Bab Utama : 2/3. Kevin Drakenis baru menyadar.i kalau ia memang bisa bberubah wujud menjadi naga dari keturunan Drakenis selain tentu saja ilmu perubahan wujud yang diajarkan Guru Dewa dan Iblis saat ia berada di Kuburan Kuno.
~ Kevin vs Venus ~Medan perang mendadak tenggelam dalam keheningan. Suara dentuman, teriakan prajurit, bahkan desir angin seolah tercekik, lenyap ditelan ketegangan yang menggantung di udara.Jeritan Venus masih bergema, meluncur bersama kobaran apinya yang menggila. Tubuhnya mulai tercabik, bukan oleh pedang biasa, melainkan cahaya petir yang merobek daging sekaligus jiwa. Api yang menyelimuti dirinya berusaha menutup retakan luka, menyatu lagi—namun setiap usaha hanya berakhir dengan letupan energi yang meledak dari dalam tubuhnya sendiri.“GHHHRAAAHHH—!” Venus meraung, matanya merah menyala menembus kobaran api, penuh kebencian yang membakar hingga ke sumsum tulang. Nafasnya terengah, tetapi auranya masih mengancam, bagai gunung berapi yang enggan mati.Sorot itu tertuju hanya pada satu orang.“KEVIN…!” suaranya mengguncang langit, menebar gelombang api ke segala arah. “Aku adalah abadi! Kau tidak bisa… membunuhku!”Kevin berdiri di hadapannya, tubuhnya berlumur debu, peluh, dan n
~ Ezio dan Aurora vs Vega ~Langit menderu kencang. Awan hitam berputar, pecah oleh kilatan petir yang seolah lahir dari neraka. Udara tersedot kuat, seakan paru-paru dunia dicekik. Dari pusat pusaran itu, Vega berdiri tegak, tubuh tingginya diselubungi aura lima elemen—api membakar liar, racun hijau menyebar dalam kabut mencekik, es runcing berjatuhan dari udara, angin berputar tajam bagai ribuan bilah pisau, dan petir menggelegar memekakkan telinga.Aurora berlutut, tubuhnya gemetar. Darah menetes dari pelipis, menodai pipinya yang pucat. Nafasnya terputus-putus, setiap tarikan terasa bagai bara menyalakan paru-parunya. Namun sorot matanya tetap menantang, tak goyah meski tubuhnya nyaris roboh.“Ezio…” suaranya serak, hampir tak terdengar di tengah deru badai. “Kalau pusaran itu meledak keluar… semua orang di sini akan mati.”Ezio berdiri beberapa langkah di depannya. Pedang di tangannya bergetar, bukan hanya karena luka di tubuh, tapi juga karena beban keputusan yang baru saja dipa
~ Ravena vs Vania ~Suara gemuruh ledakan masih bergema, namun Ravena tidak bergerak sedikit pun dari posisinya. Ia berdiri di atas pilar es hitam yang terus bertumbuh, menembus tanah yang retak-retak. Sayap gelapnya membentang lebar, memantulkan cahaya redup dari api neraka Vania. Matanya dingin, namun menyala dengan aura hitam kebiruan, penuh ancaman.Vania menggeram, wajahnya terdistorsi oleh panas amarah. Api di pedang kembarnya makin liar, menyulut udara hingga berdesis seperti besi dipanaskan. “Kau akan hancur, Ravena! Dunia ini tidak menyisakan tempat untuk monster sepertimu!” teriaknya, lalu ia menebas liar, memekikkan bara merah yang membentuk naga api raksasa.Ravena hanya mengangkat tangannya perlahan. Ujung jarinya bergetar, dan dari tanah yang retak, menjulang pilar-pilar es hitam yang tajam bagai tombak. Pilar itu menghantam naga api, suara letusan terdengar, KRAAAAK! — es hitam dan api neraka saling menghancurkan, menghasilkan gumpalan kabut yang menutup pandangan pasuka
~ Celestine vs Vera ~Petir biru mengelagar di langit Nagapolis, menari liar di antara menara batu seperti ular kawat. Api oranye dari cambuk Vera mengelilingi dirinya, melingkar dan menyambar, memecah udara dengan suara mendesis yang tajam—seperti ribuan rantai terbakar. Di bawahnya, tanah ikut berdenyut setiap kali cambuk itu menghantam; debu dan batu beterbangan, bau logam hangus menggantung pekat.Celestine Aschene berdiri tegap di tengah lingkaran chaos itu, pedang Petir Langit di tangan kanan menyala seperti tongkat badai. Kilatan kecil memercik dari bilahnya setiap kali ia menggerakkan pergelangan tangannya. Mata Celestine tenang — bukan ketenangan takut, tapi konsentrasi yang sudah diasah bertahun-tahun.TRAAANG!Benturan pertama mengguncang medan. Ujung cambuk Vera melesat seperti komet, meninggalkan jejak api yang melengkung, tapi celah sekecil rambut untuk menebas—celah yang Celestine buru-buru cari. Mereka bertukar serangan dengan tempo kencang: cambuk berputar, pedang memo
Di tengah-tengah pertempuran besar di dalam Paviliun drakenis yang luas, terdengar dentuman keras dari arah gerbang paviliun.BUUUM!Pintu gerbang Paviliun Drakenis bergetar keras, suara dentuman logam dan pekikan pasukan menyatu bagai gelombang perang yang siap menelan segalanya. Di tengah hiruk pikuk itu, terdengar suara tawa yang menusuk telinga, nyaring, penuh kesombongan.“Ha-ha-ha... serang Paviliun Drakenis! Hancurkan sampai tak tersisa!”Suara itu meluncur bagai cambuk di udara, membuat pasukan Infinity Power meraung lebih keras. Mereka menyerbu dengan barisan rapi, senjata spiritual berkilau, formasi siap menembus pertahanan. Dari langit, sosok seorang wanita melayang turun, gaun hitamnya berkibar di udara. Senyumnya dingin, penuh keyakinan bahwa kemenangan sudah di tangannya.Cindy Aleta.Pemimpin cabang Infinity Power Provinsi Xandaria itu berdiri anggun di halaman utama Paviliun Drakenis. Matanya menyapu pemandangan pertempuran, menatap kekacauan seolah hanya sebuah tontona
~ Vera vs Celestine ~Petir biru menyambar liar, bercampur dengan api oranye yang berputar seperti ular raksasa. Cambuk Vera berayun ganas, memecah udara dengan suara mendesis, meninggalkan jejak bara di udara. Celestine menghadangnya tanpa gentar, pedang Petir Langit di tangannya menyala terang, mengeluarkan percikan kilat yang membuat tanah retak hanya karena getarannya.TRAAAANG!Benturan pertama mengguncang seluruh arena. Ujung cambuk menyapu dengan kecepatan kilat, tapi pedang Celestine menyambutnya, menciptakan ledakan energi yang mengguncang dada setiap pasukan di sekitar mereka.“Cukup cepat,” ucap Vera dengan senyum beracun, bibirnya melengkung ke atas dengan kesombongan. Di tangan kirinya, pistol spiritual berwarna hitam pekat sudah terarah tepat ke dada Celestine. BANG! Suara tembakan memekakkan telinga.Peluru hitam melesat, menembus udara seperti meteor. Namun sesaat sebelum mencapai tubuhnya, Celestine berubah menjadi cahaya petir, menghilang secepat kilat. Dalam sekejap,