LOGINI've never been was a normal girl, they said that my whole clan was a mystery. Always hiding and lurking in the shadows, never attending such big events in the kingdom. Never even causing trouble, until someone spread a rumor about us being witches and wizards. I am Seraphina, and this is my journey.
View MoreLangit Jakarta siang itu tampak muram, seolah tahu bahwa Natasya kembali bukan karena rindu, melainkan karena paksaan.
Tangannya mengepal di atas koper hitam, sementara langkahnya mantap menuruni eskalator Bandara. Bukan karena ia tak punya pilihan lain, tapi karena satu nama: Watson Company.
“Kau pikir aku akan bekerja untukmu seumur hidup hanya karena kau ayahku?” gumamnya pelan, seolah membalas suara dingin yang masih terngiang di kepalanya.
"Kembali ke Indonesia. Jika tidak, semua aksesmu, rekening, apartemen, kartu kredit, akan diblokir!” ucap Thomas Watson.
“Silahkan saja,” balas Natasya.
Panggilan senyap sekejap, dan Thomas berkata lagi setelahnya, “Bagaimana dengan menjadi direktur di Watson Company? Satu tahun, itu tawaranku."
"Setahun," jawab Natasya waktu itu. "Dan setelahnya, aku bebas?"
"Setelahnya, aku tidak akan mencampuri hidupmu lagi."
Itu cukup. Untuk sekarang.
Natasya geram karena ayahnya mengetahui kelemahannya. Menjadi pemimpin di perusahaan memang bukan tujuan utamanya.
Satu kata, sial.
…
Gedung Watson Company menjulang seperti istana tak bersahabat di mata Natasya. Kilau kaca yang memantulkan langit Jakarta hanya mengingatkan Natasya akan bayang-bayang kekuasaan sang ayah, Thomas Watson.
“Selamat pagi, Bu Natasya,” sapa resepsionis begitu ia masuk.
“Aku bukan ibu siapa-siapa di sini,” jawabnya tenang. “Cukup panggil aku direktur.”
Gadis itu menelan ludah, sedikit kikuk.
“Aku bercanda,” lanjut Natasya.
Dengan langkah mantap, Natasya berjalan ke arah lift, dan mengernyit sejenak ketika menyadari beberapa orang sedang berkumpul di sana.
“Ada masalah apa sepagi ini?” pikir Natasya.
Begitu Natasya mendekat, dia melihat hal yang dilhat semua orang. Disana terdapat dua orang yang sedang berciuman dengan mesra.
“Aishh, mereka benar-benar bersenang-senang sepagi ini,” ucap Natasya sembari tertawa.
Itu karena natasya menyadari bahwa orang yang membuat kehebohan adalah laura, saudara tirinya. Masalahnya, natasya tahu bahwa laura memiliki pacar yang telah dia kencani selama 10 tahun lamanya.
Ketika sedang asyik menertawakan Laura, tanpa sengaja tatapan Natasya bertemu dengan manik gelap milik seorang pria yang berdiri di depannya.
Tatapan mereka terkunci selama beberapa saat, dan Natasya mulai menyadari sesuatu ketika melihat orang-orang di sekitar mereka terus menatap ke arah pria itu.
“Ah, sepertinya akan ada perang dunia sebentar lagi!” kata Natasya.
Sebenarnya dia sudah akan melangkah pergi, tetapi sebuah ide terlintas dipikirannya. Dia mengeluarkan ponselnya dan mulai memotret kejadian di depannya.
“Beres!” ucap Natasya.
Watson Company memang mendesain tangga di lantai pertama, sehingga itu memudahkan Natasya. Dia tidak harus menaiki tangga darurat, jika tidak ingin menggunakan lift.
Itu bahkan menjadi pilihan paling masuk akal bagi Natasya. Dia tidak ingin bertemu lagi dengan Laura, apalagi setelah kejadian di lift itu. Meskipun dia tidak begitu yakin apakah Laura menyadari keberadaannya tadi.
Langkahnya mantap, dan hak sepatunya berkali-kali mengeluarkan suara yang khas. Tapi entah kenapa, setiap anak tangga yang dilewatinya justru terasa ringan, seolah ada rasa puas yang menyertainya. Senyum tipis terukir di bibirnya. Mungkin karena tidak ada yang mengganggunya, atau karena Laura yang memulai nerakanya sendiri di pagi hari.
"Ini mulai seru. Setidaknya aku kembali dengan kesenangan kecil," gumamnya.
Namun ketika dia hampir sampai di tujuan, tubuhnya terhenti. Sebuah tabrakan kecil membuat dahinya berdenyut, kemudian menghantam dinding dingin di sisi tangga.
“Sial. Apa ini?” umpatnya pelan sambil mengusap dahinya.
Ia mendongak dan sekali lagi, dunia seolah mempermainkannya. Di hadapannya berdiri pria yang sama. Pria dengan setelah hitam, dagu tegas, dan manik mata hitam yang terasa terlalu dalam untuk sekadar tatapan biasa.
Kenan.
Natasya mengutuki dirinya sendiri karena dia melupakan nama pria itu beberapa saat yang lalu. Dia seharusnya tidak melupakan namanya, karena dia adalah pacar Laura dan mereka akan bertunangan sebentar lagi.
Kini Natasya kembali mengumpulkan kesadarannya. Dia tidak boleh terintimidasi oleh pria itu. “Apa yang kamu lakukan?” tanya Natasya, menahan nada kesal yang hampir meledak.
Kenan tidak menjawab. Sebaliknya, ia malah mendekat. Gerakannya cepat, nyaris kasar. Tangannya terulur ke arah ponsel Natasya.
Refleks, Natasya menarik ponselnya ke belakang. “Hei! Jangan keterlaluan!”
“Berikan ponselmu,” ucap Kenan, dingin. Dia sama sekali tidak berniat berbasa-basi.
Tentu saja Natasya tidak akan membiarkannya begitu saja. “Kenapa aku harus?” balas Natasya.
“Aku lihat kamu memotret tadi. Kamu tahu kamu tidak seharusnya melihat itu. Hapus fotonya dan katakan berapa harga yang kamu inginkan.” jelas Kenan.
Nada itu. Nada seorang pria yang terbiasa memerintah, terbiasa didengar, dan tidak suka ditolak. Tapi Natasya bukan tipe perempuan yang bisa ditundukkan hanya karena suara berat dan sorot mata tajam.
Natasya melangkah mundur, menyelipkan ponselnya ke pinggang rok di balik crop top putihnya. Dia bahkan tidak ragu melakukannya di hadapan Kenan.
“Kau pikir aku membutuhkan uangmu?” ucapnya pelan, tetapi tegas.
Sebelum Kenan bisa membalas, ia melihat sesuatu yang lain. Bayangan sepatu hak tinggi melangkah di ujung tangga. Laura.
Mata Kenan menyipit. Tanpa peringatan, ia menarik tubuh Natasya dan menekannya ke tembok. Satu tangannya menempel di sisi kepala wanita itu, sementara tubuhnya berada cukup dekat hingga ia bisa mencium wangi parfum bunga yang samar dari leher Natasya.
“Diam,” bisiknya cepat.
Tetapi Natasya tidak tinggal diam. Sebaliknya, ia mendesah pelan, seolah menantang.
“Aku bilang diam,” ulang Kenan, tapi wajahnya tampak lebih panik.
Desahan Natasya makin jelas. Ia tahu Laura mendekat. Dan ia tahu, ini akan membuat semuanya jauh lebih rumit.
“Sial,” desis Kenan, lalu buru-buru menutup mulut Natasya dengan telapak tangannya. Tapi usahanya justru membuat suara itu terdengar semakin dalam, semakin ambigu.
Langkah kaki Laura terhenti. Ada keheningan. Sebuah jeda yang cukup panjang untuk menumbuhkan curiga. Lalu, tanpa suara, langkah itu berbalik menjauh.
Hanya saat itulah Kenan menurunkan tangannya perlahan. Matanya masih menatap Natasya yang kini tersenyum kecil.
“Kau gila,” gumam Kenan, masih berusaha mengatur napasnya.
Natasya tertawa pelan, memperbaiki kerah kemejanya yang agak terbuka. “Bukankah tadi kamu bertanya, berapa harganya?”
Kenan mengangkat alis. “Dan jawabanmu?”
“Untuk sekarang… itu cukup.” balas Natasya.
Senyumnya menggoda. Bibir merahnya menyungging manis, tapi matanya tajam. Ia tidak takut padanya dan itu membuat Kenan semakin tidak bisa mengalihkan diri.
“Kamu harus bersiap membayar mahal untuk ini,” ancam Kenan.
Natasya mengangguk dan melakukan sesuatu dengan ponselnya. Dia menunjukkan itu pada Kenan, dan bergegas menghapus foto Laura yang dia ambil tadi.
“Sudah, kan?” tanya Natasya memastikan.
Dia menatap Kenan sejenak dan tertawa meremehkan. “Bukankah kamu bodoh?” ucap Natasya.
Mata Kenan membelalak mendengar ucapan itu. “Apa kamu benar-benar mengira Laura akan jatuh cinta dan patuh kepadamu?” lanjut Natasya.
Natasya mendekatkan wajahnya, nyaris menyentuh pipi Kenan saat ia berbisik, “Selamat datang di neraka!”
I woke up sweating, this kind of feeling is the feeling I hate the most. I scanned the place, where am I? I stood up and had the urge to run but my knees are being jelly. It's hot in here, feels like hell. "Welcome, chosen heir of the fire." A voice said in my head. I don't like the feels of this. "Where am I?" I asked. My head is aching. I don't feel so good, why am I being like this? "Thy have summoned thee's spirit in this realm of mine." now that I have scanned the whole place, this is a temple... I remember having a conversation with Zale and the others, suddenly heard the cry and now I'm here, weird. Something is quite bothering me. "Kill them! Kill those who dared to hurt the—" I didn't let the voice end its sentence as it is quite irritating. A spirit of vengeance has no right to communicate with an heir. My condition started to be at ease. "How bold of you to assume I'll listen to you," I said and crossed my arms, wearing only my poker face. I have thought of this, no way
Zephyrine Heaven, even her name sounds so kind and calming. Wait...her name sounds familiar, I know I have heard it somewhere. I looked at Zale who is looking confused as I am. "Her name is Zephyrine?" I asked once more, the kids just nodded as their response. Zeph—my eyes widened when I realized who she was. She's the one in my dreams. I sat down beside Zale who is thinking about something. "We need to plan now." He suddenly blurted out. Right, a plan...but what kind of plan? "Does anybody knows what the count looks like or his mansion's passageways?" He asked, the kid who looks older than the girl raised his hand. "What are your names by the way?" I asked. I kept saying kid this, kid that, we literally are inside their house, why not ask for their names right? "I'm Kareela, a friend of theirs." Said the girl, "I'm Boreas, the oldest." said the one who offered us a place to stay. "I'm Notus, and I work in the count’s mansion as a servant." Great! Now I can call them by name. "So
Days have passed, and I am still on this stupid bed. I turn to Zale who was peeling apples, he noticed that I was looking at him so he also looked at me. "It's almost peeled, wait a sec." He said, I looked at his hands that has several cuts because of the knife. "Pass me the apples, no need to peel them." He looked at me worriedly and so I sighed and smiled. He looked at the apple, which is half-peeled before he passed it to me and so I ate it. I looked outside and saw the vast water greeting the land. "Looks like the storm has subsided?" I asked and he replied yes. I want to carry on with our journey. I looked at the blue-haired Zale and he was packing our things. So am I being discharged? He looked at me and smiled. I stood up and my long hair was swayed by the strong wind. I saw the red strands and just looked at them. My hair color changed after I saw my mother who has Bright red hair with highlights of black. I turned to the mirror and saw my red hair that was highlighted with
It was raining hard, yet we continued our trekking. "Are you really sure that you are okay with trekking in this kind of weather?" Zale asked for the nth time, I stopped walking and looked at him, his eyes looked worried. "Honestly Zale, for the nth time, I am okay with water, it doesn't weaken me, don't ask how, I don't know either," I said reassuring him. He nodded, still he looks worried. We resumed walking, I slowed my pace because of the terrain, it was muddy and slippery, and it wasn't a good sign. The rain poured harder than earlier, but as it got harder, I got irritated. I put up a small barrier that could shield us from the rain, now, why didn't I thought of this earlier? The rain evaporated as it closes contact with the barrier as I set the temperature of my fire high enough to make the droplets evaporated, "Why didn't you thought of this earlier?" Zale asked and looked at the barrier and looked like he wants to touch it. "Don't touch it, or else you'll have a burn," I






Phoenix Cry by RhginueRea is a fantasy romance novel full of emotional scenes. Seraphina Agni grew up knowing her family is under prejudiced. It no longer bothers her. One day, her grandparent tells her a story about their family. They have the power to control fire. Their ancestors were taken to the present kingdom to guard and protect it. However, one of their ancestors was charged with treason and beheaded. The shame permanently tainted their family. The past accusations were false. It is now up to Seraphina to protect their clan. She has the power, but can she wield it properly?
reviews