Bab Bonus Gems : 1/1 Selesai.
Kabut pagi yang menggantung di sisi barat Nagapolis pecah berantakan ketika bentrokan energi spiritual meledak di udara ... mengguncang kota yang biasanya sudah sibuk di pagi hari.BRAAANG!!Suara ledakan pertama menggetarkan kaca gedung-gedung di sekitar. Valkyrie sudah melesat ke depan, pedang Arash-no-Hime berkilat biru, memotong udara dengan kilatan petir. Dua musuh yang mencoba menghadang langsung terbelah, darah mereka memercik hangat di aspal dingin.Valkyrie tanpa ampun membantai setiap musuh yang mencoba mencelakai Kevin maupun sahabatnya. Tidak ada lagi belas kasihan. Semua ia pelajari dari Kevin Drakenis. Membiarkan musuh lolos dari kematian hanya akan menimbulkan masalah di kemudian hari. Lebih baik dihabisi sekarang agar semua masalah selesai.“Ravena!” teriaknya.Ravena mengangkat kedua tangannya, udara seketika membeku. Puluhan serpihan es tajam melayang seperti bintang-bintang maut, lalu menghujani musuh dari segala arah dengan kencangnya. Jeritan menggema ketika kulit
Gerbang kayu hitam Paviliun Vasper bergetar semakin keras, setiap dentuman seperti palu baja menghantam dada penghuni yang tersisa. Kabut beracun di luar bergulung masuk melalui celah-celah, menciptakan bayangan menari di dinding.Baron Vasper berdiri di depan pintu utama dengan tombak panjangnya, otot-otot lengannya menegang, mata penuh tekad meski tubuhnya dipenuhi luka. Di belakangnya, Clara membisikkan mantra dengan cepat, jarinya menari membentuk segel cahaya yang melingkar di lantai.“Clara, jangan hentikan mantramu. Pertahanan itu satu-satunya hal yang bisa menjaga ibumu tetap hidup,” kata Baron tanpa menoleh.Clara mengangguk, keringat menetes dari pelipisnya. “Aku mengerti, Ayah… tapi kau tidak bisa melawan mereka sendirian!”Suara ejekan terdengar lagi dari luar, berat dan menusuk telinga.“Hahaha… Paviliun Vasper dulu mengandalkan Paviliun Drakenis sehingga dihormati. Tapi lihatlah sekarang… hanya satu prajurit tua dan seorang gadis kecil yang tersisa. Menyedihkan.”BRAK!G
Udara pagi di sekitar Paviliun Vasper bukanlah kesejukan yang biasa dirasakan para penghuni. Kabut tipis menutupi halaman, namun bukan kabut alami—melainkan sisa dari kabut spiritual yang beracun, menyelinap ke dalam setiap celah bangunan, menempel di dinding, dan meresap ke udara yang dihirup.Di ruang utama, Clara Vasper berdiri kaku dengan wajah pucat. Rambutnya tergerai acak, pakaian putihnya ternodai darah tipis di lengan. Tangannya gemetar saat ia merapalkan mantra pelindung di sekitar tubuh ibunya, Amanda Vasper, yang masih terbaring lemah di dipan kayu.“Clara… jangan sia-siakan tenagamu. Mereka akan kembali. Kita tidak bisa selamanya bertahan dengan penghalang rapuh ini,” bisik Amanda dengan suara parau, matanya yang penuh keletihan menatap putrinya.Clara menggigit bibirnya, berusaha keras menahan air mata. “Tidak, Ibu. Aku tidak akan membiarkan mereka menyentuhmu. Tidak sekarang, tidak selamanya.”Di sisi lain ruangan, Baron Vasper, ayah Clara, berdiri dengan tubuh tegap me
Mesin mobil hitam yang dikendarai Lyron meraung pelan, memecah kesunyian jalan-jalan Nagapolis yang biasanya riuh. Pagi itu muram—kabut tipis menutup pandangan, membuat gedung-gedung pencakar langit di kejauhan seakan hanyalah siluet kabur. Lampu jalan masih menyala pucat, seolah ikut menambah aura tak wajar di kota yang biasanya penuh hiruk-pikuk.Di kursi belakang, Kevin duduk dengan sikap santai yang palsu. Rokok menyala di antara jarinya, asap tipis berputar dan memudar di udara. Tatapannya kosong menembus jendela, tapi di balik mata itu, api yang liar dan keras kepala terus menyala.Di sampingnya, Ravena gelisah. Jari-jarinya tak berhenti meremas ujung rok hitamnya, lututnya bergerak naik-turun tanpa sadar. Nafasnya sedikit terburu, dan matanya terus melirik keluar kaca dengan cemas.Di kursi depan, Valkyrie duduk dengan postur tegak. Tangannya dekat sekali dengan gagang pedang yang terikat di pinggangnya, seolah hanya menunggu satu detik untuk mencabutnya. Sorot matanya tajam, l
Kevin masih duduk di kursi utamanya, tatapannya kosong menembus jauh, seolah pikirannya tidak berada di ruangan ini.Tiba-tiba, ia berbicara. Suaranya tenang, tapi justru ketenangan itulah yang membuat semua yang hadir tercekat. “Aku mau ziarah ke makam ayah dan ibuku…,” ucapnya lirih namun mantap. “Apa ada kabar dari Clara?”Ucapan itu membuat suasana seketika berubah kaku. Claudia, Helena, bahkan Ravena dan valkyrie di ruangan itu saling berpandangan, tak berani langsung menjawab. Nama yang baru saja disebut Kevin—Clara Vasper—bagaikan pisau yang menusuk ke dalam atmosfer tegang ini.Claudia menarik napas perlahan sebelum memberanikan diri menjawab. “Kami bisa menemani Chief ke sana… kenapa harus bersama Clara?” tanyanya hati-hati, suara rendahnya bergetar menahan kecanggungan.Tatapan Kevin bergerak, dingin dan menusuk. “Kau mau tahu kenapa?”Nada suaranya menukik tajam, membuat ruangan itu serasa membeku. Claudia tersentak. Wajahnya pucat, keringat dingin menetes di pelipisnya. Ia
Pagi itu, Paviliun Drakenis masih berbalut sisa-sisa kehancuran. Koridor batu hitam yang biasanya tegak berwibawa kini retak di beberapa bagian, meninggalkan bekas goresan pedang dan ledakan. Lentera-lentera spiritual yang bergelantungan di sepanjang dinding bergetar pelan, memancarkan cahaya biru redup yang dingin dan menyeramkan—kontras dengan terangnya matahari yang sudah meninggi di luar. Cahaya itu memberi kesan seolah paviliun ini bukan sekadar tempat tinggal, melainkan sebuah benteng angkuh yang tak sudi dijamah waktu.Derap langkah para penjaga elit terdengar teratur. Mereka berjubah hitam, wajah terbungkus kain, dan senjata panjang berkilat di tangan. Sorot mata mereka tajam, liar, seperti serigala yang siap menerkam siapa pun yang berani melanggar. Bahkan para pelayan yang sedang membersihkan puing-puing tak berani mengangkat kepala terlalu tinggi.Di sudut aula, dua pelayan perempuan menyapu pecahan batu dan kayu yang hancur. Suara sapu bertemu lantai bergaung samar, sesekal