"Racun?" tanyaku seraya melirik gelas kosong yang isinya habis kutenggak barusan, lalu berpindah melirik Harum dengan ekspresi pura-pura tak mengerti."Iya, Kak. Mas Wira bilang, aku tak boleh menerima makanan atau minuman dari tanganmu, dia bilang aku harus berhati-hati karena mungkin saja kau menaruh racun di dalamnya. Tapi ... sekarang kau minum susu itu dan tidak kenapa-napa ...," jawab Harum heran.Aku terbatuk karena sesak di dada. Kupegangi dadaku dan menekannya sekuat mungkin, pura-pura terkejut mendengar cerita Harum tentang Mas Wira yang curiga padaku."Kak ... kau kenapa, Kak?" Harum menangkap tubuhku saat aku pura-pura jatuh tersungkur. Sangat terlihat jelas rasa khawatir di wajahnya."Tidak apa-apa, Harum. Aku hanya merasa terkejut saat kau bilang Mas Wira berkata seperti itu. Sudah
"Kak," ucap Harum seraua melepas pelukanku. "Kau minta dibelikan tas baru, kan? Ini, punyaku buat Kakak saja."Aku baru menyadari bahwa Harum membawa sebuah tas branded. Dia berniat memberikannya padaku."Apa Mas Wira membelikannya untukku juga?"Harum menggeleng. "Tidak. Dia hanya membelikanku. Tapi, karena kau tadi pagi menginginkannya dan Mas Wira tak membelikanmu, aku berinisiatif untuk membaginya denganmu. Aku tak mau ada kecemburuan diantara kita. Lagipula, aku sudah punya sepatu baru.""Jangan, Harum. Kau ambil saja tas itu buatmu. Tadi, aku hanya mengetes seberapa besar Mas Wira mau berkorban membelikan tas untukku. Jika dia memang tak mau belikan, tak apa. Aku sudah biasa diabaikan," jawabku melemas. "Sebaiknya kau kembali ke kamarmu, Harum. Mas Wira pasti sudah selesai mandi."
Dengan lemas Harum berjalan ke kamarnya, langkahnya gontai. Aku memberikan tongkatku untuk membantunya berjalan."Pakailah tongkat ini, dan berjalanlah dengan benar. Jangan jatuh sebelum kau berbaring di tempat tidurmu, karena aku tak bisa membantumu," kataku."Kak, aku melihat api ...." Harum meracau."Jangan banyak bicara. Gunakan energimu untuk berjalan."Wajah Harum sudah tak dapat digambarkan lagi bagaimana ekspresinya. Keringat sebesar biji jagung keluar dari pori-pori kulit. Selama berjalan menuju kamar, dia terus-terusan mengeluh melihat api dan kepanasan.Tentu saja, dia mulai berhalusinasi berada di neraka, dan malam nanti adalah penyiksaannya.Butuh waktu yang cukup lama bagi
Kuraih ponsel dan menghubungi nomor Bilqis menggunakan tangan kiri. Setelah Mas Wira keluar dari kamarku, rasa panas di pergelangan tangan kanan kembali muncul, meskipun sakitnya tak seperti tadi.Saat Bilqis mengangkat panggilan, aku menceritakan kejadian aneh yang terjadi dari tadi siang."Perlu aku temenin? Aku ke sana, ya?" ucap Bilqis."Gak perlu. Aku hanya minta pendapatmu saja, kenapa hal ini bisa terjadi? Apa poison itu tak mempan di tubuh Harum?""Bisa jadi. Tapi, coba kau ingat lagi apa yang dikatakan leluhurmu ketika dia memberikan poison itu? Apakah ada tanda-tanda tertentu yang memberitahukanmu bahwa poison itu berhasil bekerja?" tanya Bilqis.Tanda?"Tunggu sebentar!
"Tenang saja, cucuku. Kau hanya perlu merasakan sakit sekali saja, yaitu pada saat luka itu tergores di pergelangan tanganmu. Di situlah kau mengikat jiwa madumu. Kini dia telah jadi milikmu," jelas Mbah. "Rasanya memang sangat sakit, tapi itulah yang namanya pengorbanan.""Lalu, apa yang akan terjadi selanjutnya?" tanyaku."Saat Harum kembali sadar, dia akan menurut padamu. Kau bisa memberinya setetes poison lagi, lalu dia akan berhalusinasi lagi. Kau bisa menyiksa jiwanya selama yang kau inginkan. Tetapi ingat, ketika kau sudah selesai bermain-main, berikanlah jiwanya pada kami." Kali ini, Nyimas yang berbicara."Menyiksanya? Menyiksa apanya, Nyimas! Dia bahkan hanya terbaring lemas dan mengeluarkan air mata. Aku tak mendengarnya menjerit kesakitan seperti yang kualami!" protesku.Mbah dan Nyim
"Untuk apa kau menungguku!" Aku membalas ketus, lantas masuk ke rumah. Tak menghiraukan Harum yang mengernyit menerima perlakuan acuhku. Sementara Bilqis langsung pulang dengan mobilnya.Setiba di ruang utama, kudapati Mas Wira tengah rebahan santai sambil menonton televisi. Ini sudah hampir jam setengah tujuh pagi, dan dia masih bersantai?Segera kutekan tombol off pada televisi."Hei! Jangan mengganggu kesenanganku!" protes Mas Wira."Kamu harusnya kerja, Mas! Bukan menonton televisi seperti ini! Kenapa kamu belum bersiap?" balasku.Mas Wira kini duduk di sofa, dia tertawa bahagia. "Kerja? Apa-apaan kerja? Sekarang aku tak perlu bekerja keras lagi, Manis! Sama sepertimu, aku hanya tinggal bersantai-santai di rumah dan uang t
"Harum!"Kudengar Mas Wira berteriak memanggil maduku, diiringi suara langkahnya yang berlari menaiki anak tangga. Begitu terdengar panik, seakan sesuatu berbahaya tengah terjadi pada Harum.Tentu. Wanita itu baru saja menenggak poison. Dia tidak akan selamat dari jeratanku.Kulanjutkan berbaring dan memejamkan mata. Namun, suara berisik di luar sangat mengganggu."Arrghh!""Panas!"Entah apa yang dialami Harum dalam halusinasinya. Sejak keluar kamarku, dia terus menjerit kesakitan. Kini suaranya semakin menjauh, mungkin Mas Wira telah membawanya ke lantai bawah.Teruslah menjerit, Harum! Suara kesakitanmu itu akan menjadi lagu nina bobo yang merdu unt
Kursi rodaku terdorong hingga menabrak dinding bawah tangga. Punggungku beradu dengan sandaran kursi roda dan rasanya lumayan nyeri. Tak lama setelah itu roda menggelinding lagi dengan sendirinya, sangat kencang seperti ada yang mendorong kuat dari belakang. Jangan tanya bagaimana terkejutnya aku saat ini, jantungku rasanya mau copot!Satu hal yang kurasa pasti, semilir angin bertiup menerpa tengkukku. Pasti makhluk itu yang mengerjaiku."Siapa, kau?" tanyaku, bertanya pada makhkuk tak berwujud itu."Aku penunggu cairan poison itu," jawabnya berbisik di telingaku. Dia memberhentikan kursi rodaku di ruang utama—tepat menghadap ke jendela rumah yang terbuka, aku dapat melihat lahan luas tempat almarhum anggota keluargaku dimakamkan. "Akulah yang membuat korbanmu kesakitan dalam halusinasinya."