Fafa, Ome, Ocha, Naga dan Atha tak pernah menyangka akan mendapat hukuman aneh dari Silvianita. Bukannya dihukum biasa, mereka justru diarahkan masuk ke gua crystal yang ternyata menjadi gerbang menuju dunia lain bernama Crystalville. Crystalville dipenuhi penduduk dengan antena di kepala dan sayap di punggung, membuat kelima remaja itu merasa asing sekaligus takjub. Dalam kebingungan, mereka bertemu Marca, anak kecil berambut bob yang selalu setua dengan snack kentangnya. Kehadiran Marca membawa warna baru di tengah perjalanan mereka. Namun, ada pertanyaan besar yang belum terjawab : untuk apa Silvianita mengirim mereka ke sini? Apakah benar hanya hukuman atau ada misi tersembunyi yang harus mereka selesaikan?
View MorePukul 07.00, di sebuah kamar berukuran sedang dengan nuansa club sepakbola lidengan segala aksesoris disertai tatanan kamar yang didominasi warna-warna yang tak jauh-jauh dari logo club bola terkenal itu.
Kringgg!!!kringggg!!kringgg!!
Cewek berambut pendek berantakan itu menyeruak dari balik selimut tebalnya yang masih senada dengan nuansa kamarnya, “Hoaaaammmm... brisik banget nih beker!”.
Seketika, tangannya menuju meja kayu kecil di samping tempat tidur, dimana jam beker itu berdering dengan kencangnya. Sempat terlihat hampir melempar beker itu, tetapi kemudian matanya melotot begitu melihat paduan jarum pendek dan jarum panjang pada jam beker.
“Oh my god, gue kesiangan! Kenapa orang rumah nggak ada yang ngebangunin? Parah!”
Ia pun bangkit dari tempat tidur yang berantakan itu sambil melempar selimut tebalnya yang kusut lalu segera meluncur menuju kamar mandi pribadi yang terdapat di dalam kamarnya. Tetapi kemudian...
“Handuk! Handuk!” sambil menepuk dahi berkali-kali dengan pelan disertai wajah panik.
“Fa, Ayah berangkat duluan ya!” sebuah teriakan dari lantai bawah rumah bertingkat dua itu
“Yaaah.. ngangkot lagi deh..” keluh Fafa begitu keluar dari kamar mandi.
Ia hanya butuh waktu kurang dari lima menit untuk mandi, tiga menit untuk memakai seragam SMAnya dan satu menit untuk merapikan rambut pendeknya yang tak pernah berganti model sejak empat tahun yang lalu itu. Orang ini memang sedikit kolot untuk persoalan mengganti gaya rambut!
“It’s my style!” sambil merapikan poni yang sedikit berantakan.
Dia adalah Fafa yang tomboy, cuek, simple dan punya jiwa leadership yang tinggi, dengan fakta satu jabatan yang kini tengah dipegangnya, ketua OSIS SMA Bakti Jaya.
❖ ❖ ❖Di sebuah kamar serba biru dengan tujuh rak kayu berisi buku-buku di dalamnya. Ditambah dengan tumpukan buku-buku di tiap sudut kamar yang tersusun rapi, lalu terlihat pula beberapa buku yang bergeletakan di atas tempat tidurnya yang sedikit kurang rapi.
“Dev sayang... bangun nak..” suara itu lembut dan keibuan.
“Hmmmpph..” Cowok itu hanya berbalik dari arah berbaringnya semula.
“Aduh sayang, ini sudah jam tujuh pagi.” Wanita itu mengusap lembut kepala cowok itu, yang entah disadari atau tidak, masih menggunakan kacamata tebalnya dalam kondisi tidur.
Cowok itu menjawab dalam kondisi setengah bangun, “Ahh... masih jam tujuh ini, Buu”.
Ibu paruh baya itu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil merapikan buku-buku tebal yang berserakan di sebelah putranya yang tengah dalam keadaan setengah sadar, antara tidur dan tidak. Kemudian dalam beberapa detik terdengar teriakan yang tidak biasa terjadi dari kamar tersebut.
“JAM TUJUH??? Ya ampuuuunn!!!”
Cowok itu segera meloncat dari tempat tidur, tanpa menghiraukan sang Ibu yang dengan pengertiannya membereskan buku-buku ‘sampah’ itu agar tidak berserakan di atas tempat tidur putra kesayangannya.
Profesi Ibu yang lembut dan penyabar itu adalah seorang guru taman kanak-kanak, jadi tak perlu dipersoalkan jika Ia memiliki cara yang ‘khas’ menghadapi anak-anak TK dalam hal apapun, bahkan untuk satu hal riskan seperti membangunkan anak tunggalnya yang jenius dan selalu juara olimpiade itu.
Dia adalah Ome, dengan segala macam kelebihan dan kekurangannya. Ia genius, respek, kutu buku, dan satu lagi, pemilik wajah innocent yang punya banyak fans.
❖ ❖ ❖
Di sebuah kamar dominan pink, dari warna pink yang soft hingga pink yang agak mencolok dengan nuansa glamour mendekati alay. Untuk ukuran luas, mungkin terlalu berlebihan dari ukuran standard kamar seorang manusia pada umumnya.
Terdapat beberapa lemari pakaian super besar yang berisi bermacam-macam stuff mulai dari sepatu, baju, kemeja, dress, kaos, aksesoris, jepit rambut hingga kaus kaki pun tertata dengan rapi dan terorganisir di setiap bagian lemari yang hampir diletakkan mengelilingi kamar itu.
Ibarat kata, kamar itu bertembokkan lemari. Satu hal, Jika masuk ke dalam kamar ini, mungkin seseorang akan mengira ini adalah kamar ganti seorang artis terkenal yang memiliki jam terbang tinggi.
Beralih dari semua kegilaan kamar itu, sekarang saatnya menuju rutinitas yang hampir setiap pagi terjadi, uniknya, selalu dengan kondisi dan kericuhan yang sama.
“Biii.. mana catokan rambut Ocha??” berteriak dengan suara yang hampir membuat siapapun akan menutup telinganya rapat-rapat.
“Ini non...”, sambil tergopoh-gopoh menghampiri nona manisnya yang sedang berdiri di depan cermin rias berukuran besar dengan sentuhan warna gold yang membuatnya terlihat mewah.
“Sepatu Ocha bii..” Ia menyuruh seseorang yang lain lagi.
Kali ini seorang datang membawa sebuah kotak berisi sepatu.
“Aduh.. bukan yang ini, payah nih si Bibi, bisa telat nih Ocha! Sebel!.”Cewek cantik berperawakan tinggi itu memanyunkan bibirnya.
“Yang ini non...?” untunglah si Bibi yang lainnya lagi cepat sekali tanggap memenuhi permintaan –yang sebenarnya lebih pantas disebut perintah- nona cantiknya.
“Nah... pinter nih si Bibi.” terlihat puas seraya mancubit pipi si bibi.
Dia adalah Ocha yang super cantik, juara 1 modelling, selalu ingin tampil perfect, genit, dan ketua cheer leader di sekolahnya.
❖ ❖ ❖
Di kamar bernuansa basket, dengan aksesoris dan properti serba basket pula di dalamnya. Dari tatanan kamarnya yang seperti ini, pastilah semua orang akan menyimpulkan si pemiliknya adalah orang yang sangat menyukai permainan bola voli (ngelawak),ehm.. basket maksudnya.
“Kak, buruan kenapa? Gue bisa telat ke sekolah nih..” suara dari kamar mandi didepan kamar ‘basket’ itu.
Pemandangan yang tidak enak dipandang, antrian mandi di pagi hari
“Kamar mandi elo kenapa?” suara Kak Arshan dari dalam kamar mandi diiringi suara shower yang membuatnya tidak terlalu jelas mendengar.
“Macet krannya, ah.. Bawel nih Kakak! Buruuuuu!” ucapnya dengan kesal.
“Em.. oke, Sepuluh menit lagi.” Kak Arshan seperti sengaja meledek adiknya, kemudian tertawa.
“Ahhh.. bisa telat setengah jam gue...” Naga mendengus kesal.
Tanpa pikir panjang, seseorang itu berinisiatif mencari kamar mandi lain yang tidak dipakai di rumahnya yang gedongan itu.
“Aha! kamar mandi Pak Dodo!”
Pak Dodo adalah tukang kebun di rumahnya. Ia segera melesat menuju kamar mandi yang terletak di samping dapur di lantai satu itu.
Dia adalah Naga. Kapten tim Basket SMA Bakti Jaya yang keren, cuek, dan punya banyak fans yang tergila-gila dengan aksinya dengan si bola orange bundar itu.
❖ ❖ ❖
Di kamar sederhana, di sebuah rumah yang sederhana, dengan dekorasi dan tatanan yang sederhana pula. Meskipun semuanya serba sederhana, tetapi kesederhanaan itu tidak mengurangi nilai keindahan yang ada di rumah kecil itu.
Apalagi ketika melihat di depan rumah itu, ada sebuah taman kecil yang ditanami bunga dan tanaman yang indah dan terawat.
“Dagangan Ibu udah Atha taruh di meja depan, maaf nggak bisa nganterin Ibu, Atha telat ke sekolah.”
Seorang Ibu paruh baya berlari kecil dari dapur untuk menghampiri putrinya yang berpenampilan sederhana itu.
“Iya, nggak papa nak, terimakasih ya nak, uhuk.uhuk.uhuk.” wanita berumur sekitar 40 tahun itu sedikit menahan saat Ia batuk.
“Ya Ampun, Ibu batuk lagi? Udah di minum kan obatnya? Nanti Atha beli lagi di apotek. Atha berangkat dulu ya, Bu?” cewek sederhana itu mencium tangan ibunya dengan penuh kasih.
“Iya nak”, wanita itu masih memegang dadanya yang agak sesak sambil mengikuti anaknya hingga teras di depan rumah.
Dia adalah Atha. Ketua teater disekolahnya. Atha yang sederhana, punya jiwa sosial yang tinggi, peraih beasiswa penuh dan Sutradara tim Teater SMA Bakti Jaya.
❖ ❖ ❖
Sekitar lima belas menit kemudian, secara tidak sengaja kelimanya sampai di ruang BK bersamaan. Berasal dari sumber yang terpercaya, ruangan BK adalah ruangan yang menjadi momok menakutkan bagi siswa-siswi SMA Bakti Jaya karena penghuninya adalah seorang yang killer dan tak punya hati.
Dia adalah Silvianita. Guru BK yang memiliki tinggi 153cm (emm?), berat badan 68 kilogram (nampaknya kurang ideal) dan memiliki tatapan mata yang tajam hingga menusuk bagi siapapun yang berurusan dengan orang yang satu itu.
“Ehm.ehm.”
Suara itu terdengar menggelegar diiringi bunyi sepatu berhak tinggi 10 cm yang selalu dikenakan, tentu saja untuk menyamarkan tinggi badannya yang kurang memadai itu.
“Pagi Bu..” wajah mereka sangat gugup, terlebih Atha yang tangannya gemetar.
“Pagi!” dengan wajah ketus tanpa ekspresi sedikitpun.
“Maaf Bu, Saya...” Fafa memberanikan diri membuka suara, setelah sebelumnya melirik ke kanan dan kirinya.
“Terlambat!!! Tidak ada yang bisa dimaafkan dari mereka yang datang terlambat, dengan alasan apapun! Apalagi alasan klasik seperti bangun kesiangan, ban motor kempes, menolong nenek-nenek menyebrang jalan, ketinggalan angkot, tidak dapat bis dan alasan lain yang tidak bisa Saya terima.” Silvianita berbicara dengan cepat dan keras.
Silvianita duduk begitu saja di atas kursi ‘singgasana’nya sambil mengamati satu per satu wajah kelima murid yang duduk di depannya itu, sepertinya cukup familiar. Kemudian, Ia menurunkan posisi kacamata dengan frame merah marun miliknya itu.
“Bukankah Anda Refa Natasha, ketua OSIS?”
Fafa menganggukan kepalanya tanpa ragu.
"Anda... Dev Romero? Juara olimpiade dan ketua KIR?”
Ome tersenyum malu sambil membenarkan posisi kacamatanya.
“Kemudian, Anda Rossa Mochana? Ketua cheers dan juara 1 modelling?”
Ocha tersenyum bangga sambil memainkan ujung rambutnya yang terlihat sangat terawat dan indah.
“Aditya Naga? Ketua tim basket?”
Naga mengangguk pasti tanpa rasa bersalah tetap dengan gaya cueknya.
"Daaann.... Anda Zathana Airin, ketua teater?”
Atha menggangguk sopan dengan wajahnya yang sedikit memerah.
Silvianita menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu bangkit dari kursi dengan lambang SMA Bakti Jaya ditengah sandarannya.
“Seperti kalian tahu, kedisiplinan adalah salah satu keunggulan kita dari sekolah-sekolah lain. Karena dengan disiplin kita pasti akan menjadi seorang yang bertanggung jawab. Tidak seharusnya kalian terlambat seperti sekarang ini, kalian seharusnya menjadi teladan bagi murid-murid yang lain, ini benar-benar memalukan. Masih pantas kalian menduduki jabatan-jabatan itu?”
Kelimanya terdiam. Fafa, Ome dan Atha menundukkan kepala, sepertinya mereka menyesali masalah keterlambatan ini. Sedangkan Naga, Ia sedikit santai dengan sindiran Silvianita. Bagaimana dengan Ocha? Gila! Diam-diam Ia memasang airpods, sehingga Ia tidak mendengar kata-kata yang baru saja keluar dari mulut pedas wanita yang pernah mendapat gelar guru BK SMA terbaik tujuh tahun berturut-turut tersebut.
“Mengapa kalian diam? Silvianita membentak dengan keras.
Lagi-lagi, mereka tak berani membuka suara.
“Baiklah, Saya akan memikirkan hukuman apa yang pantas kalian terima karena keterlambatan ini. Saya pikir, akan lebih baik jika Saya memberikan hukuman spesial karena kalian adalah orang-orang spesial pula di sekolah ini. Bagaimana? Deal?”
“Boleh Saya tau hukumannya akan seperti apa, Bu?”
“Rahasia!” ucap Silvianita melirik tajam.
Fafa mendengus kesal.
“Cukup, kalian boleh kembali ke kelas. Tak perlu memikirkan hal yang tidak-tidak, tak perlu repot untuk meminta tandatangan semua penghuni SMA ini, ataupun membersihkan seluruh ruangan di SMA ini, seperti hukuman-hukuman yang pernah teman-teman kalian dapatkan dari Saya.”
Tiba-tiba Silvianita berdiri.
“Siapkan fisik dan mental kalian saja untuk... lusa.”, lalu beranjak keluar ruang BK dengan senyuman aneh yang tak bisa diidentifikasi.
Kelimanya hanya bisa saling berpandangan hingga Silvianita benar-benar menghilang dari balik pintu, ada banyak tanda tanya besar berlipat-lipat diatas kepala mereka.
Setelah Fafa, Naga, Ome, Atha dan Ocha selesai makan, Doffies wanita segera membereskan meja makan. Gerakan mereka sangat cepat dan lincah meskipun ukuran tubuh mereka kecil sehingga dalam hitungan beberapa menit, meja makan sudah rapi dan bersih seperti sedia kala.“Kenyaaaaanggg..” Naga berteriak senang“Setelah ini kita kemana Doff?” Atha membersihkan sisa saus di bajunya menggunakan tisu.“Doff antar kalian ke Crystalville, mari!” Doff melangkah mendahului mereka, kemudian berjalan keluar dari bangunan tempat tinggal para Doffies itu untuk segera menuju Crystalville.“Apa lagi ini?” Fafa terkejut melihat sesuatu di depan matanya.Lazulite. Para Doffies menggunakan kendaraan itu untuk mengantarkan surat, pergi ke ladang, serta pergi ke Kementerian Bahan Pangan Crystalville. Kendaraan ini diberikan secara cuma-cuma bagi setiap Doff untuk menjalankan pekerjaannya. Lazulite yang terlihat unik itu memiliki panjang sepuluh meter dan lebar hampir tiga meter, warnanya hijau pucat dan te
Entah berapa lama Doff menghilang untuk membujuk teman-temannya, hingga Fafa dan yang lainnya duduk kelelahan setelah puas berkeliling ruangan yang sangat besar ini. Kini, mereka duduk bersandar pada meja besar seperti bagian resepsionis di hotel-hotel mewah. Terdapat lambang huruf DF ditengah meja besar itu, huruf itu dikelilingi untaian daun-daun kecil berwarna hijau. Mungkin itu lambang milik sekumpulan Doff disini.Tiba-tiba terdengar suara berisik dari dalam ruangan, Doff muncul dari balik pintu besar itu, kemudian diikuti dua sosok yang sangat mirip dengan Doff. Muncul 3, 4, 5, 6, 10, 14 dan banyaaaaak makhluk yang sama persis dengan Doff yang kini berjalan beriringan menuju tempat mereka berlima duduk melepas lelah.Melihat serombongan besar berjumlah lebih dari tiga ratusan itu memenuhi ruangan aula besar, kelimanya segera berdiri menyambut dengan senyum mengembang di wajah masing-masing. Ocha sempat bergidik merinding melihat serombongan makhluk ya
Makhluk kecil itu bernama Doff, memiliki tinggi tak lebih dari satu meter. Kulitnya berwarna putih, telinganya panjang seperti telinga kelinci, tubuhnya ditumbuhi rambut-rambut halus, bersih dan putih, seperti bulu hamster. Hidung kecil menonjol di wajahnya yang berbentuk bulat. Matanya bulat penuh dan terlihat lucu karena bulu mata yang lentik, bola matanya berwarna kemerahan.Pintu gerbang itu menutup dengan sendirinya, begitu mereka berjalan semakin menjauh mengikuti langkah kecil Doff yang lumayan cepat. Doff seperti boneka!Jika sekilas dilihat, tentu saja dapat disimpulkan bahwa Doff seekor hewan. Tetapi yang membuat ragu, Doff memakai pakaian berwarna abu-abu gelap dengan penutup bagian luarnya seperti bentuk rompi abu-abu cerah serta celana tanggung dengan warna yang sama seperti bajunya. Ditambah satu hal yang mencengangkan, Doff dapat berbicara, walaupun suaranya terdengar lucu. Jadi kesimpulan sementara adalah seperti ini, bahwa Doff bukanlah hewan biasa, te
Esok paginya, Fafa, Ome, Naga dan Atha masih tertidur pulas, sedangkan Ocha sudah siuman sejak lima belas menit yang lalu. Ocha masih merasakan tubuhnya sedikit pegal, tetapi Ia tak berani membangunkan keempat temannya itu, karena mereka terlihat kelelahan.Tiba-tiba Ome terbangun dengan sendirinya begitu merasakan tangan Ocha yang berusaha lepas dari genggaman tangan Ome.“Ocha?” sapa Ome dengan wajah berseri-seri.Ocha terlihat sedikit terkejut.“Kamu udah nggak papa kan? Kamu lapar? Kamu haus? Atau kamu mau sesuatu?” Ome tidak bisa menyembunyikan rasa senang.Ome senang tidak hanya lantaran Ocha siuman, tetapi juga dikarenakan ramuan yang dulu sempat dicancel olehnya untuk mengikuti lomba karya ilmiah menjadi terbukti saat ini.“Gue mau beef burger sama spageti!”Ome ternganga begitu mendengar jawaban dari Ocha yang terdengar sangat serius.Gue becandaaa hahaha..” Ocha tertawa lepas.❖ ❖
Ocha dibaringkan di sebuah gubuk reot, sampai saat ini Ia masih belum siuman. Fafa membuka sepatu dan kaos kaki Ocha, kemudian memijit-mijit kecil jempol kaki Ocha. Sementara Atha menumpuk dua tas miliknya dan Fafa untuk dijadikan alas untuk kepala Ocha. Naga melihat ke atas langit, cuaca pada saat itu berawan, lama-kelamaan awan itu makin banyak berkumpul sehingga membuat langit tampak gelap.Naga menghampiri Atha dan Fafa, “Sepertinya mau hujan.”“Dan dengan sangat terpaksa kita harus menunda perjalanan menuju gua Crystal” Fafa menunjuk ke arah barat daya, tempat dimana gua Crystal berada.Atha merespon dengan sedikit gemetar, “Itu artinya kita tidak mengikuti instruksi Bu Silvianita?”“Nggak apa-apa. Mana mungkin kita meninggalkan Ocha sendirian, Ocha jauh lebih penting dari gua kristal itu, kan?” Fafa mencoba menenangkan.“Betul!” seru Naga, kemudian memegangi
Fafa mengamati peta tua lusuh berwarna coklat itu dengan seksama, Ia mengamati tiap detil gambar, tulisan, serta kode yang tertera di dalamnya. Bagian awal dari peta itu adalah tempat dimana mereka duduk saat itu. Hal itu diperkuat dengan deretan pohon yang membentuk bujur sangkar disekeliling mereka serta sebuah tugu yang bertuliskan tulisan kuno yang sama persis seperti yang tertera pada peta. Finish line dari peta lusuh itu tentu saja suatu tempat bertuliskan gua crystal.Ome, Ocha, Atha dan Naga secara bergantian juga ikut melihat peta lusuh nan tua tersebut. Untuk menyingkat waktu, Fafa sedikit memberi penjelasan pada mereka berempat tentang apa yang bisa Ia tangkap dari peta tua tersebut, tetapi Ocha nampak terlihat tidak antusias dibanding teman-temannya yang lain.“Bagaimana menurut kalian?” tanya Fafa kepada yang lain.Usai mendengarkan sedikit penjelasan tentang rute yang akan dilewati, mereka memutus
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments