Bibi Zara pagi ini sudah harus kembali ke Jerman. Katanya ada urusan yang mendesak. Aku dan Soraya mengantarkannya ke bandara. "Seperti yang kita sepakati kemarin. Aku ingin kamu bisa memantau putraku sekaligus melindungi keponakanku. Bukan hal yang sulitkan?"Rafli terlihat menyunggingkan senyumnya hanya sebelah. Menurutku terlalu sinis saat melihatnya. Sebenarnya kami ini, monster jenis apa? Kalau diperhatikan kami yang terlahir dari klan anggota mafia memiliki ke unggulan yang menjadi ciri khas masing-masing klan. Mungkin faktor genetik juga menjadi salah satu dukungan bakat kami sekarang dan sekarang aku sedang menebak, bakat spesial apa yang dimiliki oleh Rafli."Aku bukan baby siter, Ma'am.""Tapi kamu pelatih anak-anak mafia terbaik. Mereka berdua adalah penerus salah klan mafia terbesar-- ""Baiklah, aku akan bekerja sesuai dengan bayaranku." Potong Rafli yang terlihat tidak ingin berbasa-basi terlalu lama."Tentu, aku malah akan melipat gandakannya. Karena sekarang tugasm
Evan, anak buah yang aku banggakan saja bisa dikalahkan olehnya. Bahkan Rafli tidak terluka atau mengeluarkan keringat sama sekali ketika bertarung. "Eva, bagaimana keadaannya sudah membaik? Aku sudah memanggilkan dokter. Mungkin sedang dalam perjalan.""Padahal sudah lebih baik, jadi merepotkan Tuan Muda.""Bisa kita bicara di luar sebentar." Kami keluar dari kamar Evan.Ruang tengah menjadi tempat yang kami pilih.Sebenarnya aku juga ketakutan. Bahwa suatu saat aku akan menjadi monster.Monster yang akan membahayakan keluargaku sendiri. Saat ini kakek sedang merancang ku sebagai monster bagi keluarga Theodora. Apakah aku mampu untuk memenuhi semua ekspetasi kakek. Langkah pertama, aku harus bertemu dengannya dan membicarakan semuanya dari awal. Lagi pula sekarang sudah ada Soraya sebagai salah satu alasanku untuk kembali berdamai dengan keluarga Theodora. "Aku ingin menjalankan rencanaku selanjutnya.""Apa yang bisa saya bantu?""Aku agak khawatir. Fokus saja merawat Evan. Aku ak
"Apa yang anda lakukan!" "Rafli." Ternyata masih orangku. Aku sudah panik takut ketahuan keluarga Theodora. "Aku hanya mau bertemu dengannya." Ucapku polos. "Anda mau rencana kita gagal?!""Aku hanya akan menyapa sebentar lalu--""Jika anda tidak bisa menahan diri, lebih baik anda kembali ke hotel. Biar kami yang memantau keadaan." Lanjutnya lagi.Ada benarnya juga, aku hanya akan membahayakan misi ini. "Aku percayakan ini padamu." Ucapku pada akhirnya."Tunggu, tapi kenapa tahu soal Thea." Sebelumnya Rafli tidak tahu siapa itu Thea. Aku kembali lagi berbalik dan mengintrogasi Rafli."Sebenarnya kami merahasiakan ini dari Tuan Muda. Saat Raka meretas data pasien rumah sakit, dia menemukan berkas Anthea Theodora."Aku tahu lambat laun akan begini, makannya saat tadi aku melihat anda langsung berlari padanya, aku segera datang menyelamatkan Tuan Muda.""Thea sakit? Dia sakit apa?""Di hotel anda bisa meminta rekam medisnya pada Raka. Sekarang cepatlah kembali ke hotel sebelum ada yan
Satu tamparan keras mendarat dipipi kananku. Semua itu disebabkan oleh note dalam gadget yang tidak sengaja terbaca oleh kakek.Aku memiliki trauma mendalam sejak umur sepuluh tahun. Diakibatkan melihat baku tembak yang terjadi di rumah.Dalam ingatan, suara desing peluru beradu serta darah yang menggenang hampir melumuri lantai putih. Selebihnya aku tidak ingat apa yang terjadi kemudian.Kami pindah rumah ke wilayah ini untuk meneruskan hidup dengan tenang, berbagai macam rangkaian terapi rutin aku lakukan untuk menghilangkan trauma. Salah satunya dengan menulis kegiatan keseharianku, cukup ampuh mengurangi pikiran cemas yang berlebih serta menstabilkan emosi yang mudah meluap."Apa kamu pantas memiliki perasaan itu!?"Kakek membentak didepan kedua orangtuaku, tapi tidak ada satupun dari mereka merespon untuk membela. Keduanya malah terdiam sambil melayangkan tatapan menghakimi.Beruntung Thea tidak melihat semua ini, dia sedang pergi les piano. Jika saat ini dia ada, apa pandang
Suara pintu besi terbuka memunculkan sesosok laki-laki jangkung. "Berdiri!" Aku tidak ada keharusan menuruti perintahnya. Siapa dia! Maka aku jawab dengan dengusan nafas.Tanpa aba-aba dia berlari kearahku dan meninju wajah bagian kiri. Apa dia sinting!Karena mendapat bogeman mentah, emosi dalam dirku juga tersulut. Aku pernah belajar seni bela diri dari korea. Sial! Tendanganku tidak mempan untuknya. Tubuh itu terlalu kekar untukku. Sekarang kakiku malah berada dalam genggamannya. Secepat kilat dia memelintir hingga tubuhku ikut terjungkal."Arghhhhhhh!" Sakit sekali rasanya. Kakiku patah. Dia terus melanjutkan aksinya. Berjalan selangkah demi selangkah untuk mengintimidasiku. Sedang akan aku mengesot menghindari.Mentok. Tembok menghalangi punggungku. Satu lagi layangan tinju. Aku pasrah. Sudah tidak tahu berapa kali dia memukuli wajahku. Terkapar. Aku berharap mati saja kali ini. Disiksa seperti ini membuatku kepayahan baik secara fisik maupun secara mental. Rasa amis dan
"Jangan berisik nanti Kakak bangun.""Kamu sedang apa disini?""Aku bosan dirumah." Suara dua orang? Kenapa berat sekali untuk membuka mata. Sekujur tubuhku semuanya terasa sakit.Aku masih hidup? Padahal aku berharap mati saja, lebih baik daripada hidup tanpa tujuan."Lihat tangannya bergerak.""Cepat panggil Kak Eva!" Genta, bocah yang aku temui diruang bawah tanah dan yang baru saja pergi tadi pastilah Raka. Ada yang aneh, aku mengenali wajah mereka, Tapi terasa berbeda auranya. Bahkan bentuk tubuh mereka sudah berbeda. Mereka bukan anak kemarin sore, mereka sudah tumbuh menjadi laki-laki muda.Hal terakhir yang aku ingat adalah Ayah memukuliku dengan tongkat besi sebelum dia akhirnya menembakkan beberapa peluru kepadaku."Untung peluru itu tidak menembus organ vital. Semuanya masih bisa diselamatkan. Mungkin butuh beberapa bulan untuk pulih."Ingin aku ucapkan terima kasih, tapi mulutku tidak bisa menyuarakan itu. Hanya erangan kosong yang tanpa arti."Tuan Muda mungkin tidak b
"Cuman ini yang bisa aku lacak." Kami sedang berkumpul di meja makan. Raka turun sambil menyerahkan tumpukan kertas yang dia jepit diatas papan dada. Aku pikir ini akan setebal aset-aset keluarga Theodora. Nyatanya kurang dari lima puluh lembar. "Apa... Enggak sesuai ekspetasi Kakak?" Raka mulai bergabung menyantap makan malam miliknya. "Aku jamin! Ini paling akurat. Kakak mau cari dimanapun engga akan seakurat yang aku temukan ini." Lanjutnya lagi."Kenapa bisa begtu?""Karen Tuan sudah menghapus dan mengganti sebagian besar data dirinya.""Wah. Aku pikir selama ini Tuan memang anak kandung dari Tuan besar.""Maksud kamu?" Tanyaku pada Genta yang mulai memperhatikan Raka. "Sepertinya kalau aku yang ngomong, kalian engga akan percaya. Gimana kalau Kak Eva aja?" Usul Raka sambil menyendokan nasi ke mulutnya. Kini lagi-lagi semua mata tertuju pada Eva. "Tuan adalah menantu Tuan besar. Sama seperti kalian. Dia adalah anak yang diselamatkan dari peperangan antar anggota mafia.""Ap
Sesuai rencana diawal, maka aku akan mulai dari tempat yang terdekat denganku.Selain untuk memudahkan ku menyusun rencana, juga menghindari agar tidak terlalu menimbulkan perhatian dari berbagai pihak.Hanya kami bertiga yang berangkat ke pelabuhan. Menurut Eva kehadiran dia dan adiknya sudah cukup bisa menjagaku.Mobil berhenti di salah satu gudang di samping pelabuhan.Aku mulai gugup, di depan pintu saja sudah ada dua orang yang berjaga."Ini." Evan yang duduk di kursi pengemudi menengok dan menyerahkan satu senjata api.Jenis Glock tapi aku tidak yakin ini tipe yang mana.Isinya bisa enam sampai delapan peluru tergantung tipe. Kecepatan dan jarak tembaknya juga berbeda-beda dalam setiap tipe. Mungkin aku harus mulai mecari tahu tentang jenis-jenis senjata api dalam waktu dekat ini."Tuan muda tidak usah diberi." Eva mengambil langsung dari tangan adiknya."Apa salahnya? Dia butuh itu sebagai jaga-jaga.""Bisa saja ini menjadi senjata makan tuan, bagi Tuan muda yang belum terbias