Bulu kuduk Ivy meremang mendengar janji Ethan. Ada rasa lega, tapi juga gelisah. Karena ia tahu, setiap kata Ethan selalu dibuktikan dengan tindakan.Ethan melepas pelukan sejenak, menundukkan kepalanya hingga sejajar dengan tatapan Ivy.“Kita pulang, Sayang,” ucapnya lembut. “Kau sanggup berboncengan sampai ke mansion?”Ivy mengangguk mantap. “Aku bisa, Ethan. Aku baik-baik saja.”Ethan mengangguk singkat, tangannya tetap melingkari pinggang Ivy. “Baiklah … nanti peluk aku erat-erat. Jangan lepaskan aku sedetik pun.”Ia menunduk lagi, menangkup wajah Ivy dengan telapak tangannya. “Kau dengar aku, Sayang?”Ivy menatap mata Ethan, melihat kekhawatiran yang jelas terbaca. Ia mengangguk pelan.Ethan menempelkan beberapa kecupan singkat. Di kening, pipi, dan bibir.Seketika membuat Ivy tersenyum tipis, setengah lega, setengah malu.Lalu Ethan menurunkan tatapannya pada gaun pesta Ivy yang ketat di bagian lutut. “Karena gaun ini, kau tidak akan bisa duduk nyaman di motor.”Tanpa menunggu r
Ucapan itu membuat sopir SUV refleks melirik kaca spion. Pandangannya bertemu dengan rekannya di kursi belakang yang menahan Ivy.Ia menelan ludah, jantungnya berdegup aneh, firasat buruk menghantam keras. Sadar kalau ucapan sandera mereka bukan omong kosong belaka.Tapi meski begitu, ia yakin mereka pasti berhasil menjalankan tugas sesuai perintah.SUV melaju kencang, menikung tajam ke jalur utama. Klakson panjang dipaksa meraung, kendaraan lain menepi.Di belakang, pegangan di pundak Ivy semakin kuat, membuat wanita itu meringis.Lalu cahaya lampu motor besar muncul dari kejauhan, melesat mendekat dengan kecepatan mustahil. Satu kendaraan dengan satu pengendara.Tatapan sopir langsung membeku.Tidak mungkin.Semua rencana sudah disusun rapi. Waktu, jalur, bahkan pengalihan. Seharusnya tidak ada celah sedikit pun.Tapi pria itu—Ethan Winchester, tetap berhasil menyusul.Gas motor yang dikendarainya berderu kian liar, suaranya memecah riuh jalanan.Ia menyalip sisi kanan, hanya berjar
Nada suara Ethan langsung meninggi, lebih keras daripada musik pesta yang sudah meredup.Kepala pria itu berputar cepat, matanya liar menyapu kerumunan. Sekejap saja aura dingin presdir Winchester Corporation lenyap. Yang tersisa hanyalah seorang suami yang panik kehilangan pegangan.Tubuhnya menegang, rahang mengeras, napasnya tersengal cepat.Ethan mendorong beberapa tamu tanpa peduli siapa mereka—pejabat, pengusaha, atau sosialita.“Minggir!” hardiknya rendah tapi menggelegar. Jemarinya sempat meraih bahu seseorang, berharap menemukan Ivy, namun hanya memegang kain jas dan gaun pesta para tamu lain.Detik berikutnya, lampu aula meredup. Alarm singkat berbunyi, nyaring menusuk, membuat ruangan bergemuruh. Teriakan kecil terdengar dari sudut-sudut, tamu-tamu mulai berdesakan keluar.Ethan kian panik, pupil matanya membesar. “Isla!” teriaknya, kali ini parau, hampir bergetar. Wajahnya yang biasanya penuh kendali kini pucat tegang.Leonard menoleh kaget, Frederick sempat mencoba mendek
Sementara itu, Ivy tersenyum kikuk mendengar ucapan Leonard, pipinya merona. Ia menunduk sopan, berusaha menutupi rasa canggung.Leonard meraih tangan Isla, lalu menepuk punggung tangan cucu menantunya itu dengan lembut, karena ia benar-benar menerima Isla sebagai bagian dari keluarga besar Winchester.“Jangan khawatir, Nak. Selama aku ada, kau akan selalu jadi cucuku. Dan suatu saat nanti … kau juga ibu dari penerus keluarga ini.”Kata-kata itu membuat Ivy semakin terdiam. Ada rasa haru sekaligus perasaan bersalah yang menyelinap di dadanya secara bersamaan.Bahkan kemudian rasa ingin tahu muncul di benaknya, saat kembali teringat ucapan Leonard yang pasti memiliki maksud. Sebuah petunjuk. Seolah bila pria tua itu tidak lagi aman, menantu di keluarga Winchester bisa berada dalam bahaya.Namun di balik senyum samar dan di tengah pemikirannya itu, mata Ivy sempat menangkap sesuatu.Sekilas, ia melihat Anastasia menoleh tajam padanya, lalu mundur perlahan. Senyum hangat Leonard terasa b
“Itu tidak akan terjadi,” Ethan menggeleng tegas, suara beratnya bergema. Dengan mudah ia mengangkat tubuh Ivy dari pangkuannya dan mendudukkan di kasur. “Kalau pun iya, aku tidak peduli.”Dengan santai, pria itu bangkit. Tubuh tegap, tinggi, dan telanjang itu melangkah tenang untuk memungut gaun satin milik Ivy yang tergeletak di lantai.Ivy menahan napas. Tatapannya mengikuti setiap lekuk otot Ethan yang menegang saat pria itu membungkuk.Tubuhnya sendiri bergetar, wajahnya memanas, jantungnya berdetak keras. Tapi ia tidak memalingkan wajah sedikit pun. Justru mendongak, seolah menantang, saat Ethan kembali berdiri menjulang di hadapannya.“Ini gaunmu, Istriku.” Suaranya dalam, sensual, menggema dengan penekanan penuh makna. Ethan menyerahkan gaun itu pada Ivy, tapi jemarinya tidak kunjung melepaskan kain satin dari genggaman.Ivy mengernyit, bingung dengan sikap Ethan. “Ada apa?”Senyum miring Ethan muncul. “Berdirilah, Sayang.” Ia menunduk sedikit, kedua tangannya meraih bahu Ivy,
Perlahan, karena rasa penasaran dan rasa tidak nyaman yang mendadak muncul, Ivy berusaha melepaskan diri dari pelukan Ethan.Ia bahkan berhati-hati agar tidak membangunkan pria itu. Namun rupanya gagal.Ethan lebih dulu menangkap pergelangan tangan Ivy dan bergumam. “Mau ke mana, Istriku?”Ivy menoleh cepat, tertangkap basah seperti pencuri kecil. “Aku hanya … ponselmu. Benda itu bergetar terus sejak tadi.”Ethan membuka sebelah matanya, suaranya berat dan serak karena kantuk. Ia tidak melepas tangan dari pergelangan Ivy, malah menarik tubuh istrinya kembali ke pelukan. “Biarkan saja.”“Tapi, Ethan …” Ivy mendesah, menatap ke arah celana di lantai. “Lima kali. Itu pasti telepon penting.”Ethan menggeram pelan, hidung mancung sempurnanya menelusuri garis rahang Ivy. “Tidak ada yang lebih penting dari memelukmu. Kalau pun dunia terbakar, biar saja. Aku sudah punya surgaku di sini.”Ivy terdiam. Kata-kata Ethan jelas menunjukkan bagaimana perasaan pria itu terhadap istrinya. Dan istrinya