Share

Bab 25

Aku memutuskan untuk mengambil cuti selama tiga hari untuk menemani Lucas dan Ina di Bali. Ini pertama kalinya selama enam bulan kami bisa berjalan-jalan seperti ini, dan aku memang butuh orang seperti mereka untuk mencerahkan hariku yang suram.

“Kamu bahagia di Bali?” Ina bertanya padaku ketika kami mendudukkan diri di pasir pantai Kuta. Sebentar lagi kami akan melihat matahari terbenam, dan Lucas sedang membelikan kami cemilan serta air kelapa.

“Aku ngerasa bakal ada kejadian buruk di sini, tapi ya, aku bahagia. Kalau memungkinkan aku akan lari lagi, luar negeri mungkin?”

Aku sudah menceritakan tentang Clarissa pada Ina dan juga Lucas. Perjuanganku mencapai posisi manajer walau aku tak menginginkannya, dan juga Erlangga. Sampai saat ini, pikiran tentang Erlangga sangat menggangguku. Aku tak tahu apa yang terjadi, tapi aku merasa ini akan buruk.

“Nyebelin, ya? Pasti dia gabungan Tsania sama Bella, atau mereka belum puas mojokin kamu di Batam, jadi mereka bikin kloning gabungan buat menghantui kamu,” ucap Ina. Sangat datar tanpa emosi.

Aku tertawa, terkadang imajinasinya sangat di luar batas yang tak kumengerti. Tapi, aku tetap mencintainya. Dia sahabat terbaikku yang sangat mengerti diriku.

“Kamu masih gak berubah juga, imajinasi kamu luar biasa banget, tau gak?”

Ina ikut tertawa dengan ocehannya sendiri. Jika kami sudah berdua, maka obrolan yang harusnya normal, maka akan berubah menjadi tak normal. Imajinasi Ina sangat pantas di acungi jempol. Mungkin dia bisa menjadi penulis skenario jika tak bekerja di hotel.

“Ritchie kemarin nanyakin kamu” ucap Ina.

Aku menegang di tempatku duduk. Sudah lama aku tak mendengar nama itu, tapi efeknya tak berubah. Dia tetap menjadi salah satu pria yang sangat ingin kuhindari, karena aku sangat muak dan aku ingin menghindari masalah. Aku tak tahu apa yang terjadi, tapi aku seolah kehilangan kata-kata untuk menimpali percakapan ini.

“Apa yang kamu lakuin kalau ketemu dia lagi dan dia udah berubah?” tanya Ina.

“Kamu percaya sama ucapan dia?” Aku menyipitkan mataku pada Ina. Wanita ini benar-benar, bahkan baru beberapa hari sejak kami berbaikan.

“Aku gak akan ngebiarin dia pengaruhin aku lagi, Van. Ini cuman pengandaian aja.” Ina menunjukkan cengiran lebarnya.

Aku hanya mengendikkan bahu. Aku tak benar-benar tahu apa yang akan aku lakukan jika bertemu lagi dengannya. Yang aku tahu, saat ini aku benar-benar ingin menghindarinya. Tak peduli masalah kami sudah selesai atau belum. Aku hanya ingin pergi sejauh-jauhnya.

“Aku gak tahu harus bilang ini atau gak, tapi Ritchie udah punya pacar lagi, dan perempuan itu bukan Tsania.”

“Well, aku bahkan gak tahu harus bereaksi kayak gimana, dia—“

“Jadi maksudku, Van, kamu juga harus bahagia. Jangan biarin pikiran kamu tentang seberapa buruknya pria mempengaruhi hidup kamu. Kamu udah lari sejauh ini, jadi jangan sia-siain kebahagiaan kamu gitu aja,” potong Ina.

Aku menatap Ina tak percaya. “Kamu beneran Ina, kan? Soalnya Ina yang aku kenal gak bakal ngomong kayak gini.”

“Sialan kamu!”

Aku tertawa terbahak-bahak mendengar umpatan dan wajah kesal Ina, itu benar-benar hiburan yang tak tergantikan untukku. Aku terlalu sering menghabiskan liburanku dengan kesendirian, jadi rasanya sekarang seperti aku baru menemukan sahabatku lagi dan keceriaan yang di bawanya. Aku sangat merindukan suasana ini.

“Dan kalau si Erlangga ini worth it, kamu harus pertahanin dia. Hidup kamu pasti terjamin banget kalau sama dia.” Ina melanjutkan lagi.

“Kamu tahu sendiri aku gak segila itu sama materi, dan aku rasa dia bukan pria yang tepat buat aku, Na. Aku bisa banget ngerasain itu.”

Ina merangkul bahuku dengan sebelah tangannya. Matahari perlahan mulai turun dengan semburat oranye yang tetap indah seperti biasa.

“Aku akan selalu mendukung keputusan kamu, Van, asal kamu bahagia dengan semua pilihan itu. Dan kalau kamu merasa semua ini terlalu berat untuk kamu jalani, aku sama Lucas bakal selalu ada buat kamu.”

Entah kenapa kalimat Ina barusan membuatku sangat tersentuh. Dia memang sangat berisik dan ceplas ceplos, tapi aku selalu bisa merasakan ketulusannya. Dia bahkan bisa lebih bijak di banding dengan aku yang terkadang hanya bisa memikirkan bagaimana cara melarikan diri sejauh mungkin.

Aku membalas pelukannya. Saat ini aku baru sadar kalau aku juga butuh orang lain untuk membagi bebanku. Aku terlalu mengandalkan diriku sendiri yang bahkan aku tak tahu sudah berapa banyak kehancuran yang di timbulkan.

Matahari terbenam selalu menjadi saksi dari semua kepasrahan dan penyerahan diriku. Aku selalu berpikir kalau aku sekuat itu, aku bisa mengatasinya seorang diri, aku mampu menyelesaikan apapun yang kumulai. Tapi kenyataannya sangat berbanding terbalik. Aku terlalu takut menghadapi kenyataan, itulah sebabnya aku selalu berpura-pura kuat, hingga aku merasa kuat dengan sendirinya.

**

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status