Share

Hukuman

"Uci?" Panggil lagi seseorang dari belakang yang membuat jantungku benar benar ingin lepas dari tempatnya.

Kenapa banyak sekali orang mengagetkanku.

"Ngapain disini?" tanyanya lagi.

"Eh Rere?" ucapku gugup. Kok Rere juga bisa ada di luar jam kelas? Apa dia kebelet juga?

"Bang Ardan?" ucap Rere yang terkejut melihat ada sosok manusia tampan di depannya.

Bang Ardan hanya mengangguk dan tersenyum.

"Gila,Ci. Lesung pipitnya makin dalam!" ucap Rere berbisik.

"Berisik, ah!"

"Yasudah abang balik dulu ya,Ci. Nanti malam kalau tidak sibuk abang telfon" ucap bang Ardan melelehkan hatiku.

"Iya hati hati bang Ardan!" ucapku melambaikan tangan.

Kaki serasa tak sanggup lagi untuk berpijak melihat aura bang Ardan yang bener bener memukau.

"Parah kau ah,Ci. Jumpa cogan gak ngajak ngajak. Malah mau di telfon lagi, teman makan teman kau ah!" ucap Rere cemberut.

"Haha apa pulak teman makan teman, emangnya ada ku rebut si Ardan itu dari kau,ha?"

"Haha selow lah kau!"

"Makanya cantik kayak aku," ucapku sedikit sombong.

"Haha kamvret. Eh jadi kek mana ceritanya, kok bisa kau jumpa sama calon ku?"

Aku terkekeh mendengar ucapan Rere. 

"Calon? Gak ingat umur kau, masih bocil aja sok sokan punya calon!"

"Apa bedanya dengan kau, masih bocil sibuk sama cowok!"

"Haha udah ah, balik dulu ke kelas aku ya? Udah dari tadi soalnya. Nanti di anggap bolos pulak aku. Dah Rere!" ucapku melambaikan tangan dan berlalu dari hadapan Rere.

Rere hanya diam mematung, mungkin dia masih ingin aku menjelaskan tentang pertemuanku dengan bang Ardan.

"Pulang sekolah nanti aku cerita!" teriak ku karena kasihan melihat Rere yang melongo.

Dulu aku dan Rere sama sama kecantol dengan ketampanan bang Ardan.

Kami pernah mengirimnya surat, tapi tak ada balasan.

Bahkan di surat kami yang kesepuluh pun bang Ardan tetap tak membalasnya.

Di tambah lagi kabar bang Ardan yang pacaran dengan kak Meysa membuat kami mundur mundur cantik. Eh?

***

"Permisi pak!" ucapku saat kembali kedalam kelas. 

"Kok lama banget ke kamar mandinya,Ci?" tanya pak Guru menatapku  heran.

"Iya pak, tadi itunya gak mau keluar!" jawabku asal mengundang tawa teman sekelas.

"Apanya yang gak mau keluar?" Pak Guru menatapku mengejek.

"Itunya!"

"Itunya apa?"

"Pupnya pak!"

Mereka semakin tertawa mendengar jawabanku.

"Oh bilang dong, makanya kamu makan sayur, makan makanan yang sehat jangan banyak makan micin. Kamu ini cantik cantik kok e*eknya keras!" sahut pak Guru kembali membuat mereka tertawa.

"Nanti jadwal piket hari ini di ganti dengan Suci saja ya!" sambung pak Guru membuat aku menghentikan langkahku saat hendak duduk.

"Maksudnya pak?" tanyaku bingung.

"Itu hukuman untuk kamu yang cantik cantik tapi e*eknya keras!"

"Tapi pak?"

"Tapi apa? Kamu mau saya beri hukuman yang lebih lagi?"

"Eh enggak pak!"

"Bagus! Duduk kerjakan tugas yang ada di papan!"

"Iya,pak!"

Tak apalah dapat hukuman, yang penting  bisa ketemu dengan bang Ardan.

Ngantuk ku tadi membawa berkah.

Lagipula ada Rere nanti yang akan membantuku membersihkan kelas, seorang sahabat kan harus selalu ada dalam susah dan senang!

****

"Suci, aku bantuin ya?" tawar Riko teman sekelas saat aku sedang menunggu Rere sambil memegang sapu untuk membersihkan kelas.

Biasanya saat bel pulang sudah berbunyi, Rere akan melewati kelasku untuk mengajak pulang bersama. Rumah kami yang searah membuat kami selalu berbarengan.

"Kamu mau bantuin aku?" tanyaku terharu.

"Iya, kita nyapu berdua biar cepat selesai!" 

"Oke!"

"Lain kali kalau butuh bantuan bilang aja sama aku ya,Ci. Jangan sungkan!"

"Iya,Ko. Makasih ya, kok baik banget sih!"

"Namanya juga sayang," ucap Riko sangat pelan tapi aku mendengarnya.

"Ha, apa?" tanyaku memastikan ucapannya.

"Bercanda,hehe" jawab Riko cengengesan.

"Oh kirain serius!"

"Emang boleh kalau serius?"

Aku hanya  menjawabnya dengan senyuman, entah apa maksud dari senyum ku, aku pun tak tau.

Lelaki emang selalu begitu, pantang di pancing langsung menganggap serius.

Pekerjaan telah selesai, tapi Rere tak juga terlihat.

Apa jangan jangan dia marah, karena tadi tak ku jelaskan perihal bang Ardan. Tapi biasanya dia tak begitu!

"Makasih ya,Riko!" ucapku saat kami sedang duduk di depan kelas.

"Iya sama sama. Yuk pulang, udah mulai sepi ni sekolah!"

"Iya duluan aja,Ko. Aku nunggu Rere!"

"Oh yasudah, aku luan ya!"

"Iya!"

Aku masih stanbay di depan kelas menunggu kedatangan Rere sambil melihat ke arah kelasnya yang masih terbuka. Enggan sekali rasanya melangkahkan kaki ini ke tempat Rere.

"Uci, ni ada surat dari Bobi!" ucap Prima yang sudah berdiri di hadapanku.

"Yaelah, paling ngajak ketemuan lagi. Pasti mau membahas tentang bang Ardan juga" ucapku dalam hati.

"Bilang aja aku udah pulang,Prim. Capek banget untuk jalan lagi ke belakang perpus!"

"Yasudah, aku suruh Bobi kesini aja,ya?" ucapnya tumben memberi ide.

"Boleh juga!"

"Tapi bayar dulu!" Tuh kan pasti ada maunya, dasar mata duitan.

"Minta sama Bobi dong guys,!"

"Yang sama Bobi lain lagi dong guys!"

Karena aki sedang capek gara-gara menyapu tadi, aku pun menuruti permintaan Prima.

"Ish, nah!" ucapku memberikan uang seribu sisa jajanku hari ini.

Padahal uang itu untuk aku membeli es didepan gerbang.

"Oke, tengkyu gusy!" ucap Prima pergi berlalu.

Setelah Prima menghilang dari pandanganku, aku langsung berlari ke luar sekolah, bodo amat dengan Rere. Siapa suruh lama. 

Aku malas menjelaskan perihal bang Ardan, karena di surat tadi Bobi memintaku untuk menjelaskannya secara langsung di belakang perpus.

Baru juga jadian, masa iya aku harus nurut dengan apa maunya.

Kalau bisa sih dia yang harusnya menurut apa mau ku.

Aku terus berjalan di bawah terik matahari. Haus semakin melanda, tapi uangku benar benar sudah habis, hanya tersisa untuk ongkos pulang naik angkot.

Dari kejauhan kulihat sosok yang sangat kukenal.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status