Saat sepuluh kultivator dari Ekspedisi Phoenix Merah dilanda keterkejutan, mendapati kenyataan bahwa sosok siluman kelelawar itu ternyata manusia, bulu kuduk mereka serentak berdiri.
Udara malam yang tadinya tenang seketika berubah menjadi tegang, dipenuhi oleh aura misteri yang menggeliat dari sosok yang terperangkap dalam jaring.
“Apa yang terjadi?” suara salah satu kultivator pecah, memecah kesunyian.
“Ada sesuatu yang dilakukan manusia iblis itu?” tanya yang lain, matanya waspada menatap ke arah sosok yang bergerak-gerak di dalam jaring.
“Dia menakut-nakuti kita. Ayo kita habisi dia!” teriak seorang kultivator dengan suara penuh amarah.
Namun, sebelum mereka sempat bertindak, dari balik jaring yang menutupi sosok mirip siluman kelelawar itu, terdengar suara tiupan seruling.
Bunyinya melengking, menusuk telinga, dan membuat bulu kuduk mereka semakin berdiri. Suara itu seperti berasal dari dunia lain, memecah keheningan malam dengan nada yang tak terduga.
Suiiit…
Bunyi seruling itu membelah malam dingin di Gurun Hadarac, nadanya kadang melengking tinggi, kadang merendah seperti bisikan angin. Setiap nada seolah membawa getaran aneh yang merayap di tulang belakang, membuat jantung berdegup kencang.
“Apa yang kau lakukan, siluman jadi-jadian? Kau memainkan musik dengan irama kacau dan nada yang buruk. Terimalah kematianmu!” Han Shan, si muka codet, wajahnya berubah merah padam.
Amarahnya meluap melihat aksi sosok manusia iblis di dalam jaring.
Sejak awal, dia dibuat takut oleh sosok itu, mengira itu binatang iblis atau siluman.
Ternyata, itu hanya manusia.
Dan sekarang, manusia itu malah memainkan seruling dengan nada sember, tak beraturan. Bagi Han Shan, ini adalah penghinaan yang tak bisa dimaafkan.
Swing!
Golok di tangan Han Shan bergerak cepat, membelah udara dengan kecepatan yang mematikan.
Kilau rembulan yang buram memantul pada bilah golok saat mendekati jaring, siap membelah tubuh sosok yang seperti kelelawar itu. Namun, sebelum golok itu menyentuh sasarannya, kejadian tak terduga terjadi.
Swing!
Tiba-tiba, dari kegelapan malam, ada satu tangan muncul dengan gerakan cepat, menangkis serangan golok itu hanya dengan telapak tangan. Suara benturan logam dan daging yang keras bergema keras.
Trang!
Han Shan terkesiap, matanya membelalak ketika melihat bahwa sosok yang menangkis serangannya adalah mayat hidup. Kulitnya pucat, matanya kosong, dan aura kematian yang mengelilinginya membuat
Efek bentrokan itu buat Han Shan adalah tubuhnya gemetar hebat. Tangannya bergetar tak terkendali, dan darah segera memancar dari mulutnya. “Aku terluka,” ucapnya tak percaya.
Namun, mayat hidup itu tak memberi waktu.
Dengan gerakan cepat, tahu-tahu ia mencengkeram leher Han Shan, menggenggamnya erat hingga kultivator itu tak bisa bernapas.
“To… tolong aku…” desis Han Shan dengan napas tersengal-sengal. Matanya melirik ke arah Mo Zhengsheng, pemimpin ekspedisi, memohon bantuan.
Mo Zhengsheng sendiri terkejut bukan main.
Matanya membelalak melihat mayat hidup itu muncul tiba-tiba dan menghajar Han Shan dengan mudah.
Meski rasa takut menggelayuti hatinya, dia tahu dia tak bisa tinggal diam. Dengan cepat, dia bersiul keras, memberi perintah kepada delapan kultivator lainnya untuk menyerang.
“Bersatu padu! Kita basmi mayat hidup itu! Dia sendirian, tak mungkin menang melawan kita!” teriak Mo Zhengsheng, mencoba memompa semangat rekan-rekannya.
Delapan kultivator itu segera bergerak, mengelilingi mayat hidup dengan senjata terhunus. Namun, di balik mata kosong mayat itu, nyata ada senyum tipis yang mengisyaratkan bahwa sesuatu yang lebih mengerikan akan terjadi.
SUIIIT
Suara seruling melengking tinggi, menusuk langit malam yang gelap. Angin gurun Hadarac berhembus kencang, membawa debu dan hawa dingin yang menusuk tulang.
Suasana makin mencekam saat derap kaki berlari kencang terdengar dari kejauhan, menggemakan ketegangan yang tak terelakkan.
“Sepuluh kultivator?” bisik Pemimpin Mo, suaranya hampir tertelan angin. Matanya menyipit, menatap kegelapan dengan waspada. “Tidak, ini lebih dari sepuluh ahli sedang mendekat. Ini berbahaya!” bisiknya lagi, rasa takut mulai merayap di hatinya.
Dan benar saja, dari berbagai penjuru mata angin, muncul bayangan-bayangan gelap. Tidak kurang dari lima belas mayat hidup bergerak cepat, melesat bagai anak panah yang dilepaskan dari busur.
Kecepatan mereka melebihi meteor yang melintas di langit malam. Gerakan mereka kaku namun terarah, seolah dikendalikan oleh nada seruling yang terus melengking.
“Dia adalah kuncinya!” desis Pemimpin Mo, seperti tersadar akan sesuatu yang penting. Tatapannya terkunci pada sosok di dalam jaring.
Mata Pemimpin Mo berbinar, namun seketika itu pula rasa panik menyergap. “Bunuh dia lebih dahulu!” teriaknya pada kultivator yang masih bertahan.
Namun, segalanya sudah terlambat. Seketika ia terbelalak saat melihat pasukan mayat hidup itu sudah berada dalam jarak yang sangat dekat. “Terlambat!” gumamnya, rasa putus asa mulai menggerogoti.
Belasan mayat hidup itu menghantam dengan kekuatan yang tak terbendung. Delapan kultivator tersisa dari Ekspedisi Phoenix Merah tak mampu bertahan.
Hanya dalam lima tarikan napas, semuanya tumbang. Tubuh-tubuh mereka tergeletak tak bernyawa, darah menggenang di pasir gurun yang dingin.
Sosok siluman kelelawar itu perlahan keluar dari jaring perangkap yang sempat menahannya.
Tangannya masih memegang seruling, nadanya terus mengalun, mengendalikan mayat-mayat hidup itu. “Pergilah...” ucapnya dengan suara parau, sambil melepaskan mantra dan belasan jimat dari balik jubahnya.
Jimat-jimat itu melayang dan menempel di dahi mayat hidup, seketika mereka berbalik arah, melesat pergi secepat angin yang berhembus kencang. Debu-debu gurun mengepul ke arah cakrawala, menandakan kepergian mereka.
Sosok siluman kelelawar itu menatap ke arah Pemimpin Mo yang sudah jauh, melarikan diri dengan seekor kuda perang.
Matanya menyipit dari balik topeng yang menutupi wajahnya, lalu berkata dengan suara dingin, “Hari ini kamu lolos. Tapi lihat saja nanti, aku akan menemukanmu!”
Bersambung
Putih. Segala sesuatu berwarna putih menyilaukan yang membuat mata perih ketika pertama kali terbuka. Tidak ada suara, tidak ada wangi, tidak ada rasa apa pun kecuali kekosongan yang menyeluruh. Seperti berada di dalam pangkuan alam semesta sebelum segala sesuatu tercipta. Perlahan, mata yang tadinya tidak bisa melihat apa-apa mulai menyesuaikan diri dengan cahaya putih yang lembut. Bentuk-bentuk samar mulai muncul dari keputihan itu, berubah menjadi kontur yang familiar namun berbeda dari yang terakhir kali dilihat. Rong Tian terbangun dengan napas terengah-engah, dadanya naik turun cepat seolah baru saja berlari jarak jauh. Matanya berkedip beberapa kali, berusaha memfokuskan pandangan pada lingkungan di sekitarnya. Yang pertama ia rasakan adalah udara yang bersih dan segar, sangat berbeda dari bau darah dan kematian yang menjadi hal terakhir yang ia ingat. Ia duduk perlahan, merasakan tanah yang lembut di bawahnya. Bukan tanah kering yang dipenuhi tulang, tetapi rumput hijau ya
Angin malam berdesir dengan suara yang menyayat jiwa di Padang Jiwa Terkoyak yang kini sunyi seperti kuburan raksasa. Bulan sabit menggantung tipis di langit kelam, cahayanya redup seolah enggan menyinari tragedi yang telah terjadi.Udara dipenuhi dengan bau darah yang mengering, tercampur dengan wangi bunga kematian yang tumbuh di antara tulang-tulang berserakan.Langkah kaki tua dan berat bergema perlahan di antara mayat-mayat yang bergelimpangan.Imam Zhang Wuji berjalan dengan jubah Tao putihnya yang ternoda debu dan darah, matanya yang bijaksana kini dipenuhi kesedihan mendalam. Setiap langkahnya meninggalkan jejak cahaya putih samar, qi spiritual yang murni berusaha memurnikan tanah yang telah dikotori oleh begitu banyak kematian.Di tengah kawah yang dalam, sosok yang pernah dikenalnya sebagai murid yang penuh potensi kini berdiri membeku dalam keheningan abadi.Rong Tian masih dalam posisi tegak, seolah bahkan dalam kematian ia tidak mau menyerah kepada nasib. Jubah hitam yang
Sementara itu, di langit di atas Kota Heifeng, Tian Yuxiao berdiri di atas phoenix putihnya sambil mengamati kehancuran di bawah. Ia bersiap mengumumkan kemenangan final aliran putih ketika tiba-tiba langit mulai berubah aneh.Awan-awan tebal berwarna hitam keunguan mulai berkumpul dengan cepat, berputar membentuk pusaran raksasa yang menakutkan.Angin bertiup kencang dari segala arah, membawa serta bau belerang dan sesuatu yang membusuk."Apa yang terjadi?" gumam Tian Yuxiao sambil menatap ke atas dengan wajah khawatir.Tiba-tiba langit seolah terkoyak seperti kain yang disobek. Dari retakan itu muncul cahaya perak yang menyilaukan, diikuti oleh sosok yang turun perlahan dari ketinggian.Sosok itu mengenakan jubah perak yang berkilau seperti logam cair, wajahnya tersembunyi di balik kabut putih yang berputar-putar.Ketika sosok berjubah perak itu mendarat di udara lima puluh meter di atas kota, tawa mengerikan bergema ke seluruh Kota Heifeng. Suara tawa itu dingin dan mengejek, membu
Ketika debu mulai mengendap, sosok Rong Tian terlihat terbaring tidak bergerak di tengah kawah. Jubah hitamnya compang-camping, topeng giok di wajahnya retak di beberapa bagian, namun seruling iblis masih tergenggam erat di tangan kanannya.Mata keemasannya yang biasanya berkilat kini redup dan kosong."Tuan Muda!" teriak Mo Qianmian dari Sekte Baibian Men sambil berlari mendekat. "Tidak mungkin... Tuan Muda tidak mungkin..."Hun Tunshi yang masih terluka parah merangkak dengan susah payah menuju kawah. "Raja... Kelelawar Hitam... tidak boleh... mati..."Xu Ying Ming dari Sekte Teratai Bulan Perak jatuh berlutut sambil memukul tanah dengan tangan yang gemetar."Tanpa Tuan Muda, kami semua akan musnah!"++++Kematian Rong Tian menciptakan gelombang keputusasaan yang menghancurkan moral seluruh pasukan aliran iblis. Mereka yang tadinya berjuang dengan semangat membara kini berdiri terpaku, menatap sosok pemimpin mereka yang terbaring kaku di tengah kawah dengan mata kosong yang menatap
Langit di atas Benua Qitu Dalu berubah menjadi kanvas kiamat ketika dua sosok legendaris meluncur menembus awan dengan kecepatan yang mencabik udara.Rong Tian, dalam wujud Raja Kelelawar Hitam, terbang dengan naga es Azure yang sudah terluka parah, sementara Tian Yuxiao dari Sekte Tianjian Ge mengejarnya dengan phoenix putih yang sayapnya berkilau seperti pedang cahaya.Pertarungan dimulai di atas Padang Jiwa Terkoyak, namun kini telah menyeret mereka melintasi seluruh benua.Dari utara yang bersalju hingga selatan yang tropis, dari gurun pasir barat hingga pegunungan timur, jejak kehancuran mereka tercipta di langit seperti luka terbuka yang mengeluarkan darah merah pekat."Daxia tidak akan bisa melarikan diri!" teriak Tian Yuxiao sambil mengayunkan pedang cahaya sucinya. "Pedang Cahaya Surgawi, Kilat Pemurnian Jiwa!"Puluhan kilatan cahaya putih kebiruan meluncur dari pedangnya, memotong udara dengan suara mendesis seperti ular raksasa. Setiap kilatan meninggalkan jejak panas yang
Padang Jiwa Terkoyak kini benar-benar menjadi tempat yang sesuai namanya. Ribuan mayat bergelimpangan di mana-mana, baik dari kultivator hidup maupun jiangshi yang akhirnya hancur.Bau darah dan mayat yang membusuk memenuhi udara, bercampur dengan asap dari berbagai ledakan qi yang masih mengepul.Di berbagai sudut medan perang, para pemimpin sekte dari kedua aliran terlibat dalam duel mematikan yang menentukan nasib perang ini. Satu per satu, tokoh-tokoh penting mulai berjatuhan.Luo Qing Xian dari Sekte Kabut Jade Abadi tergeletak tidak bernyawa setelah duel dengan Bai Yuanfeng dari Sekte Shennong Gu.Wanita berambut hijau kebiruan itu tewas setelah racun buatannya sendiri berbalik menyerangnya, sementara Bai Yuanfeng terbaring sekarat dengan meridian yang hancur akibat terkena Kabut Jade Mematikan.Xu Ying Ming dari Sekte Teratai Bulan Perak berhasil mengalahkan Qin Hua, wakil pemimpin Sekte Shennong Gu, namun ia sendiri terluka parah. Darah perak mengalir dari luka di dadanya, sem