Bab Utama : 2/2 Selesai. Bab Bonus Gems : Satu Bab besok ...
Sosok muda Sekte Alkimia Darah ini merupakan satu-satunya pewaris yang tersisa dari Patriark Darah—pemimpin sekte terkutuk itu yang pernah mencoba menggulingkan hukum langit, sebelum akhirnya tubuhnya hangus dibakar oleh api surgawi dalam ritual penyucian yang dikenal dalam sejarah sebagai "Malam Penyembelihan Merah."Murid itu kini berdiri diam di hadapan kuali raksasa berisi cairan merah yang mendidih dan terus menguarkan bau amis menyengat. Kulit tangannya penuh guratan aneh—garis-garis alkimia bercahaya samar yang tertanam langsung ke dalam daging, bukan tinta atau besi, tapi darah dan mantra.Tubuhnya kurus, pucat, nyaris seperti mayat hidup, tapi dari balik kerentanan fisik itu, tersembunyi kekuatan yang memelintir dan mengerut seperti makhluk buas yang lapar akan balas dendam.Dan pada malam itulah… langit di atas sekte mereka retak.Bukan retakan biasa, tapi robekan hitam menganga seperti luka di wajah semesta. Awan menggulung, berputar seperti pusaran hitam raksasa. Petir men
Di tempat lain, jauh di utara, berdiri sebuah gunung hitam menjulang. Permukaannya retak, mengeluarkan asap merah dari celah-celah cadas. Di puncaknya, ritual kuno tengah berlangsung—lingkaran simbol darah dan api melingkupi tubuh-tubuh yang melayang setengah sadar.Sekte Pemakan Roh. Para pengikut sekte bertudung dan bertopeng tengkorak duduk melingkar, mulut mereka terus melafalkan mantra pemecah jiwa. Namun tiba-tiba, suara mereka berhenti—seolah alam sendiri menyuruh mereka diam.Seorang tetua yang duduk di tengah lingkaran perlahan membuka kelopak matanya—yang ternyata dijahit dengan benang merah. Luka-luka itu tidak pernah sembuh. Tapi di balik jahitan yang mulai terlepas, mata pucatnya bersinar seperti bara dalam kegelapan.Dan ia tertawa. Pelan. Retak. Darah merembes dari sela jahitan, menetes ke lantai batu.“Kami akan menyantap jiwamu… Pewaris Dewa…” ucapnya dengan suara penuh haus dan dendam.Tawanya makin keras. Angin di sekitar mereka menggila, dan di kejauhan, roh-roh
Tak perlu waktu lama setelah pertemuan kelam di bawah tanah itu. Setelah kata "bunuh" terlontar dari mulut sang pemimpin yang suaranya seperti retakan petir dalam ruang batu, takdir mulai bergerak seperti gigi roda neraka yang berputar pelan namun pasti. Dalam hitungan jam, dua Kontrak Darah dilepaskan dari altar terlarang—dan dunia pun mulai bergeser.Namun ini bukan sekadar perintah pembunuhan biasa. Ini adalah kutukan spiritual yang dikirim lewat saluran yang tak terlihat—dibawa angin yang tidak bisa diukur, menyusup lewat celah bebatuan kuno, dan berbisik ke telinga roh-roh yang bahkan telah lama mati. Ia meresap ke dalam dunia, bagai kabut yang membawa racun tak berbentuk.Darah sebagai sumpah.Nama sebagai umpan.Hadiah sebagai racun.Dua gulungan merah tua diletakkan di atas altar obsidian yang penuh dengan simbol-simbol gelap berkilau merah seperti bara. Gulungan itu tampak hidup—urat-urat hitam menjalar di permukaannya, berdenyut seperti nadi yang bernyawa. Ketika gulungan it
Langit memang telah tenang. Tapi kedamaian tidak pernah benar-benar lahir di Tanah Terlarang Dewa dan Iblis.Meski Demyxian telah musnah, kehancurannya hanya membuka satu lapisan permukaan dari dunia gelap yang jauh lebih dalam. Kabut merah—tipis namun menjijikkan—tetap menggantung di udara. Ia bergerak perlahan seperti asap dupa dari altar pengorbanan kuno, menyebarkan aroma besi dan darah hangus ke seluruh penjuru angin beserta satu nama ...Kevin Drakenis.***Jauh di bawah permukaan tanah, di kedalaman yang bahkan cahaya pun enggan mencapai, berdiri markas besar Sekte Petir Langit. Sebuah ruang batu yang melingkar, dikelilingi tiang petir yang tak henti-henti memuntahkan kilat dari ujung ke ujung. Langit-langit ruangan itu tidak pernah diam; selalu gemuruh, seolah badai surgawi terjebak selamanya di sana.Pertemuan rahasia telah dimulai.Di tengah ruangan yang dikelilingi para tetua, berdiri seseorang yang tak membutuhkan pengantar. Jubahnya panjang, sehitam malam tanpa bulan, ber
Di tengah ruangan Menara Racun berdiri Cindy Aleta—tak lagi berselubung bayangan, tak ada ilusi atau samaran. Wajahnya telanjang dari kepura-puraan. Mata hijaunya bersinar seperti zamrud gelap, penuh perhitungan dan luka lama. Di antara jemarinya yang lentik, ia memutar sebuah botol kristal kecil, di dalamnya cairan berwarna ungu berdenyut seperti jantung makhluk kuno.“Ah, akhirnya kalian berhasil lolos juga dari bayangan spiritualku,” bisiknya dengan senyum bengis. “Jadi... kalian datang untuk membunuhku, atau untuk menyelamatkan kekasihmu, Helena?”Nada suaranya seperti belati—dingin, tajam, menyusup ke dalam celah-celah keyakinan.Helena berdiri tak bergeming. Aura tenangnya berbanding terbalik dengan kobaran api yang menari samar di matanya. Ia menatap Cindy dengan tajam, menyimpan ribuan kata yang tak perlu diucapkan.“Kau tahu aku butuh pil itu,” katanya akhirnya, nada suaranya nyaris tak bergetar.Cindy mendekat satu langkah, botol di tangannya berkilau dalam cahaya remang. “T
Kegelapan menelan segalanya di Ruang Bawah Tanah.Tak ada cahaya, tak ada waktu. Hanya deru angin berputar seperti bisikan kutukan, dan di tengahnya, tawa lirih—renyah, namun menyesakkan.Ravena terhempas ke lantai batu yang dingin dan retak. Di sekelilingnya, cermin-cermin kuno pecah berserakan, mencerminkan kilatan cahaya dari kabut beracun yang menyelimuti ruangan. Asap tipis berwarna hijau keunguan merayap, membekukan tanah yang disentuhnya. Nafasnya memburu, uap putih keluar dari bibirnya yang membiru karena suhu yang turun drastis.Tubuhnya gemetar, tapi bukan karena takut—melainkan karena sesuatu di dalam dirinya bangkit, sesuatu yang selama ini ia kubur dalam-dalam. Aura gelap mulai merembes dari kulitnya, membentuk garis-garis hitam berdenyut di lengan dan lehernya. Matanya, yang biasanya bening seperti embun pagi, kini bersinar dengan warna biru pekat yang mengancam.“Bangun, Ravena…” Suara itu datang lagi—halus, seperti desahan angin musim dingin yang merayap ke dalam tulang