Bab pertama siang ini ... Maaf Author agak telat rilis Bab. Bab Utama : 1/2 Bab Bonus : 0/2 Bab Extra Author : Kemungkinan Ada Malam Ini ...
Di dalam aula mewah yang dikelilingi lampu kristal berkilauan dan aroma wine mahal yang menguar lembut di udara, Gubernur Adam Smith duduk dengan santai di singgasananya yang megah. Matanya yang tajam menyapu seluruh ruangan, namun sedikit pun tak menunjukkan keterkejutannya saat Kevin Drakenis masuk ke dalam aula pesta dan menghinanya.Asistennya, seorang wanita berjas putih dengan tablet di tangan, telah menunjukkan video viral yang menampilkan pria itu—Kevin Drakenis, sosok misterius yang mengendarai peti mati spiritual di tengah Kota Godam. Adam mengangguk pelan kala itu, sambil menyesap anggur merahnya.Kini, ia memandangi Kevin dari singgasananya, menilai dengan penuh minat, lalu berdiri. Dengan suara berat yang bergema ke seluruh ruangan, ia berkata sambil membuka kedua tangannya lebar, "Kau datang juga akhirnya. Keberanianmu patut dipuji! Aku memang selalu menyukai anak muda yang tangguh dan punya nyali besar!"Ia melangkah turun, mendekati Kevin. Para tamu menahan napas."Apa
Udara di dalam aula megah itu mendadak berubah—seakan suhu turun beberapa derajat dalam sekejap. Aroma rempah dari alat aroma terapi yang sebelumnya mendominasi ruangan kini tercampur dengan jejak tipis asap rokok yang menggantung di langit-langit, membentuk sulur-sulur samar yang belum sempat lenyap. Di tengah keremangan cahaya kristal gantung, Kevin berdiri tenang, sebatang rokok terselip di jarinya, abu di ujungnya bergetar ringan—seperti merespon ketegangan yang menggumpal di udara.Lalu... BRAAAK! Sebuah tekanan spiritual menghantam ruangan seperti gelombang tak terlihat, membuat udara seolah-olah membeku. Para tamu tersentak. Sebagian kehilangan keseimbangan, dan yang lain meremas dada, berusaha bernapas. Seolah-olah langit menggantung tepat di atas kepala mereka—berat, gelap, dan penuh ancaman.Tiba-tiba, dari balik pilar-pilar marmer putih, kilatan cahaya menusuk udara. Secepat kilat, tujuh sosok muncul dalam lompatan nyaris tak terlihat mata biasa. Jubah panjang mereka berkiba
Tiba-tiba, suara derap langkah bergema keras, teratur seperti genderang perang yang dipukul serempak. Dari kedua sisi aula, pasukan pengawal Gubernur Adam Smith memasuki ruangan dengan formasi militer yang disiplin. Lantainya bergetar pelan setiap kali kaki mereka menghantam marmer, seakan kekuatan kolektif mereka mampu mengguncang fondasi gedung tua itu.Ratusan pria dan wanita berseragam hitam berlapis emas muncul dari balik pintu besar. Seragam mereka berkilat di bawah cahaya kristal gantung, dengan hiasan logam berbentuk naga membungkus helm mereka seperti penjaga legenda kuno. Di dada masing-masing, terpatri lambang mata merah menyala—simbol ketaatan mutlak dan ambisi yang membara. Sorot mata mereka tajam, tidak hanya menyoroti kesiapan bertempur, tapi juga hasrat untuk diakui. Mereka bukan hanya datang untuk bertarung... mereka datang untuk terlihat bertarung.Seorang kapten, dengan jubah sedikit lebih panjang dan emblem perak di bahunya, melangkah ke depan dan mengacungkan pedan
“BUNUH DIA!!” Teriakan sang kapten pengawal meledak seperti cambuk petir di langit malam. Suaranya serak dan dipenuhi kemarahan, menggema hingga sudut-sudut aula megah yang kini penuh ketegangan.Tanpa perlu aba-aba kedua, derap kaki ratusan prajurit menggema serempak, seperti gelombang badai hitam yang bangkit dari kedalaman neraka. Pedang-pedang terhunus, mata mereka menyala oleh api perintah.Namun di tengah pusaran itu, Kevin berdiri... Diam. Tak bergeming, seperti patung dewa kuno yang menatap hina pada makhluk fana yang mencoba memberontak pada takdir. Matanya menyipit sedikit, penuh keheningan mematikan. Bukan tatapan manusia—melainkan penilaian dingin dari makhluk yang jauh lebih tinggi.Lalu... suara itu terdengar. Pelan. Lembut. Nyaris seperti bisikan yang menggelitik telinga, namun mampu menggetarkan jiwa siapapun yang mendengarnya.“Phantom Gods Blast.”Sepersekian detik kemudian, dunia terasa terhenti. Waktu seolah ditahan napasnya.Angin berhenti bergerak. Jantung
“Dasar Iblis!” Seruan itu meluncur keras dari bibir salah satu dari Tujuh Cultivator Pedang Sekte Pedang Langit. Suara itu penuh amarah, namun juga diliputi ketakutan.Udara di sekeliling mereka mendadak berubah. Panas. Tajam. Mencekam. Niat pedang mereka menyembur keluar, tak kasatmata namun terasa seperti ribuan jarum mencabik kulit. Setiap langkah maju mereka menggores langit, membentuk retakan-retakan halus berwarna biru di udara—seakan dimensi itu sendiri enggan menyentuh kekuatan mereka.Salah satu pemimpin mereka mengangkat pedang tinggi-tinggi, suaranya bergema seperti dentang baja: "Formasi Pedang Tujuh Langit!"Tujuh sosok melesat ke langit—secepat kilat, sepadu nyawa. Tubuh mereka membentuk formasi bintang berujung tujuh, dan di tengahnya, badai spiritual mengamuk. Udara menjadi berat. Tanah bergetar. Energi murni meledak ke segala penjuru.Tapi Kevin... hanya berdiri.Angin menggoyang rambutnya yang tergerai. Tatapannya tenang, terlalu tenang untuk seseorang yang hendak d
Namun sebelum Kevin sempat melangkah maju, udara di medan pertempuran tiba-tiba menegang. Dari kerumunan yang berjarak, sebuah suara mengguntur, berat dan dipenuhi kekuatan yang menusuk hingga ke sumsum."Kevin Drakenis!"Grand Rune Master Weng melangkah maju, jubah panjangnya berkibar keras dihempas badai spiritual yang ia ciptakan. Tatapan matanya tajam seperti tombak kuno, membelah jarak di antara mereka. Suaranya mengandung gema keabadian, seolah dunia itu sendiri berhenti sejenak untuk mendengarkan.Di tangannya, ia mencengkeram sebuah jimat kuno—selembar kain tipis berwarna merah darah, penuh dengan rune-rune kuno yang berdenyut seperti nadi makhluk hidup. Cahaya merah menyala dari jimat itu, membentuk pusaran rune raksasa di udara."Atas nama Dao... kuhancurkan kau!" teriak Weng, suara amarah bercampur dengan hukum alam itu sendiri.BOOOM! Jimat itu meledak, menghamburkan ratusan sinyal kuno ke segala penjuru. Rune-rune tersebut melesat, berpadu, dan berputar membentuk segel k
KRRAAAK!!Suara mengerikan terdengar saat formasi raksasa itu mulai retak. Garis-garis merah membelah rune-rune suci, seperti es yang pecah di musim semi. Dalam sekejap, formasi itu runtuh, meledak menjadi serpihan cahaya darah yang berhamburan dan lenyap ditelan kekosongan.Grand Rune Master Weng terhuyung mundur, tubuhnya seakan kehilangan kekuatan. Wajahnya yang biasanya tenang kini pucat seperti kertas, matanya membelalak ngeri menatap kehancuran yang baru saja terjadi.Namun Kevin tidak memberinya waktu untuk bernapas.Dengan gerakan halus, tubuh Kevin melesat ke depan—hanya sebuah bayangan hitam yang membelah jarak di antara mereka. Dalam sekejap, ia sudah berdiri tepat di hadapan Grand Rune Master Weng.Mata mereka bertemu. Milik Weng penuh ketakutan. Milik Kevin, kosong. Tak berperasaan.Kevin menatap dingin ke arah lawannya, lalu berbisik dengan suara datar, nyaris seperti gumaman, namun setiap katanya menusuk seperti bilah pedang."Aku tidak suka bertarung menggunakan jim
Gubernur Adam Smith masih berdiri kaku, seolah membatu di tempatnya. Tatapannya tajam, penuh kalkulasi, seperti seorang pemburu yang menimbang apakah binatang buas di depannya bisa ia taklukkan atau justru akan mencabik-cabiknya. Helaan napasnya berat, nyaris tak terdengar, tapi cukup bagi mereka yang peka untuk merasakan ketegangan yang kian menebal di udara.Di atas sebuah peti mati hitam spiritual yang mengilap pekat seperti malam tanpa bintang, Kevin Drakenis berdiri tegap. Bayangan tubuhnya memanjang di lantai marmer, membelah kerumunan yang kini bergidik ngeri. Dengan mata yang seolah memancarkan es, Kevin melayangkan pandangannya ke seluruh ruangan. Suaranya, saat akhirnya berbicara, tajam dan menusuk, serupa bilah pedang yang menggores kulit."Apa kalian masih ingin hidup?" tanyanya, tenang namun mengerikan.Suara itu merayap di antara para tamu undangan seperti kabut maut. Sebagian dari mereka, pria dan wanita dalam pakaian megah, tampak pucat pasi, tangan mereka gemetar saa
Suara itu, meski tipis, menembus kabut peperangan, menusuk langsung ke relung hati Kevin. Tubuhnya yang semula membeku perlahan bangkit. Tangannya mengusap darah yang mengalir dari sudut bibir, dan di matanya—di balik luka, amarah, dan lelah—muncul seberkas cahaya baru ... harapan.“Benar …” bisik Kevin pelan, nyaris seperti doa. “Jika kekuatan Dewa tidak cukup … maka aku akan membakar jiwaku untuknya.”Dengan gerakan pelan namun penuh tekad, ia mengangkat pedang ke atas kepala. Cahaya baru mulai berpendar—bukan hanya satu warna, tapi perpaduan merah menyala, emas menyilaukan, dan biru setenang samudra. Udara seakan menghirup napas panjang, sunyi sesaat sebelum ledakan keajaiban.“PHOENIX FLAME BLAST!!”Jeritan mantra itu memecahkan keheningan. Dari ujung pedang, api abadi meluncur deras, menggumpal membentuk sosok burung phoenix yang megah. Sayapnya terentang lebar, memercikkan bara ke langit-langit, matanya menyala seperti dua matahari kecil yang membawa kehidupan sekaligus kematian
Gerakan Kevin sangat cepat dengan lesatan yang menyerupai petir ilahi.Namun …Ting!Dengan gerakan sehalus angin berbisik, Roh Iblis Es mengangkat satu jari. Sebuah dinding es bening muncul, begitu keras hingga serangan Kevin berhenti seolah menebas gunung batu. Kilatan cahaya mental pecah ke segala arah, menyulut percikan petir yang menghantam lantai, dinding, bahkan langit-langit, menciptakan letupan-letupan kecil.Kevin mendarat, lututnya sedikit menekuk, napasnya memburu seperti binatang yang terperangkap. Uap putih mengepul dari bibirnya saat udara makin tipis, makin dingin. Telapak tangannya menggenggam erat gagang pedang, dan di matanya, hanya satu pantulan yang tersisa ... Ravena, atau mungkin, harapan kecil yang masih tersisa di dalam tubuh yang kini dikuasai darah iblis es.“Cepat, tapi … masih ragu …” desisan itu merayap di udara seperti kabut tipis yang mencabik-cabik ketenangan, menusuk gendang telinga dan bergetar hingga ke tulang belakang. Mata merah menyala Roh Iblis
Asap pertarungan masih menggantung tipis di udara, aroma logam darah bercampur dengan bau batu hangus. Namun, di tengah keheningan yang menggantung, terdengar suara halus—retakan, seperti kaca tipis yang mulai pecah. Mata Claudia membelalak, Kevin menegakkan tubuhnya, tatapannya tajam tertuju pada altar batu yang perlahan berubah warna.Retakan itu bukan retakan biasa. Bukan akibat pukulan atau ledakan. Dingin ekstrem merembes keluar dari tubuh Ravena yang terbaring di atas altar. Aura biru pucat mengalir lembut dari pori-porinya, melilit di udara seperti kabut hidup, memadat menjadi kepingan-kepingan es yang melayang, berputar pelan seperti bintang mati yang kehilangan cahayanya.Dan kemudian ...KRAAAK!Satu dentuman tajam menggema, membuat seluruh ruangan bergetar. Tubuh Ravena terangkat perlahan, melayang di atas altar yang kini dilapisi es biru bening, begitu murni hingga memantulkan cahaya seperti kaca suci. Es itu menjalar cepat, membungkus kulitnya, menyelimuti darahnya, bahka
Kevin menggertakkan giginya. “Aku di sini!” bentaknya lantang, tak gentar. Sorot matanya membalas tatapan iblis itu dengan api semangat yang membara. “Kalau kau memang iblis yang menyiksanya selama ini … maka mari kita akhiri semua ini, di sini dan sekarang!”Tanpa ragu, ia mengangkat batu Vermillion Vein yang kini menyala bagai bara hidup di telapak tangannya. Aura api spiritual di sekelilingnya memekik, memutar arus energi panas yang menusuk kulit. Dengan teknik pamungkasnya—Heavenly Flame Binding Seal—Kevin menghantamkan batu itu langsung ke dada Ravena.Seketika, ledakan cahaya merah keemasan menerangi seluruh ruangan seperti fajar surgawi yang membakar malam tergelap. Api spiritual dari batu Vermillion mengalir deras ke dalam tubuh Ravena, membakar roh iblis dari dalam. Suara jeritan itu berubah—dari teriakan kemarahan menjadi raungan kesakitan, lalu menjadi pekikan sekarat. Sosok iblis itu menggeliat dan menjerit, tubuhnya bergulung dalam pusaran api spiritual yang membakar tak h
Langkah Claudia terdengar cepat namun tenang. Dari balik mantel hitamnya yang dilapisi jimat pelindung, ia mengeluarkan sebuah peti besi perak dengan ukiran rumit dan segel mantra berlapis-lapis yang berpendar merah menyala. Begitu peti itu dibuka, hawa panas menyeruak ke seisi ruangan.Di dalamnya, batu Vermillion Vein berwarna merah darah berdenyut pelan seperti jantung hidup—menyala dan bernafas. Aura panasnya luar biasa, hingga uap tipis langsung naik dari lantai batu di sekitarnya, seolah batu itu hendak membakar dunia sekitarnya hanya dengan kehadirannya.Claudia memandang Kevin dan mengangguk pelan. “Energinya murni. Tapi tidak stabil. Kita hanya punya satu kesempatan, Chief!” katanya dengan suara tegang.Kevin mengulurkan tangan. Saat jemarinya menyentuh permukaan batu itu, rasa panasnya menembus ke dalam tulangnya. Tapi ia tidak mundur. Dengan satu tarikan napas panjang, ia berkata, “Kita mulai sekarang.”Ia duduk bersila di atas lingkaran segel kuno yang digoreskan dengan dar
Langit di atas Kota Nagapolis secara perlahan berubah warna. Kabut kelabu yang menyelimuti kota sepanjang malam mulai tersibak oleh sinar pertama fajar. Matahari pagi mengintip malu-malu dari balik cakrawala, memancarkan cahaya keemasan yang membasahi atap-atap paviliun, menciptakan bayangan panjang yang menyapu jalanan yang masih sepi.Namun, ketenangan itu tidak berlaku di dalam Paviliun Dracarys.Langkah-langkah tergesa menggema di lorong batu menuju ruang bawah tanah yang tersembunyi jauh di jantung kompleks. Udara di sana terasa berat, penuh aura spiritual yang bergolak tak terkendali. Asap tipis yang mengandung aroma besi dan belerang mengambang di udara, menyusup ke dalam paru-paru dan memberi rasa perih di hidung. Tanah pun bergetar halus, seolah menahan energi yang nyaris meledak dari dalam.Di dalam ruang pemurnian kuno yang dipenuhi ukiran naga berwajah muram dan simbol-simbol langit beku, Ravena terbaring di atas altar batu obsidian. Permukaannya dingin, namun dikelilingi a
Pria tua itu tertawa pelan, ujung jarinya mengetuk botol kaca itu. “Sangat … sebanding,” bisiknya, mata logamnya berkilat.Mata pria tua itu berkilat tajam, seperti sepasang batu permata logam yang memantulkan cahaya neraka. Bibirnya melengkung ke dalam seringai licik, rasa puas terpancar dari setiap kerutan wajahnya. Dengan gerakan halus, ia mengangkat tangan, memberi isyarat kecil pada asistennya — seorang pemuda kurus bermata cekung, aura spiritualnya lemah tapi tangannya cekatan.Pemuda itu mendekati sebuah peti kayu hitam, terikat benang-benang spiritual merah yang berdenyut samar, seolah hidup. Dengan mantra pelan, segel-segel itu terbuka satu per satu, memancarkan kilatan kecil cahaya merah. Saat tutup peti terbuka, udara di dalam tenda mendadak menghangat, bahkan membakar ujung-ujung rambut.Di dalam peti, terbaring sebuah batu merah menyala — Vermillion Vein, tampak seperti bara hidup yang bernafas. Setiap detik, pancaran panasnya menggetarkan udara, menciptakan riak-riak tip
Di puncak tertinggi Paviliun Dracarys, Kevin berdiri tegak, siluetnya terpotong cahaya remang lampu-lampu kota yang berkedip di kejauhan. Matanya, tajam dan penuh tekad, menatap cakrawala seolah mencoba menembus jarak yang memisahkannya dari takdir yang sebentar lagi datang menghantam. Angin memainkan ujung jubahnya, membuatnya berkibar pelan, seperti sayap naga yang sedang merentang di bawah cahaya samar bulan.Di bawah, di dalam ruangan pusat komando, Claudia nyaris tak berhenti bergerak. Rambutnya yang hitam berantakan menempel di pelipis, sementara jemarinya sibuk menari di atas layar komunikasi holografik. Suara Claudia terdengar cepat, teratur, tapi ada tepi kegelisahan yang merayap di ujung nadanya. “Chief, satu petunjuk mengarah ke Pasar Gelap Agarthium, Centralpolis,” ucapnya dengan suara yang agak serak, kelelahan mulai menggerogoti tenaganya. “Ada rumor… seorang kolektor eksentrik menyimpan batu Vermillion Vein, jenis merah pekat, yang telah melewati ritus pemurnian api na
Cahaya lampu di dalam kamar Paviliun Dracarys masih bergetar lembut, memantul di atas lantai marmer yang sempat diselimuti kabut dingin dari kekuatan Darah Iblis Es milik Ravena. Setelah kekacauan itu mereda, Kevin menoleh ke arah Clara yang tengah berjongkok di sudut ruangan, tubuhnya gemetar meskipun hawa dingin sudah mulai menghilang.Kevin menghampirinya, perlahan berlutut hingga sejajar dengan mata gadis itu. Tatapannya lembut, jauh berbeda dari sosok dingin yang beberapa saat lalu mengeksekusi Gubernur Adam Smith tanpa ragu.“Kamu tidak apa-apa, Clara?” tanyanya pelan, suara itu terdengar seperti pelukan hangat di tengah sisa-sisa badai.Clara mengangguk kecil, tapi suaranya serak saat menjawab.“Aku ... aku baik-baik saja, Kev. Tapi ... Vena?” Matanya beralih, mencari sosok yang ia sayangi. “Bagaimana dengan Ravena? Dia … tidak terluka, kan?”Kevin mengangguk meyakinkan. “Dia sudah kembali... masih pingsan, tapi aku berhasil menstabilkan auranya. Dia akan baik-baik saja.”Sebelu