumah sakit. Hingga ia tiba di dalam ruangan yang terasa dingin itu dengan aroma khas yang menyengat hidungnya.
Dan di sana, di atas meja panjang beralas kain putih, terbaring sesosok bayi mungil yang telah dibungkus kain kafan.
Kira melangkah mendekat. Perlahan ia duduk di kursi di samping meja, menatap wajah mungil itu yang membiru.
Bahu Kira berguncang hebat. Isakannya pecah tanpa bisa ia tahan lagi.
“Maaf... Maafkan Mama, Aksa....”
Kira meraih tubuh kecil itu ke dalam pelukannya.
Dingin.
Tak ada lagi kehidupan di sana.
Setelah melalui berbagai proses untuk kepulangan jenazah, bayi bernama Aksa itu kini diantarkan oleh ambulance menuju tempat pemakaman.
Kira tak berhenti menangis di samping anaknya yang terbujur kaku itu.
Kira kembali menelepon Kai. Dan kali ini panggilannya terangkat di dering keempat.
“Halo?” Suara dingin Kai menyapa telinga Kira.
Kira menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan isak tangis yang akan keluar. “Mas, aku... aku sudah melahirkan,” lirihnya dengan hati perih. Ia tidak yakin Kai akan senang dengan kabar tersebut. Namun ia tetap harus menyampaikannya.
“Lalu?”
“Anak kita ... anak kita meninggal, Mas.” Tangis Kira kembali pecah. “Sekarang... sekarang aku sedang dalam perjalanan. Aksa—maksudku bayi kita akan segera dimakamkan.”
Hening. Tidak ada tanggapan apapun dari seberang sana.
“Mas? Kamu dengar aku, ‘kan?” tanya Kira, memastikan Kai masih berada di sana. “Mas, aku mohon, dia anakmu juga. Seenggaknya datanglah ke pemakamannya.”
Masih hening. Kira tidak tahu apa yang tengah dilakukan dan dipikirkan Kai saat ini.
Hingga akhirnya terdengar Kai menghela napas kasar. “Aku tidak bisa datang. Urus saja pemakaman anakmu sendiri. Dia bukan urusanku,” ucap Kai dingin, yang membuat hati Kira terasa seperti dicabik-cabik mendengarnya.
***
Suasana ruang pertemuan di istana Hillary terasa mencekam. Lampu-lampu kristal menerangi ruangan, tetapi hawa dingin yang menguar di dalamnya membuat siapa pun yang berada di sana merasa tak nyaman. Anne berdiri anggun di tengah ruangan, mengenakan gaun berwarna biru tua yang serasi dengan matanya. Rambut panjangnya disanggul rapi, bibirnya tersenyum lembut. Seakan-akan ia adalah wanita tanpa dosa, tak menyadari badai yang sedang menunggu untuk menerjangnya. Di hadapannya, Edmund duduk di singgasananya, ekspresinya sulit ditebak. Tangannya bertumpu di lengan kursi, sementara Jack berdiri di sampingnya dengan tatapan tajam. Anne tersenyum dan menyembah ringan. “Yang Mulia, aku senang akhirnya bisa berbicara langsung denganmu. Aku membawa kabar penting.” Edmund tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya, membiarkan keheningan menggantung di udara. Detik demi detik berlalu, dan senyum Anne mulai menegang. “Yang Mulia?” Anne mencoba memecah keheningan. Edmund akhirnya berbic
Earwen menatap Carlo yang menuntun mereka ke tempat yang lebih aman. Pria bertudung hitam di pelukannya mulai kehilangan kesadaran, napasnya berat dan tubuhnya terasa dingin. Earwen menggigit bibir, merasa cemas. Jika pria ini mati sebelum ia mendapatkan informasi yang diinginkan, maka semua usahanya akan sia-sia. Setelah perjalanan singkat, mereka tiba di sebuah rumah kecil di bagian barat kota Hillary. Carlo melompat turun dari kudanya lebih dulu, lalu membuka pintu kayu yang berderit. “Bawa dia masuk,” perintahnya. Earwen mengangguk, lalu dengan susah payah ia menurunkan pria bertudung itu dan membawanya masuk ke dalam. Rumah itu kecil dan tidak mewah, hanya ada satu tempat tidur sederhana dengan beberapa perabotan seadanya. “Taruh dia di sini,” kata Carlo sambil menepuk kasur tua itu. Earwen menurunkan pria itu perlahan, lalu menyingkap tudungnya. Saat wajahnya terlihat jelas di bawah cahaya redup, mata Earwen membelalak. “Tidak mungkin…” bisiknya, suaranya tercekat. Pria
Setelah menempuh perjalanan yang lumayan memakan waktu, Earwen dan Carlo akhirnya sampai di pusat kota Hillary. Salju sudah mulai turun di Hillary, orang-orang berseliweran menggunakan pakaian musim dingin. Earwen menengadahkan tangannya menangkap salju yang turun. Netranya menelisik salju yang tengah berada di telapak tangannya. "Hei, ayo lanjutkan perjalanan ke tempat Gert."Ucapan Carlo membuyarkan Earwen. Ia menolehkan kepalanya ke samping. "Kau duluan saja, aku akan kembali lagi setelah senja." Carlo mendelik tidak suka. "Kau gila?! Kau bahkan belum tahu di mana letak tempat itu." "Kalau begitu aku akan menunggumu di sini nantinya, bye Mr. Pirang." Earwen memacu kudanya ke arah kanan, meninggalkan Carlo yang setengah mendidih. Tujuannya adalah pergi ke taman Yolain. Berharap menemukan Briana di sana. Setibanya di taman Yolain, Earwen membuka tudung kepalanya membebaskan rambutnya yang terkuncir layaknya ekor kuda itu. Earwen tidak yakin orang-orang akan mengenalinya yang dulu
Bunyi Sepatu yang beradu dengan dinginnya lantai terdengar nyaring. "Kau datang, eh." Suara bariton milik pria yang sudah berumur itu menggelegar di setiap sudut. "Datang untuk menyerahkan ini," sahutnya dan melemparkannya ke arah pria tua itu. "Crystal Balls, dari mana kau mendapatkannya Sean Osbert?" "Anda tak perlu tahu, ayahanda. Kudengar benda itu terbuat dengan darah unicorn," tanya Sean dan mendudukkan tubuhnya pada sofa. "Benar sekali, son. Crystal Balls akan membantu menyempurnakan ramuanku." Galadriel menyeringai lebar melihat Crystal Balls yang berada di genggamannya, ah ia sudah tidak sabar untuk mengolahnya menjadi hal 'hebat'."Kau sudah banyak membantuku, son." Galadriel membuka lemari yang tak jauh dari dirinya berdiri. Ia mengambil sebuah pedang dan menyerahkannya kepada sang anak. "Untukmu," sambung Galadriel. Sean menerima pedang tersebut. "Téggewira? Anda serius menghadiahkan pedang Téggewira?" tanyanya memastikan. Pasalnya Téggewira bukanlah pedang biasa. Pe






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
reviews